Jumat, 18 September 2020

Tubuh Pemberontak

Artikel jurnal ini merupakan sisi pertama dari bab buku Silvia Federici yang berjudul “Caliban and the Witch: Women, The Body and Primitive Accumulation”. Secara umum merekonstruksi latar belakang historis persekusi terhadap penyihir dan perubahan tubuh, dalam konteks transisi dari sistem feodalisme ke kapitalisme. Hal ini terjadi pada abad ke-17 dengan kebijakan sosial, perkembangan filsafat Eropa kontemporer.

Perkembangan tersebut memiliki konteks di mana kapitalis melakukan akumulasi tenaga kerja dan menggembosi perlawanan pekerja terhadap disiplin kerja upahan. Federici berpendapat bahwa pemusnahan penyihir berakar karena usaha pemerintah yang memberikan kontrol terhadap fungsi reproduksi perempuan. Juga mengubah tubuh perempuan menjadi instrumen reproduksi tenaga kerja.

Pada abad ke-16 dan 17, kebencian terhadap pekerja upahan sangat kuat. Tak sedikit proletar yang lebih suka digantung, daripada tunduk pada kondisi kerja yang baru. Respon borjuasi yakni melakukan rezim teror, insentifikasi hukuman, pelipatgandaan eksekusi, dan terus mengikat proletariat untuk bekerja sebagaimana budak.

Pada masa pemerintahan Henry VIII di Inggris, 72 ribu orang digantung! Kekerasan ini tidak hanya dibaca sebagai penindasan, tapi juga transformasi radikal pribadi. Tujuannya memberantas proletariat dari segala bentuk hal-hal yang tidak kondusif untuk menerapkan disiplin kerja yang ketat. Tubuh diserang sebagai sumber dari semua kejahatan.

Perlu dicatat pula, segenap kekayaan di dalam seperti pertambangan tidak menghasilkan keuntungan sebanyak kekayaan yang dihasilkan pekerja.  Tubuh kemudian tampak seperti binatang buas terhadap rangsangan kerja, juga sebagai wadah tenaga kerja, alat produksi, dan mesin utama kerja.  Lebih banyak kekerasan lebih banyak laba.  “Lebih banyak lebih baik adalah logika kapital.”

***

Abad 16 menjadi tonggak sejarah Reformasi Protestan di Eropa Barat. Tumbuh pula kekuatan dari borjuis merkantil yang muncul di berbagai bidang dari panggung, mimbar, politik hingga imajinasi filosofis. Perwujudan nyatanya ada semisal ada pada sosok Shakespearean Prospero yang menjadi sintesis antara spiritualitas surgawi Ariel dan materialitas brutal Caliban, sayangnya mengelak efek samping usaha-usaha yang menjadikan manusia bangga akan kemanusiaannya.

Pada abad ke-17, di mana pada percaturan formal adanya konflik antara Rasio dan Tubuh, atau oposisi biner antara malaikat dan setan terhadap jiwa pada abad pertengahan. Konflik itu saat ini jadi medan pertepuran elemen-elemen yang berlawanan untuk mendapat dominasi.

Kasarnya perlawanan elemen di satu sisi tentang kekuatan nalar, kesederhanaan, tanggungjawab, kehati-hatian, kontrol diri; vice versa dengan naluri tubuh yang rendah seperti kebodohan, kemalasan, hingga pembuangan energi vital seseorang secara sistematis. Dalam kasusnya yang ekstrim, seseorang menjadi medan perang melawan segala: nafsu vs akal, akal vs iman, iman vs setan, kata hati vs semua.

Secara metaforis meminjam gambaran dari tubuh-politik negara, akan mengungkap lanskap yang dihuni oleh penguasa, subjek pemberontak, banyak orang, hasutan, rantai, perintah angkuh, bahkan algojo. Pertempuran dalam ranah mikrokosmos individu ini menjadi proses reformasi yang lebih luas. Pada Zaman Akal, bangkitnya kaum borjuasi berusaha membentuk kembali kelas-kelas subordinat sesuai dengan kebutuhan kapitalis yang tengah berkembang.

Guna membentuk individu baru, borjuasi ini terlibat dalam pertempuran melawan tubuh yang menjadi tanda sejarah. Sebagaimana yang dikatakan Max Weber, reformasi tubuh menjadi inti dari etika borjuis, karena kapitalisme menjadikan perolehan sebagai tujuan hidup, yang membuat seseorang kehilangan semua kenikmatan tubuh spontan--alih-alih memuaskan kebutuhan kita.

Kapitalisme berusaha melampaui keadaan alamiah tubuh, dengan memperpanjang hari kerja yang dibatasi oleh matahari, musim, dan tubuh itu sendiri, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat pra-industri.

***

Karl Marx juga melihat keterasingan dari tubuh sebagai ciri pembeda dari hubungan kerja kapitalis. Kapitalisme mengubah tenaga kerja jadi komoditas, menyebabkan pekerja menyerahkan aktivitas mereka ke tatanan dari luar yang tak bisa dikendalikan dan diidentifikasi. Proses kerja jadi dasar pengasingan diri. Dalam bekerja mereka merasakan dirinya di luar, di luar dia merasa dirinya bekerja. Pekerja menghadapi tubuhnya sebagai modal yang dijual ke penawar tertinggi. Proses-proses ini memisahkan tubuh yang direduksi jadi sebatas elemen parsial, yang dengannya seseorang tak dapat segera diidentifikasi.

Tubuh sebagai sebuah pabrik ditunjukkan oleh Andreas Vesalius pada karya penting tentng industri pembedahan: De humani corporis fabrica (1543). Foucault pada abad 17-18 juga mengganggap bahwa tubuh merupakan suatu disiplin sosial. Filsafat Mekanik ini memandang semangat borjuis baru yang menghitung, mengklasifikasikan, bertujuan untuk intensifikasi penundukan dan memaksimalkan utilitas sosialnya—yang dapat dimengerti dan dikontrol.

Federici, S. (2004). The Great Caliban The struggle against the rebel body. Capitalism Nature Socialism, 15(2), 7–16.

Selengkapnya: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10455750410001691551?journalCode=rcns20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar