Aku memperhatikan, dari penulis skenario Jujur Prananto, sang sutradara Riri Riza, produser Mira Lesmana, hingga kehadiran aktor-aktor klasik Indonesia dari Butet Kertaradjasa, Didi Petet, Djaduk Ferianto, Matias Muchus, sampai artis-artis cilik/muda Sherina Munaf dan Derby Romero. Dari behind scene, aku melihat film ini dibikin dengan gembira sehingga sampai kepada penonton juga dalam perasaan yang gembira.
Poin kedua, Sherina adalah simbol dari anak perempuan yang meruntuhkan berbagai stereotipe akan anak perempuan. Dia juga sangat egaliter, membuka mata lawan mainnya Sadam yang menjadi karakter mainstream pertelevisian Indonesia. Sherina adalah gadis cilik yang banyak akal, tidak lemah ketika diculik, mandiri, bersahabat dengan siapa saja, menjaga hak-haknya bahkan sampai di hal detail: Sadam harus mencuci roknya yang kena permen karet gara-gara kelakukan temannya itu, meskipun si ibu telah menyederhanakan persoalan bisa dia cuci sendiri, "Oh, TIDAK!" pekik Sherina dalam hati. Sherina sebagai anak perempuan berani melakukan "konfrontasi", sungguh skill langka.
Poin ketiga, aku senang terkait cara orangtua Sherina mendidik anak perempuan satu-satunya itu. Salah satu adegan yang menyentuhku secara personal, ketika ayahnya Pak Darmawan (Mathias Muchus) memberi tahu Sherian akan kepindahannya dari Jakarta ke Bandung. Dialog mereka menyentuhku, si ayah pertama menjelaskan terkait mimpinya yang menjadi alasan kuat kepindahannya, lalu memberi pemahaman pelan-pelan pada Sherina. Meski kesedihan tak bisa ditampik, tapi akhirnya Sherina bisa mengerti pula. Dia menemukan kehidupan lain yang lebih menarik. Si ayah lulusan S1 IPB di bidang pertanian (bukan bank) dan melanjutkan pendidikannya di Jepang. Ibunya sebagai seorang yang ahli musik juga digambarkan berhati lembut dan sangat keibuan.
Poin keempat, berbagai interior, fashion, tempat, dan property yang dipilih dalam film ini sangat unik. Aku sangat suka dengan latar perkebunan di Bandung yang sangat hijau, observatorium Bosscha yang didesain oleh arsitek favoritku Schoemaker untuk melihat bintang-bintang, boneka pink Piglet (aku juga punya!), sampai interior yang dipilih di rumah Sadam, homey banget. Jika diberikan hidup lain, jadi orangtua Sadam yang punya perkebunan besar di wilayah yang sesejuk itu adalah mimpi besarku. Komposisi itu membuat Wes Anderson pun rasa-rasanya kalah dan Indonesia bisa buat film yang gak ke-Wes-Wes-an tapi punya karakternya sendiri. Kostum yang dipakai Sherina dan Sadam juga khas anak-anak nan trendy gak berlebihan. Sinematografi kita sendiri.
Poin kelima, cerita film ini punya narasi intertekstual dengan kisah lain di dunia. Tentu kamu masih ingat dengan dongeng Hans dan Gretel dari Jerman yang dibuang orangtua tirinya ke hutan, tapi bisa kembali berkat taburan kue. Nah, di film Sherina, dia memakai permen warna-warni untuk menandai jejaknya. Aku jadi berpikir terkait banyak narasi interstekstual yang menarik untuk dikolasekan ke dalam satu cerita yang utuh.
Poin keenam, film ini didukung dengan musikalisasi dan koreografi yang mudah diingat. Lagu-lagu yang dinyanyikan Sherina enak didengar, easy listening. Ini perpaduan yang sangat oke.
Sebenarnya pola Sherina ini coba ditawarkan oleh film garapan Riri Riza yang lain, "Kulari Ke Pantai" (2018) yang dibintangi oleh Marsha Timothy. Meskipun kurang se-hype Sherina, namun nilai-nilai kekeluargaan masih sangat lekat. Film-film ini membuatku yakin, berkeluarga tak seburuk itu. Haha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar