Selasa, 26 September 2023

Masih Adakah Spiritualitas di Kota?

Catatan ini diambil dari Seri Diskusi Publik Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) berjudul "Masih Adakah yang Spiritual di Kota?". Diskusi menghadirkan narasumber: Adin Hysteria (Art Enthusiasts), Jecko Siompo (Choreographer), Ardianti Permata Ayu (Dosen dan Peneliti), serta dimoderatori oleh Saras Dewi (Komite Tari DKJ). Pertemuan dilaksanakan di Teater Wahyu Sihombing, TIM Jakarta, Selasa (26/9/2023).

Ketua Komite Tari DKJ Josh mengatakan, pihaknya melakukan riset di Banyuwangi tentang Tari Sablang Bakungan. Spiritualitas tak hanya terjadi secara vertikal tetapi juga horizontal. Dari proses itu, pihaknya membuat esai visual singkat bagaimana spiritualitas menjadi inspirasi untuk diperbincangkan.

Lalu, Dave dari DKJ mengatakan, ritual itu dilakukan pada hari Minggu. Sudah ada keluarga yang telah membuat bunga-bunga. Ada juga ibu yang memasak sajen, yang juga menjadi pengudang Mbah Witri. Lalu ke makam, bersih desa, dan ritual berjalan. Acara berlangsung sampai jam 10-11 malam.

Saras Dewi mengatakan, Banyuwangi telah berkembang perkotaannya. Bagaimana warta di Bakungan, juga berbagai elemen masyarakat mengalami urbanisasi. Dari tuturan lisan, ini sudah 300an tahun yang lalu. Tarian ini tarian kuno yang bermakna di tengah urbanisasi. Bagaimana dari tarian itu, bukan bagian perspektif semata, tapi bagaimana sosial dan ekologis.

Narasumber Adin Hysteria menyampaikan terkait anomali imajinasi budaya urban. Ada Festival Bukit Jatiwayang, di sana ada ritual siraman dan cucuk rampah. Ada hal yang ingin disakralkan. Imajinasi terkait urban tak melulu personal. Dia memperhatikan masih primordial. Di Bustaman, ada kuliner petengan. Alasannya kangen listrik mati. Ada kerinduan terhadap itu.

Juga ada tumpengan yang bukan hasil alam, tapi tumpeng makanan sachet. Gunungan bukan hasil sayur mayur, tapi jajanan ringan. Filosofinya, tidak ada lagi tradisi, sudah tak ada orang yang kirim saji ke pohon, kecuali di periperi seperti di dekat Kendal. Atau moment tertentu seperti Agustusan.

Dalam konteks ini, primordialisme bisa dideskripsikan ulang: agama, asal usul, etnisitas, dll, yang bisa mengikat mereka secara bersama-sama. Dia bertanya, apakah doa mereka sudah ditemukan ratusan lalu? Itu dikarang-karang. Dulu tak ada tradisi ke makam, tapi kemudian digawat-gawatkan, harus dibikin sakral. Ada hal seperti itu di kampung-kota.

Realitas itu tunggal, tapi perspektif macam-macam. Misal di beringin, kasi lampu artistik, tapi beda ketika ada yang turun dari pohon. Menurutnya, kampung di Semarang banyak hilang karena pembangunan, perebutan tanah, dan pengilangan laut. Kampung-kampung terancam hilang oleh banyak hal. Industri pariwisata dipakai dalam rangka mengurangi kemiskinan, mesti tak selalu seperti itu. Ada kerinduan kangen main bareng, ngobrol bareng, ada kekangenan atau kohesi sosial. Pemerintah datang dan itu saja yang dia pahami. Dinas Kebudayaan jadi hal krusial, meski dianaktirikan.

"Aktivisme bertemu kebutuhan, konteks sehingga relevan," jelasnya.

Spiritualitas bukan satu-satunya aspek, aktivasi ruang dan aktor menjadi signifikansi dalam place making project. Tapi tak pernah bilang urbanisasi itu apa, dan climate change tak disuarakan. Apa memori kolektif yang disepakati bersama? Siapa yang berkepentingan dan berpengaruh. Di kampung-kota hal ini bisa dilakukan.

Di sisi lain, Ardianti Permata Ayu mengatakan, seni punya spiritualitas di urban. Ruang merupakan lingkungan tempat manusia berada. Ruang juga merupakan bagian dari masyarakat dan kebutuhan (Hoed, 2011). Jika dilihat dari segi morfologi kota, ruang kota bisa dianggap sebagai ruang budaya, bukan hanya sebagai ruang industri dan ekonomi.

Kota harus memfasilitasi warganya bisa berinteraksi secara individual dan komunal. Di sini, komunitas menjadi penting dalam produksi ruang kota. Penting ketika ada interaksi, sebagaimana yang dikatakan Harvey, warga memiliki hak untuk membentuk dan mengubah kota, serta dapat mereformasi struktur kota sesuai dengan kebutuhan dan keinginan secara komunal.

Lefebvre bilang, kota merupakan hasil interaksi kompleks antara elemen fisik dan non-fisik. Tradisi dan kepercayaan merupakan salah satu aspek dalam produksi ruangnya. Ruang fisik kota dipengaruhi yang material maupun non-material, termasuk spiritualitas.

Spiritual tak selalu vertikal, tetapi juga hubungan dengan masyarakat. Bagaimana setiap manusia punya jiwa. Ketika dikaitkan dengan seni tradisi, ada yang disebut roh. Dari penelitiannya terkait Tari Ballet yang dimasukkan dengan seni tradisi (yang hanya menjadi dekorasi saja). Spiritualitas memiliki rasa, intuisi, kelestarian, dll.

Kehidupan di kota banyak, dari kepadatan, kriminal, kerusakan lingkungan, dll. Lalu masyarakat mencari spiritualitas. Mereka keinginannya mau healing dan healing. Bukan sekadar pelarian, tapi juga berhubungan dengan alam. Ada kehati-hatian untuk bertindak. Ini bisa membuat komunitas menjaga lingkungan hidup. Kita bisa mencoba pendekatan kesenian untuk memberikan wawasan.

Masih adalah yang spiritual di kota saat ini? Dalam konteks urban Jakarta, Jakarta merupakan kota warisan kolonial dan patron-patron setelahnya. Masyarakat yang majemuk membuat suatu kebudayaan yang baru. Punya potensi menumbuhkan suatu spiritualitas baru. Ada sense of place, ketika sudah milik publik, ada rasa yang berubah. Ada kampung batik, dll, tapi tidak riset kota butuhnya apa? 

Dia menanyakan, bagaimana cara menggali dan menumbuhkan kembali spiritual yang pernah hadir? Bagaiman kesenian tradisi dengan spiritualitasnya dimaknai masyarakat kota saat ini? Bagaimana regulasi ikut berperan dalam hal ini? 

Lalu, narasumber Jecko Siompo mengisahkan ceritanya di Papua. Berbicara spiritualitas harus ada yang faktual. Budaya spirit, itu perjuangan individu lalu kelompok dan kesepakatan bersama. Seperti fosil menjadi fosil. Ketika hanya orang-orang tertentu, itu akan menjadi kepercayaan baru. Ada bahasa baru yang berkembang.

Pada tahun 80an, dia mengikuti di Senayan ada break dance, dia terapkan itu di Papua jadi battle. Dia menciptakan itu. Dia menemukan spiritualitas individu. Ada logika dan matematis. Ada penelitian, orang US ke Indonesia, mempelajarinya, tapi ketika diterapkan di negara dia, pesertanya cedera.

Sesi diskusi:

1. Hasan Aspahani: Apa hubungannya spiritualitas dan religiusitas? Seperti kisah Mauludan, 40 hari berturut-turut. Ada imam muda dari Jatim di Batam, dan ramai. Ini ternyata bisa tumbuh.

2. Isma: Berkaca pada kasus Kendal, tak dipungkiri tradisi makin lama akan hilang, berbagai seni tradisi juga udah malih lupa ke bentuk yang lain, dan spiritualitas pun tergerus, dan diganti dengan hal-hal yang tak masuk akal, tak berhubungan, dan mengais-ais mitos masa lalu. Apa pendapat narasumber terkait hilangnya tradisi itu? Bagaimana relevansinya?

Tanggapan:

Menurut Anti, ada mindset tentang hidup sejahtera. Misal ART cari uang aja. Artinya nilai yang ditimbuhkan beda. Pendidikan kita arahnya di situ. Rangking dianggap penting, spiritualitas itu hilang. Sudah jadi orang sukses, mereka hilang, akan punya rasa di situ.

Menurut Adin, religiusitas itu agama, spirit kembali ke jiwa. Apapun itu, mau maulidan, semua hal yang berpotensi menggalang massa itu politis. Seni itu bukan bidang istimewa dibandingkan yang lainnya. 

Betapa kota-kota pesisir, Jakarta dan Semarang yang sebenarnya tak jelas. Tak ada beban menjadi Jawa. Itu beban administratif dari Jawa. Termasuk yang anak, warak ngendok. Hewan paling tidak jelas, tapi dibikin paradoks. Itu fenomena sepele, itu mainan yang tak jelas. Misal waraknya harus ngendok, itu puasa, harus jaga nafsu. Orang Tionghoa punya tafsir lain, begitu kebudayaan kota. Supaya lebih spiritual, dikasi tafsir yang aneh-aneh. Misal Maesa Jenar dari Jogja, jadi nama klub sepak bola. Dari assembling itu punya budaya baru. Yang paling penting, memori kolektif apa dulu? Dan orang yang berkepentingan dan berpengaruh. Kelas-kelas yang punya suara bisa menawarkan corak kebudayaan tertentu.

Menurut Jacko, dari caranya melihat agama, sampai saat ini, tradisi ya tradisi, tapi tradisi jadi agama. Ada kebiasaan nenek moyang yang itu dijadikan agama. Misal Maulidan, gunung bukan jadi kebiasaan spiritual. Ketika masuk tradisi tak ada hubungannya sama sekali, seperti bumi dan langit. Bumi dan laut wkwk. Kemudian mereka mengaitkan, misal jilbab, itu tradisi. Dikolaborasi tidak bisa. Yang kuat sebenarnya spiritualitas individu. Tradisi ya tradisi, agama ya agama. Misal juga terkait Haji, itu tradisi, tapi sebenarnya ibadah. Ini ada hubungannya dengan penjajah. Dia menekankan pada spiritualitas individu yang harus dicari dulu. Gak butuh healing tapi dealing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar