Selasa, 12 September 2023

Seni Rupa Sebagai Monumen Ingatan Kolektif Kemanusiaan

Tulisan ini sebagai catatan dari diskusi yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dalam diskusi bertema "Peran Seni Rupa dalam Ingatan Kolektif Bangsa Tentang Kemanusiaan". Diskusi dilaksanakan di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa, 12 September 2023. Diskusi menghadirkan narasumber Asikin Hasan (Kurator Seni Rupa Salihara), Dolorosa Sinaga (Perupa, Pengajar di IKJ), Irwan Ahmett (Seniman), dan dimoderatori oleh Sarah Monica dari AWCPH UI.

Asikin Hasan menjelaskan pada para peminat diskusi, terkait berbagai seniman yang konsisten membangun monumen ingatan. Panitia mengajukan tiga pertanyaan di orba, bagaimana propaganda di bidang senin. Di antaranya, benarkah Orba menggunakan seni sebagai propaganda? Apa buktinya?

Dia mengambil pembanding tiga negara:

  1. Jerman, dengan nazi, semua karya menunjukkan kekuatan dan kegagahan. Dalam bentuk patung dan bangunan.
  2. Italia, dengan fasisme.
  3. Rusia, dengan realisme sosialis, dipompa sehabis-habisnya. Di Hermitage, St. Petersbug Ruisa, bekas kerajaan Catherine. Di sana karya tak ada bandingnya. Hanya mengarah ke satu pokok soal: memperlihatkan figur-figur yang penuh perlawanan. Di sana kita melihat sesuatu secara masif.

Asikin menjelaskan, Orba tak menggunakan seni rupa sebagaimana tiga negara tadi. Rezim Soeharto tak sampai kesitu, menggunakan seni rupa sebagai pelanggeng kekuasaan. Orba tak melihat penting seni. Bagi orba, seni rupa hanya hiasan di dinding, atau benda kerajinan untuk mempercantik rumah. Misal ke Istana Presiden, lukisan yang dikoleksi gambar-gambar pemandangan yang kalah mooi indie dengan Bung Karno. Orba gemar ngoleksi patung tradisional dari Bali dan Irian khususnya.

Asikin pernah datang ke TMII, di situ banyak karya Lampard, disimpan di gudang dan tak terurus. Begitu pun di istana, di Orba, barang-barang yang banyak disimpan ukiran Jepara, Kudus, dan Bali. Asikin tak yakin itu hal yang ideologis. Kita tak menemukan narasi dan imajinasi. Kita sulit membayangkan bagaimana seni bisa jadi instrumen ideologis.

Juga patung-patung monumen di ruang publik. Patung Bu Rita di Slipi, yang kemudian dibongkar. Ada juga patung tonggak samudra karya G. Sidharta di Tanjung Priuk, karya ini dipindahkan. Juga monumen proklamasi oleh Nyoman Nuarta dkk. Juga Arjuna Wijaya di Jalan Thamrin. Karya-karya ini hanya masalah estetik, bukan politik. Dia hanya sebagai hiasan kota. Beda ketika melihat ini di Orla, Edhi Sunarso.

Dulu di Orla, Soekarno sebagai dirijen. Dia menentukan lukisan istana, bentuk relief (Sarinah, Hotel Bali Beach, dan Ambarukmo). Semua tak lepas dari gagasan dan konsultasi dengan Bung Karno, dia menggunakan seni sebagai instrumen. Di situ ada dialog antara Seniman dan pemimpin. Edhi Sunarso dkk rutin ketemu dengan Bung Karno untuk membicarakan seni. Misal patung selamat datang itu patung logam pertama di Indonesia. Edhi awalnya tak sanggup, ditantang olek Bung Karno, dia akan panggil Seniman dari Rusia. Lalu Edi ketemu Seniman di Jogja, Pak Gardono, ahli pengecoran logam. Mereka masih coba-coba, sampai patung selamat datang itu jadi. Itu terlalu berani, dengan pengalaman yang masih nol.

Kita bisa bandingkan patung selamat datang dengan patung pemuda. Itu aspek dasar seni patung, anatomi itu sempurna. Ini tak menggambarkan manusia, tapi beyond man. Realisme sosialis membangun kesempurnaan karya dengan karya itu sendiri.

Di patung HI, bisa memperdebatkan patungnya, tapi lebih kuat adalah ekspresinya. Ketika dikitari 360 derajat, ada semangat dan ekspresi yang kuat. Patung yang besar pasti mengalami distorsi. Bagian mana yang lebih besar, mana yang lebih kecil. Begitu juga patung pembebasan Irian dan patung Dirgantara. Bagaimana Marhaenisme yang didengungkan Bung Karno tergambar. Itu bisa dikatakan seni rupa yang terpimpin. Hal seperti itu penting, bagaimana imajinasi Soekarno dalam seni. Bagaimana keberpihakan pada Marhaenisme. Ketika melihat relief, itu dalam tanda kutip orang kecil. Tangannya selalu bersentuhan dengan tanah. Gambar yang mewakili apa yang digambarkan oleh Bung Karno. Ini yang tak kita lihat di Orla.

Patung di masa Orla yang punya aspek politis itu Monumen Jogja Kembali atau Monumen Pancasila Sakti. Hanya itu. Selain seni rupa yang tak begitu dimanfaatkan secara maksimal, Orla sadar, bukan seni rupa yang mereka tuju, tapi media massa. Media massa baik cetak, suara, audiovisual, itu dimanfaatkan secara masif sebagai alat propaganda. Misal Kelompok Ponpencapir, TVRI secara masif jadi alat propaganda untuk nunjukin keberhasilan pangan Orla. Orla juga buat Yayasan Amal Bakti Pancasila yang mengambil dana dari PNS, TNI/Polri. Ada 999 masjid muslim Pancasila. Media massa yang tak sejalan dibredel dan tak terbit lagi. Bagaimana kebenaran dimonopoli oleh Orba.

Selain media, yaitu film, misal Pengkhianatan G30 PKI. Itu jelas propaganda. Media massa dan film, itu ynag dipompa habis-habisan di Orba.Juga tentang kehadiran seni rupa baru. Ini blunder pembangunan. Misal TIM pada masa Ali Sadikin, di masa itu, teater muncul dengan besar-besaran. Pertunjukan Rendra dianggap berbahaya, juga Hardi di gerakan seni rupa baru. Di masa itu, TIM banyak melahirkan Seniman hebat di banyak bidang, isinya kritik. Aspek kritis saat itu di masyarakat habis. Yang dianggap mengganggu akan dihabisi. Gerakan seni rupa baru itu gerakan  tua vs muda. Ada dominasi dari persagi, ada jiwa ketok, menghasilkan apa yang konkrit. Ada lima mahasiswa di ASRI, mengkritik dewan juri TIM, ini asal-usul biennale. Hal berharga yang mereka sumbang, menghadirkan seni yang konkrit. Seperti video art, performance art.

Irwan Ahmett menjelaskan tentang karya 2015-2018. Keempat karya yang dijelaskan Iwang terkait situasi politik di Asia Tenggara hingga perang Vietnam. Dia merenungi terkait nilai-nilai kemanusiaan. Ada kontrol di berbagai aspek, yang berkolaborasi dengan rezim. Dia menyoroti terkait sejarah dan kekerasan. Bagaimana spasialitas sejarah memengaruhi individu, apa itu kebenaran, bagaimana pelabuhan kebenaran?

Karya pertama, Spatial History, 11 Maret 2015, di Teater Kecil Jakarta sebagai respons terhadap Supersemar. Keberadaan surat ini antara ada dan tiada. Yang nampak, sebuah wacana fiktif, narasi Orba, yang sulit menerima kebenaran, karena sulit ditemukan. Dihilangkan oleh pelaku yang tak ingin diungkapkan. Apalagi ketika melihat arsip, hanya 20 arsip yang mampu kita lihat, 80 persen tidak, dan itu sumber daya imajinasi. Orba membuat monumen yang buruk. Terkait diorama di monas.

Lalu Monumen Pancasila Sakti. Kenapa Pancasila disaktikan lagi. Juga Monumen Sekarang Umum 1 Maret. Monumen tak lagi menarik. Juga monumen di Makassar sepi, lebih asik main di Pantai Losari. Monumen tak tampak dan menjadi angin lalu. Memang benar, Iwang melihat monumen.

Karya kedua, autopsy history, 30 September 2016, YLBHI Jakarta. Ini terinspirasi dari buah surgawi. Dari otopsi delapan jam, 65, setelah 75 jam. Dokumen otopsi disembunyikan, dan ditemukan oleh Ben Anderson. 

Ketiga, Permanent Shadows, 30 September 2017, Gedung Pusat Film Negara.

Dia menjelaskan sekilas, film favorit Soeharto, Si Manis Jembatan Ancol. Bisa dibayangkan seleranya. Konsepsi sejarah yang dibangun oleh Nugroho Notosusanto. Film pemberontakan dibuat. Ada drama heroisme. Iwang menayangkan terkait berbagai film di Gedung Pusat Film Negara, 22 Januari 2017.

Keempat, Constellation of Violence, 1 Oktober 2018 dini hari, Bioskop Grand Senen, Jakarta, TPAM Yokohama Jepang.

Karya ini berkembang, mengajak Iwang bereksperimen terhadap investigasi akar kekerasan. "Juga bagaimana insting membunuh ada pada saya." Situs kematian itu ditutup oleh arsitektur Jawa. Sifat-sifat ingatan dan kekerasan. Iwang ada di medan, dia ada di pusat primata. Apa kita dikutuk hidup berdampingan dengan kekerasan? 

Kemudian Dolorasa Sinaga menuampaikan, ada dua hal yang disampaikan Iwang: satu monumen, kedua bagaimana monumen bisa kita lihat dalam konteks banyak hal. Monumen adalah ingatan yang dibuat atau diwujudkan dalam bentuk, dalam objek. Objek ini bisa kita mengerti. Peristiwa itu monumen, cincin kawin itu monumen. Value dia adalah ingatan.

Coba pergi ke prasejarah, bagaimana masyarakat tribal meyakini sense of survival itu dengan membunuh binatang dan berhubungan dengan leluhurnya. Dan biasanya itu diwujudkan dalam bentuk. Value lain yaitu penghormatan pada peristiwa, sosok-sosok yang berjasa, serta ingatan/pengetahuan.

Mengingat PP presiden terkait membangun monumen, kita bisa ingat ulang peristiwa 65. Presiden mengatakan penyesalan dan menyatakan negara akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM.

Salah satu yang disampaikan ke publik, ada penyelesaian non-yudisial dengan memberi kesejahteraan pada korban. Kalau menyimak, banyak pertanyaan, apa berhenti pada pemberian bantuan atau bagaimana?
Pelanggaran HAM pasti dilakukan oleh negara, kalau ada tawaran non-yudisial, akan mengebalkan pihak tertentu. Monumenisasi bukan saja merawat ingatan tapi juga pengakuan publik. Kasus 65 harus diselesaikan. Historical justice harus dilaksanakan.

Korban 65 punya empat pilar: (1) kebenaran bagaimana, hak atas to know the truth, (2) hak keadilan, (3) hak reparasi, (4) hak tidak terjadi lagi, (5) hak monumenisasi.

Misal pemerintah Jerman membangun monumen Holocaust di tengah kota. Peristiwa 65 banyak scholars yang nulis, tapi mengapa negara tak mampu menyelesaikan.

Aktivisme tak berhenti pada bentuk, tapi juga mengolah, seperti yang dilakukan Iwang juga tempat yang lain. Orba tak hanya media dan film, tapi juga monumen. Mengatakan pada kita itu kebenaran. Dolo setuju ketika monumen dibuat benar sehingga masyarakat cerdas.

Diskusi ini mendapat tanggapan dari John Muhammad, sebagai pihak panitia pendirian Monumen Trisakti. Di tahun 2015, dia bikin riset, Orba seninya cupu, tapi paling banyak memproduksi moseum. Bahkan Reformasi, masih banyak Orba untuk museum khususnya di Jakarta. Monumen daya sebarnya luar biasa. Monas dibangun Soekarno, tapi diorama udah Soeharto.

Kalau di Monumen Trisakti, dia jadi mahasiswa, ketua Debra Yatim, hasilnya empat bilah logam, ada bongkahan batu. Tapi itu terburu secara desain jika dilihat dari ilmu arsitektur. Pemenang satu dan dua berkolaborasi.

Otokritiknya terlalu cepat. Ada piagamnya itu saya yang bikin. Hal itu tak bisa buru-buru, tapi yang penting manfaatnya. BEM Trisakti mensakralisasi tempat itu. Upaya civitas academica tak hanya museum tapi juga halte.

Apapun karyanya, selama itu ada, itu isunya ada. Beda sama universitas lain, mengingatkan publik dengan memakai ruang publik. Harus tarung dan merebut. Kamil Muhammad diminta bikin museum terkait peristiwa Tanjung Priuk. Ruang publik harus tetap diintervensi.

Dengan situasi yang sekarang, kok menyamakan saja karyanya? Dengan Orba saja tak bisa? Apa yang dibutuhkan, apa aktor, kebijakan, atau lainnya?

Tanggapan berikutnya dari Aditya Utama, alumni Atmajaya, membangun monumen Semanggi:

Dalam pembangunan itu dibangun tak lama setelah peristiwa terjadi. Misal monumen selamat datang untuk peristiwa Ganefo, dll. Beda dengan Kampus Atmajaya, itu 25 tahun baru dibuat. Ini ada beberapa mahasiswa, Atmajaya ini kampus Reformasi, itu pentingnya monumen kolektif. Di mana ya peristiwa, Wawan jatuh di mana. Butuh artefak. Pihaknya berinisiatif membangun ini sebagai ingatan kolektif, dan ini belum selesai. Dengan monumen, ini udah selesai belum ya? Pembangunan ingatan kolektif seperti itu.
Monumen sebagai material untuk cari ingatan kolektif. Apakah monumen ini masih worth it?

Lalu juga mendapat tanggapan dari anggota KontraS: Rumah Gedung di Aceh dihancurkan. Hari ini 39 tahun tragedi Priuk, menagih janji. Sampai sekarang, Trisakti dan Atmajaya sudah bangun, Priuk belum. Bagaimana menghidupkan aktivisme dalam seni? Apa itu jadi gerakan seni rupa modern? Apa itu relevan?

Juga pertanyaan dari Nirwan: Rencana pembuatan di IKN seperti apa? Banyak sekali tema kemanusiaan? Pengulangan sejarah yang telah ada.

Lalu Bu Dolorasa menjawab: Harus berikrar, bagaimana merawat ingatan kita terhadap 65.
Kalau mau bangun memorialisasi pasti berhadapan dengan institusi power. Banyak yang bisa kita kerjakan. Sama Kamil menata peristiwa ini dari awal. Kita bikin petanya. Kita juga bisa membangun museum maya, virtual. Kegiatan berkesenian tak hanya berhenti di value ekonomi dan intelektual, tapi juga ada nilai resitensi, juga kesadaran sospol, untuk mewujudkan perubahan

Lalu Irwan Ahmett memberi tanggapan: Ari-ari besi, saya buat monumen di situ, di IKN. "Saya lihat itu gimmick nasionalisme, mirip marketing perumahan. Saya udah buat peripih di IKN. Pola-pola menjual kapling perumahan. Saya khawatir, Pulau Jawa dibuat monumen tak akan cukup, masalah semua itu. Banyak wajah superfisial, estetika kita masih seperti itu. Gagasan memorialisasi itu penting. Kita gampang lupa, bertempur dengan peristiwa berbeda. Monumen itu bisa jadi jangkar. Kita ditantang mencari cara yang baru. Juga di WTC Tower, ada hal yang berpikir sangat dalam. Bagaimana kekuatan seni memunculkan hal yang tak bisa kita pikirkan. Dengan kreativitas ada banyak hal yang bisa dilakukan dengan baik."

Asikin menambahkan: Monumen kalau diartikan tiga dimensi itu akan banyak dan akan muncul terus. Sebagai usulan, selain sesuatu yang monumental, juga unmonumental, seperti museum Holocaust, apa yang dihadirkan di situ narasi, foto, sendal, unmonumental, itu artefak-artefak yang kuat. Hampir tak ada yang monumental, sehingga kita merenung. Buku itu juga monumen. Bagaimana membangun narasi sehingga banyak orang mempelajari. Monumen kita miskin narasi. Aspek yang monumental justru memberi impresi yang kuat! Eureka! Kalau melihat peristiwa Trisakti dan Semanggi, bagaimana arsip dibangun dalam bentuk narasi. Bisa dengan media baru yang ditampilkan. 

Kata Penutup:

Soal monumen IKN, ini apa? Ini semacam konvensi, ini tradisi yang berubah. Monumen tandingan yang unmonumental. Itu narasi yang lebih penting. Bangunan bisa roboh, tapi narasi enggak. Kita harus selalu merawat ingatan, terhadap sesuatu yang melukai kemanusiaan. Itu tak harus fisik, tapi juga unmonumental. Merawat ingatan itu penting. (Asikin)

Konsep keadilan itu bukan hanya manusia, tapi monyet juga punya. Tanpa keadilan, dia ada tapi tak bermakna. Terlalu banyak arsitektur, saya menahan diri untuk tak menghujat, tapi landasan kemanusiaan yang bekeadilan. (Irwan Ahmett)

Untuk rezim baru, DKJ kalian akan menghadapi luar biasa dan komitmen kuat dan besar, karena tak tahu siapa yang jadi presiden. Dengan membuka dialog publik, ini langkah yang luar biasa. Kalian peduli, dengan menghadapi institusi power harus lebih cerdas lagi. Kalian harus jadi penutan. (Dolorosa Sinaga)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar