Senin, 10 Februari 2014

Catatan Untuk Aktor

Dialog Bolevslavsky dan gadis fantasinya... (A: Aku/Bolevslavsky; G: Gadis)

G: Aku sudah merenungi suatu kenyataan yang sangat betul harus disayagkan, bahwa permainan dan suara-suara aktor-aktor besar tidak bisa diabadikan. Kini aku sampai pada suatu kesimpulan: untuk kepentingan ini aku harus merasakan mekanisme dan kemurahan film dalam pekerjaanku.

A: Bukan. Satu-satunya yang harus kau lakukan ialah maju sejajar dengan zaman kita dan berusaha sekuat mungkin – sebagai seorang seniman.

G: Mustahil

A: Ini tidak bisa dielakkan.

G: Film tidak lebih dari selera musiman yang palsu – tidak lebih dari semacam cerewet.

A: Fikiran itu sempit.

G: Seluruh kodratku sebagai seorang aktris berontak terhadap iblis mekanis ini.

A: Kalau begitu kau bukan seorang aktris

G: Hanya karena aku menginginkan suatu kesempatan yang bebas dan tak terganggu-ganggu bagi ilham dan kerja kreatifku?

A: Bukan. Karena kau tak bergembira dalam penemuan sebuah instrumen drama yang besar; suatu instrumen yang telah dipunyai oleh seni-seni yang lain semenjak masa dulu dan yang sampai kini belum lagi dimiliki oleh seni yang tertua – teater; suatu alat yang dapat memberikan kecermatan dan ketenangan ilmiah pada teater, seperti yang dimiliki oleh seni-seni yang lain; sebuah instrumen yang menghendaki dari seorang aktor supaya berlaku pasti laksana skema warna dalam lukisan, bentuk dalam seni pahat, alat-alat bunyian bertali, alat-alat tiup dari kayu ataupun tembaga dalam musik laksana matematik dari seni arsitektur; atau pun kata dalam seni puisi.

__________________

A: Lapangkan hatimu sedikit. Memang demikian halnya. Film adalah pengabdian seni seorang aktor –seni teater. Drama yang dilisankan kini jadi sama dengan drama yang dituliskan. Apakah kau tidak meyadari, bahwa dengan adanya alat perekam pribadi dan skema sukma seorang aktor, maka mata rantai yang selama ini hilang dalam rantai semua seni, kini telah ditemui? Teater bukan lagi soal yang bisa lewat-lampau begitu saja, tapi sudah menjadi catatan abadi? Apakah kau tidak menyadari, bahwa kerja kreatif seorang aktor tidak perlu lagi dipertunjukkan depan mata publik: bahwa kami penonton tidak usah lagi ditarik-tarik ke dalam keringat dan kesibukkan kerja kita? Para aktor bebas dari penonton pada saat ia mencipta; hanya hasil ciptaannya saja lagi yang dinilai.

G: Seorang aktor yang berada dalam seperangkatan pesawat bukaanlah seorang aktor yang bebas. Ia dicencang menjadi potongan-potongan kecil—hampir setiap kalimat peranannya dipidahkan dari kalimat-kalimat sebelumnya dan kalimat sesudahnya.

A: Setiap kata seorang penyair terpisah dari kata-katanya yang lain. Tapi yang penting bagi kita ialah keseluruhannya. (Richard Boleslavsky @Enam Pelajaran Pertama bagi Calon Aktor)
_____________
I finally grasped the simple truth that imitating another actor did not mean creating an image. I realized that it was necessary to create one’s own image – an image which. I must confess, I understood only outwardly. It is also true that I did know how to approach the image unless I was helped by a stage director like Fodotov, or by chance, as when I played softenville, and therefore approached the image with pose, costume, make-up, menners, or gestures. I felt on the stage as if I were undressed and was ashamed of appearing as myself before specatators. (Konstantin Stanislavsky @My Life in Act)

Selasa, 04 Februari 2014

Katakan Cinta dengan Buku

Iseng-iseng ke ruang referensi perpus.. baca buku asal yang ditaruh di atas meja. Saat ku buka..eh, ada tulisan: Katakan Cinta dengan Buku (buku yang ditulis civitas akademika fakultas adab untuk seorang dosen sebagai hadiah purna baktinya *so sweet banget yaa..). Aku jadi kepikiran.. suatu saat aku ingin menghadiahkan buku untuk orang-orang yang aku cintai (udah lama sih pengennya) :D
Kadang aku juga berharap... ada yang mau menghadiahiku sebuah tulisan.. apa pun.. #eh #keceplosan

_____________________________________________

“Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”
― Mohammad Hatta

“Setiap buku adalah kutipan; setiap rumah adalah kutipan seluruh rimba raya dan tambang-tambang dan bebatuan; setiap manusia adalah kutipan dari semua leluhurnya”
― Ralph Waldo Emerson

“dunia ibarat sebuah buku, kalau kita baru melihat satu tempat sama artinya kita baru membaca satu halaman” 

“Kenyataan-kenyataan yang kulihat dalam duniaku yang gelap hanyalah kehampaan dan kemelaratan. Karena itu aku mengundurkan diri ke dalam apa yang dinamakan orang Inggris ‘Dunia Pemikiran’. Buku-buku menjadi temanku. Dengan dikelilingi oleh kesadaranku sendiri aku memperoleh kompensasi untuk mengimbangi diskriminasi dan keputusasaan yang terdapat di luar. Dalam dunia kerohanian dan dunia yang lebih kekal inilah aku mencari kesenanganku. Dan di dalam itulah aku dapat hidup dan sedikit bergembira. Seluruh waktu kupergunakan untuk membaca.” - .- Bung Karno

Sabtu, 01 Februari 2014

Saat Aku Kecil

Masih ku ingat essay ringkas salah seorang temanku. Ia menulis: dua hal yang paling aku benci dalam hidup.. Pertama, saat aku bersedih. Kedua, saat aku kehilangan semangat hidup. Dari lubuk hatiku terdalam, ku amini kalimat itu. Dua hal itu seperti pelumpuh otomatis yang menumbangkan badan sehat. Setiap hari pun aku selalu ingin menghindar dari dua racun itu.

Yaa… tapi kadang racun itu begitu kuat dan sulit sekali buat sembuh. Roda hidup berputar ke titik nadir. Dibutuhkan usaha yang kuat agar bisa naik lagi, sebagai konsekuensi dari beraninya kita meluncur untuk turun (baca: bersenang-senang). Dan saat keterpurukan itu ditunda, ibarat semakin banyak kita nge-rem saat kita naik motor.. maka akan semakin lambat progress kita.

Ada orang yang megajakku untuk membawa diriku saat aku kecil dulu. Saat aku belajar berjalan. Berapa kali aku jatuh? Berapa kali aku sakit? Berapa kali aku tersandung? tapi aku selalu bangkit. Tak ku kenal apa itu “putus asa” apalagi kosa kata “gagal”. Bagaimana bisa sewaktu aku kecil dulu aku se-tabah itu? Rasanya seperti main-main yang mengasyikkan saja.