Jumat, 01 September 2023

Like Father, Like Son (2013): Karakter Anak Tak Lepas dari Siapa yang Mengasuh


"Dia harus disiplin. Jika kau melewatkan satu hari, kau akan tertinggal tiga hari untuk mengejarnya. Tak ada waktu untuk diberikan pada pecundang." Kira-kira begitu ajaran Ryota Nonomiya (Masaharu Fukuyama) pada anaknya Keita Ninomiya, atau Keita-san. Seorang ayah yang memandang jika zaman sekarang, kebaikan itu jadi kelemahan.

Dari film ini aku belajar, yang terpenting adalah siapa yang membesarkanmu, di mana lingkungan kamu hidup, itu yang lebih membentukmu dari sekadar ikatan darah. Seperti Keita atau Ryusei Saiki (Hwang Shogen) yang begitu terpengaruh dengan karakter ayah dan ibu mereka masing-masing. Di sini, tokoh Keita mengingatkanku dengan diri sendiri ketika kecil. Ibu bilang jika dulu aku anaknya diam, ditinggal kerja pun diam dan anteng, barangkali mirip Keita, haha. Ibu palsu Keita, Midori Nonomiya (Machiko Ono) juga memiliki latar belakang yang tak jauh beda dengan ibuku, menikah dengan pria yang berbeda kelas seperti ayah.

Keita dan Ryusei memiliki karakter yang berkebalikan, meski mereka bisa diajak bermain bersama, tapi sosok Keita bagiku lebih kompleks. Hal lain yang kurang menurutku adalah film ini terlalu berfokus pada keluarga kelas atas, dan memberi porsi yang lebih sedikit dibanding keluarga kelas bawah, jadinya mayan bias kelas. Keluarga yang kesehariannya jualan di toko elektronik vs project manager architect tentu berbeda. Hidup di kota dan hidup di desa juga berbeda.

Rumah dan lingkungan mereka pun berbeda. Orangtua palsu Ryusei, si ayah Yudai Saiki (Lily Franky) dan Yukari Saiki (Yoko Maki) digambarkan juga sebagai orangtua yang ekstrovert. Mereka bisa mengajak mandi anak-anaknya bersama sambil menyemburkan air. Atau si ibu yang menggelitik perut anaknya tanpa rasa ragu. Khas kelas menengah bawah yang masih menganut banyak anak, banyak rejeki, keluarga Saiki juga memiliki jumlah keluarga yang lebih banyak. Ryusei punya dua adik (bukan) kandung yang menggenapi sikap ekstrovernya. Tentu ini menjadi hal yang susah bagi Keita.

Namun, hal yang menggetarkan di sini adalah emosi anak ke orangtua, dan emosi orangtua ke anak. Aku suka film ini karena pergolakan psikologi tokoh yang begitu ditampilkan, baik dari gestur, suara, mimik, dan barangkali sekadar aksi diam mereka ini berbicara. Anak adalah akumulasi segala hal yang dicekokan orangtua, meski si anak tak suka, tapi anak yang baik akan belajar untuk memaksakan kehendak orangtua ke dirinya sendiri. Itu juga bukan yang terjadi di dalam diri banyak di antara kita?

Ironi lain, jika orang sudah mengidap perasaan iri, dia akan punya banyak cara untuk merugikan orang lain. Seperti suster yang dengan sadar menukar kedua bayi itu dengan alasan keluraga Nonomiya lebih kaya, sedangkan dirinya miskin dan menderita. Kasus diungkap lima tahun kemudian ketika gugatan sudah tak bisa dibalikkan lagi. Namun, ironi lain, mengapa orang kaya selalu ingin menampakkan segala hal yang sempurna? Kerja keras bagai kuda dan tak memikirkan keluarga? Mana keluarga yang lebih baik aku ragu memilih. Apa pun pilihan kalian dan win-win solution yang bagaimana untuk mengakhiri konflik anak tertukar ini, aku berterima kasih pada sutradara Hirokazu Koreeda yang telah membuat film bagus ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar