Rabu, 23 September 2020

Menulis Tanpa Label - Bell Hooks

Saat Bell Hooks masih kecil, dia ingin sekali jadi penulis. Dia terpengaruh oleh William Wordsworth, Gerard Manley Hopkins, dan Emily Dickinson. Dickinson-lah penulis yang bisa menyentuh jiwa Hooks. Mencapai hal yang paling dalam dari dirinya yang tak dikenal dan tak dicintai. Hooks terkesan dengan cara Dickinson menggambarkan bagaimana dunia rasial aparteid bisa berpengaruh dalam keseharian Hooks: "the colored-only section at the movie theater."

Karya Dickinson memiliki misi kontemplasi metafisik, agama, dan alam tertentu yang berasal dari pengalaman serta direfeleksikan mendalam. Di lain kesempatan dia membaca penulis lain juga, tapi tak berbicara apa-apa padanya.

Menulis adalah cara Hooks keluar dari dunia yang sakit dan fana. Dia hidup dalam imajinasi. Keadaan emosilah yang menjadi harta imajinasi, bukan pengalaman konkret. Dia melihat kata-kata yang tertulis di kertas adalah sesuatu yang magis. Meski dia paham, untuk mengerjakan karya yang sungguh-sungguh butuh mimpi, kontemplasi, berbicara dengan jiwa, dan ruang tersendiri untuk kita menulis.Hooks hanya menulis isu yang besar dan konsentrasi universal akan hidup: kematian, cinta, duka cita, dan bahagia.

Saat Hooks di SMA, dia membaca soneta dari Countee Cullen, Claude McKay, dan Doughlas Johnson. Bagi Hooks diskursus tentang ras, gender, dominasi kelas, identitas, dan semacamnya tidak lebih dari label. Dan kenapa seseorang begitu susah keluar dari label? Jika begitu logikanya, maka orang kulit hitam akan selalu ingin menyerang  orang kulit putih. Bagi Hooks, pelabelan terkait ras dan rasisme dengan senang hati ia abaikan atau hilangkan sebagai sesuatu yang tak relevan. Sebab pilihan ini menghalangi dan menghilangkan imajinasi kreatif.

Sebagaimana penulis Jean Toomer yang melampaui identitas rasial; William Faulkner, profesor sastra Amerika memahami bagaimana perspektif akan fiksi Selatan, secara tegas dibentuk oleh ras, gender, dan kelas. Identifikasi ini adalah masalah label; faktanya mereka tak bermasalah secara mutlak.

Label ini bermasalah karena menghalangi imajinasi penulis. Sebagaimana penulis Jeanette Winterson yang terluka karena diberi label "penulis lesbian". Sebab komitmen penulis pada karya melebihi label apapun, termasuk identitas seksual. Winterson menulis karena dia mencintai perempuan, bukan karena dia lesbi yang menulis. Beberapa penulis berusaha menolak karya mereka semata-mata refleksi dari satu aspek yang ada pada diri mereka.

Mengutip Winterson: “Art must resist autobiography if it hopes to cross boundaries of class, culture…and…sexuality. Literature is not a lecture delivered to a special interest group, it is a force that unites its audience. The sub-groups are broken down.”

Kadang untuk menghilangkan persona label, beberapa penulis memiliki strategi menggunakan nama samaran (pseudonym), seperti yang dilakukan Doris Lessing. Jika Lessing menulis dengan buruk dan nggak mutu, orang tidak akan tahu jika itu adalah tulisan dia.

Intinya Hooks ingin mengatakan, jangan hakimi penulis dengan label-label tertentu yang menyudutkan. Namun lihatlah karyanya dengan kacamata yang lebih luas, dan dari kualitas karya itu sendiri bukan identitasnya. Baginya tidak ada sastra kulit hitam, hanya sastra yang ingin menyampaikan pengalaman kulit hitam. Juga tidak ada penulis feminis, yang ada penulis yang menulis dari perspektif feminis.

Selengkapnya:  https://doi.org/10.1353/aph.2015.0076

Tidak ada komentar:

Posting Komentar