Jumat, 18 September 2020

Bali dalam Kepungan Neoliberalisme

Pada 1972, World Heritage Convention terbentuk karena adanya ancaman kepunahan terhadap warisan alam dan budaya di seluruh dunia. Di tingkat nasional, usaha-usaha untuk melindungi sesuatu yang dianggap historis, unik, dan berharga pun dilakukan dengan instrumen kebijakan--atas nama pembangunan yang berkelanjutan.

World Bank salah satunya, menginisiasi hubungan antara warisan budaya dan pembangunan ekonomi melalui mekanisme pasar. Praktiknya seperti proyek turisme yang digadang akan memberi keuntungan finansial dengan membantu komunitas lokal untuk mengapresiasi nilai-nilai warisan budaya. Investasi industri turisme semakin menjadi-jadi, termasuk: hotel, villa, resort, golf, restaurant, dll. Hal ini terjadi di Bali, nama yang lebih dikenal dibanding Indonesia itu sendiri di mata dunia.

Artikel jurnal ini mengulas tentang neoliberalisasi lanskap budaya di Bali. Krisis agaria di Bali konversinya berlangsung cepat dengan beralih fungsinya lahan pertanian.  Terlebih pada 2012 lalu, pemerintah menominasikan subak (sistem pengelolaan air tradisional dengan lanskap terasiring ikoniknya) sebagai status warisan dunia, dampaknya petani lokal terdorong untuk menjual lahan pertanian (alienasi tanah) mereka. Kemudian beralih kerja di sektor turisme.

Wardana dalam tulisannya ini membahas bagaimana subak diromantisasi, menggunakan analisis konsep neoliberalisasi: memberi kendali bebas pada pasar untuk menghasilkan pendapatan ekonomi yang lebih efisien. Penelitian ini menunjukkan bagaimana respons neoliberal ini kontra-produktif dengan pemberdayaan petani lokal. Hilangnya tanah pertanian akibat ekspansi turisme menjadi perhatian.

Fokus penelitian ini dilakukan di Jatiluwih, lanskap subak yang berada di kawasan Catur Angga Batukaru. Moda pemerintahan yang telah diatur dengan simplifikasi, di mana golongan elite sukses menjadi pemandu jalannya proses mengarah pada marjinalisasi petani.

Wardana, A. (2020). Neoliberalizing cultural landscapes: Bali’s agrarian heritage. Critical Asian Studies, 1–16.

Selengkapnya: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/14672715.2020.1714459?journalCode=rcra20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar