Senin, 28 September 2020

Romo Mangun

Nggak tahu, tiba-tiba pengen bahas Rm. Mangun aja. Tadi pagi saya baca kumpulan cerpennya “Rumah Bambu” yang rasanya begitu dekat dengan keseharian, nggak muluk-muluk, sederhana, tapi dalam dan bisa numbuhi banyak analekta di kepala. Artikel yang ditulis oleh Jennifer Lindsay di jurnal Indonesia ini semacam obituari, saat Rm. Mangun meninggal pada 1999 lalu.

Nama lengkapnya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Romo lahir di wilayah para pastor masa depan Indonesia lahir, Ambarawa, 6 Mei 1929. Anak tertua dari 12 bersaudara, ayahnya lulusan SD dan ibunya kindergarten (TK). Nama Bilyarta didapat karena ayahnya tengah bermain billiard saat Rm. Mangun lahir. Blio pernah sekolah Arsitektur di ITB pada tahun pertama dan kemudian lima tahun belajar di Jerman, sekolah teknik di Aachen (1966). Romo dikenal dengan banyak julukan: arsitek, aktivis, novelis, pekerja sosial, intelektual, esais, pastor, dan tentu tokoh Katolik terkemuka.

Romo pernah bekerja sebagai pengajar arsitektur di UGM juga yang utama menjadi pastor di Muntilan. Pada 1981, Rm. Mangun pergi ke Kali Code, suatu wilayah yang dulu sangat kompleks kondisi masyarakatnya. Ada yang bekerja sebagai copet, prostitusi, penjahat, hingga pengumpul pasir. Rm. Mangun membuat suatu program transformasi baru bersama mayarakat. Serta pada 1994 blio membuat sekolah dasar juga untuk anak-anak miskin. Sangat mementingkan arti pendidikan dan budaya membaca.

Beliau terkenal sebagai sosok yang sederhana, baik di ranah sosial ataupun dalam tulisan-tulisannya. Menulis di banyak subjek dan lebih menampilkan komitmen pribadinya daripada afiliasi. Memiliki keberanian yang besar, menempatkan diri pada risiko, dan menyanggah otoritas Orde Baru yang mempabrikasi pahlawan khususnya Soeharto. Dia juga berbicara terkait pemalsuan sejarah, serta topik-topik yang tabu pada saat itu: kemerdekaan Timor Timur, reformasi konstitusi, kebutuhan Indonesia federal, dan iklim politik yang kondusif. Esai-esainya untuk media berbahaya, tajam, pintar jenakan, menimbulkan kesadaran, jarang repetitif dan menggurui.

Romo meninggal di Jakarta, 10 Februari 1999 pada usia 69 tahun. Bahkan saat kematiannya Romo ingin mendonasikan tubuhnya untuk kemanusiaan. Meski keinginanya ini dilarang oleh kepala uskup. Sebagaimana pastor yang baik, mengikuti sabda pimpinan yang lebih tinggi adalah khaulnya. Sebelum kematiannya pula, Romo masih sempat mengirim surat ke Presiden Habibie saat itu, memuji kebijakan Habibie soal Tmor Timur dan meminta penghentian campur tangan ABRI yang pro-integrasi.

Saat kematiannya, upacara berkabung digelar di katedral Jakarta, dan pemakamannya dilakukan pada tanggal 12 Februari 1999 di Yogyakarta. Misa rekuim dilakukan di Gereja Kidul Loji, dihadiri oleh gelombang pelayat dari berbagai daerah. Dari intelektual, seniman, orang-orang dari berbagai agama, warga Kalicode, hingga petani dari Kedung Ombo yang dibela oleh Rm. Mangun. Requiem aetarnam.

Romo menulis berbagai esai, cerpen-cerpen; dan delapan novel: Burung-burung Manyar (1981), Romo Rahadi (1982), Ikan-ikan hiu, Ido dan Homa (1983); trilogi: Roromendut, Genduk Duku, Lusi Lindri (1983-86), Durga Umayi (1991) dan Burung- burung Rantau (1992).

Lindsay, J. (1999). Y. B. Mangunwijaya: 1929-1999. Indonesia, 67, 201-203.

Selengkapnya: http://www.jstor.org/stable/3351386

Tidak ada komentar:

Posting Komentar