Gaya penceritaannya juga lucu, mengajak pembaca menertawai kekonyolan hidup sehari-hari, dan tak kalah penting membawa orang yang baca terlibat dalam kisahnya. Misalkan dalam tulisan "Numpang Parkir", di situ bicar tetangganya yang beli mobil tapi markir di depan rumah tetangga sampa menimbulkan pertengkaran. Di antara kritiknya, bersama obrolan dengan suaminya, Andina menulis, " Bagus juga ya, ruas jalan kita kalau malam. Seperti showroom mobil yang buka 24 jam."
Dalam tulisan-tulisan di buku ini, saya juga seperti diajak mendewasa terkait berbagai budaya populer seperti film-film apa yang saya tonton, sampai tokoh siapa yang saya idolakan. Studi kasusnya dalam film Meteor Garden, dulu saat kecil dia beranggapan film itu keren, tapi setelah dewasa dirinya sadar, itu film toxic terkait relationship yang banyak adegan cringe dan kekerasan. Yang menormalisasi kaya-ganteng adalah segalanya. Atau saat dia mengidolakan Sherman Alexie, setelah idolanya itu adalah pelaku predator seksual, Andina sadar harus mengambil sikap terhadap aktor kesukaannya itu dalam bentuk personal dan politis dalam laku sehari-hari.
Dibandingkan dengan buku Andina yang pertama, "Semusim dan Semusim Lagi" yang memenangkan sayembara novel DKJ 2012, buku ini tak seberat buku pertama yang dipenuhi banyak referensi filsuf, rekomendasi film, list daftar lagu, dsb. Buku pertama Andina yang sebenarnya sangat eksistensialis dan individualis dari tokoh utama Aku tak bernama. Di buku ini Andina mengaku jika menulis hal-hal domestik itu tak kalah kerennya. Sikap itu membawanya pada aliran-aliran penulis lain seperti Elena Ferrante, Chitra Banerjee Divakarumi, hingga Alice Munro.
Semangat itu pula yang kemudian dia terapkan ketika menulis "Lebih Senyap dari Bisikan" (2021). Yang sangat menggambarkan kisah-kisah perempuan dengan jujur dari kacamata perempuan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar