Rabu, 27 Maret 2024

Catatan Film #11: Exhuma (2024)

Menonton film ini tanggal 20 Maret 2024 lalu di Kuningan City. Usai kelas EF dan penontonnya cukup lumayan kala itu. Setidaknya saya tak sendirian-sendirian amat, karena kalau boleh kumasukkan genre apa, film ini termasuk genre horor. Meskipun horornya agak laen, tapi tetap aja horor, ada kuburan, paranormal, dukun, darah, pembunuhan, hingga zombie ala-ala Jepang. 

Awal-awal film sebenarnya cukup menarik, meskipun kemudian ada plot yang patah kalau istilah teman mah. Pas pergantian antara penggalian makam pertama, yang nenek moyang orang kaya keluarga Amerika itu, sama penggalian makam kedua yang nyeritain jenderal Jepang yang hidup lagi. Jenderal yang menyerupai zombie, suka makan ikan, dan setannya dibuat karena proses upacara yang mengerikan macam buku Shelley yang Frankeinstein gitu. Yang buat sebuah kelompok sesat, dengan menjahit kepala dan tubuh yang berbeda. Nah, antara penggalian satu dan dua ini kesannya kayak patah aja, hubungannya gak kokoh.

Teman lain menilai jika latar belakang Amerika di film ini sebenarnya gak perlu. Karena menurut saya juga, kalau konflik yang diangkat mau menyoroti perang sejarah antara Korea Selatan dan Jepang, yang perang itu diteruskan hingga masa modern seperti sekarang ini, itu udah menarik. Hal menarik lain yang kutangkap terkait penggambaran suasananya, pemilihan makam yang secara fengshui gak cocok, sebagaimana rumah yang menghadap arah tertentu, atau rumah tusuk sate, atau semacamnya. Terus tokoh yang rata-rata anak muda juga menarik, selain dua bapak tua Kim Sang Deok (Choi Min-sik) dan Young-geon (Yoo Hae-jin).

Saya jadi menganalisis juga, selain jadi dokter, polisi, dan politisi, pekerjaan lain yang tak banyak dilirik dan sepertinya cukup memacu adrenalin adalah menjadi dukun dan ahli fengshui. Dua profesi ini naik popularitasnya karena film Exhuma. Si sutradara juga sebelumnya udah riset lapangan, dan kaget menemukan para dukun ini muda-muda dengan penampilan yang edgy dan macem nak-nak senja dan skena. Macem tokoh Bong-gil yang punya tato mantra Budhha sebadan, atau Hwa-rim, mbak-mbak yang outfitnya cocok banget buat nonton konser. Pekerjaan sektor informal dan berbau okultisme ini memang makin ke sini makin menyesuaikan diri dengan anak muda.

Berbagai budaya lokal juga di film ini sebenarnya tak beda jauh dengan di Indonesia, misal ada upacara pemanggilan arwah melalui tari, lagu, dan nyanyian-nyanyian mantara. Mereka juga menggunakan media hewan seperti babi, darah kuda, atau juga garam untuk sarana pelindung diri. Mereka juga menyebut ada waktu baik dan waktu buruk. Semisal, kita tak bisa membakar mayat atau melakukan kremasi saat hujan turun, karena dikhwatirkan arwahnya tidak berjalan mulus ketika menghadap yang kuasa. 

Namun, dari film ini, saya seperti merasakan ada energi lain yang menghampiri. Terlebih dari pengalaman-pengalaman saya berkunjung ke berbagai makam, yang rata-rata tidak saya kenal. Dari situ mata saya seperti terbuka, pengaruh leluhur itu nyata adanya. Dia bisa mengikuti kita kemana pun, baik dia suka ataupun tidak suka, dan dia juga bisa memberi pengaruh ke kita. Setelah perjalanku ke Gunung Selok pula, aku jadi sadar, leluhur ini semacam gunung es, yang hanya saya ketahui permukaannya saja, tetapi akarnya begitu kuat dan tak terpatahkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar