Selasa, 22 September 2020

Pekerja Perempuan di Toko Daring

Krisis Finansial Global yang terjadi pada 2008 menambah sinergi kapitalisme dengan perkembangan teknologi. Atau bisa disebut "platform kapitalisme". Strukturnya, kelas kapital memiliki platform online tersebut, membangun infrastruktur digital dengan memanfaatkan teknologi digital baru dan sarana-sarana pengambilan data untuk melancarkan bisnis mereka.

Tak dipungkiri pengembangan platform kapitalisme dengan revolusi logistik ini telah melahirkan suatu inovasi dalam proses distribusi. Sehingga lahirlah e-commerce sebagaimana yang kita pakai sekarang--yang menjadi fitur vital akumulasi kapitalis kontemporer. Guna menambah akumulasi kapital, kelas kapitalis tak hanya memperlebar zona akumulasinya, tapi juga proses "kompresi ruang-waktu".

Pertambahan online shop bisa dibaca lebih dari sekadar transaksi jual-beli saja. Lewat media satu ini seseorang bisa berbelanja di mana saja dan kapan saja. Nggak ada kesusahan berarti bahkan masih absen dengan regulasi birokrasi. kegiatan ini membuat transformasi baru dalam aktivitas belanja kita.

Menurut data dari Bank Indonesia (2017), 24,7 juta masyarkat Indonesia berbelanja online dengan nilai transaksi sebesar IDR 75 trillion. Tiap waktu ini terus bertambah, suatu surga pasar yang aduhai. Belum lagi jargon-jargon Indonesia Seribu Start Up! Lalu perusahaan-perusahaan penyedia jasa layanan online shop ini berlomba-lomba memberikan kemudahan dan layanannya.

Penelitian Izzati ini fokus pada Social Media-Based Online Stores (SMBOSs) di Indonesia terutama yang dilakukan dan dioperasikan oleh perempuan menggunakan dua fokus: 1. Bentuk kerja dan fleksibilitas di SMBOSs. 2. Pekerjaan di SMBOSs khususnya dalam konteks urban.

Dimensi fleksibilitas menjadi salah satu fitur kapitalisme yang mengizinkan perempuan untuk bekerja dimanapun dan kapanpun di rumah mereka. Menurut Fraser (2017), perempuan dalam sirkel kapitalisme memainkan peran di kerja reproduksi sosial. Ini memperkuat gagasan "mompreneurs" (ibupreneur) di Indonesia.

Ada dua bentuk bisnis online shop: 1. Marketplace berbasis warehous (gudang rumahan) seperti Amazon dan eBay. 2. Berbasis olshop medsos  seperti Instagram dan Facebook.

Bentuk penelitian ini kualitatif berbasis wawancara mendalam pada 20 informan (16 perempuan, 4 laki-laki). Izzati mengamati bentuk-bentuk pekerjaan perempuan di sektor tesebut, bagaimana eksploitasi platform kapitalisme, revolusi logistik, fleksibiliatas, kerja reporduksi sosial, dan feminisasi. Penelitian dilakukan pada tanggal 22 Mei - 28 Juni 2018, dengan wawancara yang rata-rata sepanjang 50 menit. Izzati menganalisis pekerjaan perempuan (women's work) di bidang toko daring media sosial di enam kota (Indonesia). Kota yang diteliti: Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bandung, Kepulauan Bangka Belitung dan Pangkalpinang.

Ada tiga kategori dari olshop: 1. Mereka yang membuat dan mendistribusikan produknya sendiri (misal penjual makanan dan kerajinan). 2. Reseller yang hanya menjual (misal penjual baju dan kosmetik). 3. Pemilik medsos yang merekrut pekerja dan menjadi partner para entrepreneur (misal JNE, J&T, Pos Indonesia).

Hasil menunjukkan, pekerja perempuan di olshop Indonesia dibentuk oleh suatu bentuk baru platform digital. Menyembunyikan fakta-fakta kerentanan dalam bayang-bayang fleksibilitas. Kekhususan kerja ini menjadi watak yang esensial dalam platform kapitalisme.

Olshop ini khususnya kebanyakan berada dalam ranah sektor informal yang tak diregulasi dan tak terdaftar. Meski ada rencana meregulasi tapi dengan adanya Omnibus Law jadi menciut lagi. Para pekerja yang bagian ngepak-ngepak barang, sosmed administrator, mendapat upah yang rendah tanpa kontrak yang memadai. Mereka juga tanpa perlindungan kerja seperti asuransi kesehatan.

Perekrutan pekerja pun mudah (sebagian besar)  melalui smartphone. Penelitian ini menunjukkan pula, bahwa tanggung jawab perempuan terkait reproduksi sosial mereka menentukan pekerjaan perempuan di SMBOSs. Perempuan yang bekerja di olshop masih dianggap sebagai ibu rumah tangga daripada pekerja.

Ditambah, sebagian besar informan mengatakan bahwa keikutsertaan mereka dalam olshop karena suami mereka menolak membantu berbagai kerja di ranah sosial reporduksi rumah. Dengan kata lain mereka ingin melarikan diri dari tekanan patriarkis di rumah dan keluarga.

Izzati, F. F. (2020). ‘Women’s Work’ In Indonesia’s Social Media-Based Online Store Businesses: Social Reproduction and the Feminization of Work. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, 10(1), 35-46.

Catatan: Artikel jurnal ini merupakan versi singkat dari tesis master Fathimah Fildzah Izzati di SOAS.

Selengkapnya: http://jissh.journal.lipi.go.id/index.php/jissh/article/view/157/0

Tidak ada komentar:

Posting Komentar