Kesan pertama lihat layar film Petualangan Sherina 2 saat nonton di Gama Plaza Jakarta, yaitu, "Hidup mendewasa itu susah dan banyak masalah." Warna dan situasi layar sangat berbeda dibandingkan dengan PS 1 yang sangat rural, Bandung, dan katakanlah "perumahan". Di layar pertama, aku sudah disambut oleh duniaku keseharian akan Jakarta: beton-beton yang keras, menara pencakar langit, kostum-kostum profesional, KRL yang penuh, jalan raya yang macet, dan bekerja menjadi jurnalis.
Kenapa semua hal itu jadi sangat dekat dengan diriku? Sherina juga membuka film dengan menyanyi di jalan raya bahwa hidup itu membahagiakan beserta semua rasa optimistisnya. Belum lagi pas liputan di Gedung Nusantara DPR, duh, rasanya jadi ingat Mbak Puan, Pak Tito, dan kawan-kawannya.
Sampai akhirnya, Sherina mendapat masalah karena dia gak jadi liputan World Economic Forum di Davos, Swiss. Tim yang berangkat adalah dia yang punya aliran darah dengan si pemilik media. Sementara Sherina dikirim ke KALIMANTAN! untuk meliput orangutan dan bagaimana reservasinya di sebuah LSM bernama OUKAL. Tentu telah menjadi karakter Sherina jika dia suka konfrontasi, dia tak suka dengan keputusan atasan yang sepihak. Memutuskan pulang menemui ayah dan ibunya dan berniat resign dari kantor. Namun, ayah dan ibunya mengingatkan Sherina untuk melanjutkan petualangan dan "menerima nasib".Namanya juga film kan ya, di Kalimantan, sebentar, aku mau berlebai dulu dengan Kalimantan. Sepanjang film ini yang latarnya diambil di Kalimantan, Kalimantan Tengah tepatnya menurut pengamatanku, di daerah Katingan dan Bukit Raya. Sontak aku langsung teringat dengan petulangan pertamaku pergi keluar Jawa naik kapal sendirian, tersesat di Pangkalan Bun, dan menempuh perjalanan hampir sehari untuk sampai ke Palangkaraya. Lalu, bersama teman-teman dari berbagai wilayah di Indonesia, melakukan studi wisata di Katingan, terkait pendoaan mayat, bakar babi, sampai hal terkecil: nyebrang sungai dengan perahu yang memuat mobil-mobil itu.
Terus hutan itu, Ya Allah, hutan itu, sungai itu. Aku mengingat air sungainya bisa diminum langsung tanpa ada efek batuk dan alergi, terus rasanya segeeer dan bening banget. Melihat film Sherina seperti mengajakku bernostalgia secara double, gak cuma saat Sherina dan Saddam kecil berubah jadi gedhe, aku pun juga ikut gedhe, tapi tentang hutan Kalimantan dan binatang endemiknya. Itu pengalaman-pengalaman yang rasanya menarik untuk dihidupi kembali, entah dalam bentuk yang lain ataupun dalam bentuk yang sama.
Di Kalimantanlah, Sherina ketemu sahabat masa kecilnya, Sadam atau Yayang. Dia jadi project manager di OUKAL, LSM yang melindungi orangutan di Kalimantan. Di sana juga ada tokoh namanya Sindai, anak SD yang melindungi orangutan. Konflik utama yang diangkat pada PS2 yaitu, pembalakan binatang-binatang langka. Pelakunya tentu orang-orang kaya yang gak ngotak dan hobinya memberi makan ego saja seperti Syailendra (Chandra Satria) dan istri mudanya Ratih (Isyana Sarasvati), dibantu dengan body guard perempuan, Pinkan (Kelly Tandiano). Lagu musikal dari Ratih dan Syailendra pun secara literal menyebut, koleksi binatang langka itu sebagai gengsi dan eksistensi.
Sherina dan Sadam akhirnya melalui petualangan mereka untuk kesekian kalinya. Bukan di Observatorium Bosscha, tapi di rumah pembalak liar yang hendak menumpas mereka. Di situ akhirnya masa lalu keduanya diungkap dengan intim. Pernah gak sih ngalami moment berdua seperti itu? Cerita masa lalu terus ngebicarain diri masing-masing secara jujur. Merefleksikan berapa lama cahaya bintang bisa sampai ke bumi, bukan dengan obrolan yang sok filsafat atau bagaimana, tapi obrolan yang sifatnya lebih ke pengetahuan.Misal, Sadam jengah dan meninggalkan Sherina karena anaknya selalu pengen mengontrol, selalu pengan mimpin, sering sok tahu, dan apa-apa dia lakukan dengan kehendaknya sendiri tanpa memikirkan yang lain? Sherina tak sadar itu. Sejak kematian papi Sadam dan maminya yang hidup di Sydney bersama kakak-kakaknya, Sadam memilih jalannya sendiri. Namun ada juga kesamaan-kesamaan yang menyatukan keduanya, terutama bintang-bintang di langit, vega dan canopus, atau capella. Jika aku boleh berdoa, aku pengen hidup selamanya dengan sahabatku, sahabat yang telah mengenalku sangat lama. Bukan hanya soal waktu, tapi juga perkenalan itu sendiri.
Dan, setelah 23 tahun, Sherina dan Sadam tak mudah berubah karakternya. Mereka punya kehidupan masing-masing, tapi kumelihat Derby Romero seperti telah melalui berbagai pengalaman yang membuat wajahnya jadi teduh seperti itu. Sherina pun sebagaimana trend perempuan kiwari, tumbuh menjadi perempuan yang glowing dan bak princess dari negeri Disney. Meski part tersedih yang aku rasakan sebagai perempuan, di tokoh Sherina yang dewasa, nilai-nilai stereotip yang dilekatkan ke perempuan jadi semakin dinormalisasi. Aku merasakannya sangat halus, semisal pemimpin itu ya laki-laki, perempuan sekonfontratif apa pun harus dijinakkan, dan perempuan harus nurut. Haha. Ya, argumennya gak salah, konteksnya juga, bukanlah hidup harus dinikmati? Terlepas dari stereotip-stereotip ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar