Jumat, 18 September 2020

Twitter Jokowi dan Covid-19

Corona yang menjadi pandemi global mengubah banyak sisi: ekonomi, sosial, pendidikan, hingga psikologi. Bencana ini juga telah merebut tak hanya pekerjaan, tapi juga nyawa. Pemerintah Indonesia pun melakukan berbagai usaha dan kebijakannya. Dari WFH, lockdown, jaga jarak, larangan mudik, dll, untuk mengurangi persebaran virus.

Sayangnya komunikasi pemerintah yang tak efektif lebih sering menimbulkan gegar otak daripada rasa aman. Indikatornya jelas, banyak masyarakat yang tak mengikuti kebijakan yang telah ditetapkan. Ketakutan massa dan panik terjadi hampir merata di Indonesia karena pandemi ini. Segenap tingkah irasional dilakukan, dari panic buying hingga kekerasan.

Manajemen bencana penting, yang salah satunya adalah aspek komunikasi, koordinasi, dan distribusi informasi. Jika ini dilakukan dengan baik bisa mengurangi efek samping dari bencana itu sendiri. Sayangnya institusi di Indonesia memiliki mekanisme komunikasi yang parah terkait itu.

Di sini peran pemimpin negara dibutuhkan untuk mengkomunikasikan bencana melalui opini-opini yang dilakukan di media sosial. Kadhung lewat artikel jurnal ini menganalisa bagaimana komunikasi bencana yang dilakukan oleh Twitter @jokowi sehubungan dengan pandemi Covid-19 dari 1 Januari 2020 hingga 30 April 2020.

Untuk komunikasi manajemen bencana, sebaiknya ego sektoral dikesempingkan; terlebih-lebih jangan institusi seharusnya tidak memberi informasi yang berbeda-beda sehingga menimbulkan ketakutan publik.

Sebab itu komunikasi lintas sektoral dibutuhkan. Jokowi sebaiknya pula membangun komunikasi dan keterlibatan dengan para institutsi ini (hingga follower) yang tujuannya memberi dampak. Selain itu, secara umum pendidikan publik di media bisa dilakukan sebelum, selama, dan setelah bencana terjadi. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai simbol pemerintah yang seharusnya bertanggungjawab menjadi orang nomor 1 yang diharapkan bisa melakukan strategi komunikasi, belum menciptakan komunikasi yang efektif terkait bencana. Padahal Jokowi yang menjadi figure sentral menggunakan Twitter sebagai media sosialnya. Twitter efektif untuk menjaring simpati dan empati komunitas. Diskusi juga bisa terjadi lewat thread dan trending topic.

Penelitian kuantitatif ini menunjukkan, tweet Jokowi tentang corona isinya menyebar luas. Kadhung menemukan ada 150 tweet yang berhubungan dengan corona dari total 290 tweet. Lingkupnya dari: sosialisasi kebijakan (31%), pengumuman (21%), saran pada masyarakat (9%), konten mendidik (9%), anjuran pada pemerintah lokal (9%), aksi kooperatif (8%), motivasi (8%), apresiasi (3%), dan ungkapan duka cita (1%).

Jokowi menggunakan sarana foto dan video untuk meningkatkan kesadaran publik. Ada (80) 53% tweet yang menyertakan gamabar dan (25) 17% tweet yang menyertakan video. Meski sayangnya komunikasi ini tidak dalakukan sebelum bencana terjadi. Ini sebabnya dibutuhkan koordinasi yang baik antar komponen yang terlibat. Koordinasi ini masih menjadi masalah serius. Semisal Twitter @KemenkesRI harusnya disebut untuk membangun koordinasi, juga akun-akun relevan lain. Pun strategi-strategi hashtag.

Terlebih di era keterbukaan ini jadi semakin mudah melalui media sosial yang menjadi makanan masyarakat Indonesia sehari-hari. Secara umum, medsos bisa menjadi komunikasi politis tak terkecuali Twitter yang menjadi medium komunikasi poslitis.

Sebab komunikasi membutuhkan kepecayaan dari pihak yang diajak komunikasi. Ketidakpercayaan publik itu sendiri menjadi masalah serius. Kemampuan komunikasi interpersonal hingga kecerdasan emosi berperan penting untuk mengkondisikan massa.“Jokowi should properly reform the existing disaster communication in Indonesia.”

Prayoga, K. (2020). How Jokowi Communicates with the Public During Covid-19 Crisis: An Analysis of Tweets on Twitter. Jurnal Komunikasi: Malaysian Journal of Communication, 36(2), 434-456.

Selengkapnya: http://ejournals.ukm.my/mjc/article/view/39853

Tidak ada komentar:

Posting Komentar