Jumat, 18 September 2020

Sinergi Desa-Kota

 Makin kesini populasi urban berkembang lebih cepat daripada populasi desa. Dan kemiskinan tetap menjadi lagu merdu dalam masyarakat, khususnya pada wajah-wajah kota. Belum ditambah problem urban yang begitu kompleks dari global warming, ketahanan pangan, migrasi, dlsb.

Kay dalam artikelnya ini mencoba memberikan tawaran proses pembangunan yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat untuk mengurangi kemiskinan. Di mana kebijakan neoliberal terbukti gagal menjawab masalah urgent ini. Strategi pembangunan alternatif yang ditawarkan Kay adalah sinergi antara agrarianis dan industrialis.

Dengan meningkatkan sinergi antara pertanian dan industri, melampaui pembagian desa-kota. Hal ini menawarkan kemungkinan terbaik untuk menciptakan proses pembangunan pedesaan yang bisa memberantas kemiskinan di pedesaan.

Penghubungan sektor agrikultur dan industrial ini menjadi strategi transisi sosial Uni Soviet pada masa 1920-an. Tokoh kunci intelektual saat itu yakni Bukharin dan Preobrazhensky. Rezim saat itu menerapkan New Economic Policy (NEP) untuk memulai ulang kondisi ekonomi pasca Perang Dunia I. NEP ini menekankan pada bagaimana "mensejahterakan kaum tani kelas menengah tanpa merusak kepentingan proletariat". Para petani gurem juga diajak untuk berkolektif guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara lebih cepat.

Sinergi ini memang menurut sejarawan ekonomi sempat diperdebatkan sejak revolusi agrikultur di Inggris. Ini ditambah wacana textbook ekonomi pembangunan yang cenderung meng-subordinatkan sektor agrikultur. Padahal menurut Johnston and Mellor (1961), sektor agrikultur ini memiliki fungsi ekonomi yang signifikan dalam pasokan pangan, penyediaan bahan baku, modal, tenaga kerja, hingga penciptaan pasar dalam negeri untuk kebutuhan dalam negeri. Ini tentu menjadi masalah bagi negara yang kurang berkembang dengan pasokan jumlah buruhnya yang tak terbatas.
 

Di sisi lain, Lipton (1977) berpendapat bahwa konflik kelas yang terpenting bukan konflik antara buruh dan kapital, tapi antara kelas rural dan kelas urban. Lipton lebih menekankan pertentangan kelas secara geografis daripada ekonomi atau pembagian sosial dalam kebijakan pembangunan dan kemiskinan. Menurut Kay, gagasan Lipton ini gagal menjelaskan struktur kemiskinan itu sendiri, mengapa orang miskin tetap miskin. Kay juga mengkomparasikan dua negara Taiwan dan Korea Selatan yang lebih berhasil melakukan sinergi agrarianis-industrialis ini, berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Amerika Latin. 

Kay, C. (2009). Development strategies and rural development: exploring synergies, eradicating poverty. The Journal of Peasant Studies, 36(1), 103–137.

Selengkapnya: https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/03066150902820339

Tidak ada komentar:

Posting Komentar