Senin, 02 Oktober 2023

Diskusi Buku Ultimus "Angin Menerpa Menara" Karya Han Suyin

Catatan ini merupakan ringkasan dari diskusi karya Han Suyin berjudul "Angin Menerpa Menara: Mao Zedong dan Revolusi Tiongkok (1949-1975)" di Beranda Rakyat Garuda, Jakarta, Minggu (1/10/2023). Bahas buku ini menghadirkan narasumber: Dede Mulyanto, Tatiana Lukman, dan dimoderatori oleh Reza Muharam.

Bilven Sandalista mengatakan, buku ini terbit tahun 2019. Namun karena prosesnya berat dan mengalami covid-19, jadi terhalang. Pihaknya menyesal kenapa buru-buru. Apalagi Ultimus juga menerbitkan buku berjudul Singapura (Poh So Kai). Buku ini dibedah dua kali di Jogja. Pak Te mengedit tiga buku, dua buku memoar dari Ir. Djoko Muljono. Tentang Banten dan memoar di Pulau Buru. 



Narasumber Tatiana Lukman menjelaskan, revolusi Tiongkok sangat penting, meski sudah tak ada. Pengaruh Mao banyak dan meningkat di pergerakan rakyat. Mao meninggal 1976, kemudian komplotan revolusionis melakukan kudeta. Anggota diundang untuk rapat politbiro, kemudian dieksekusi. Terjadi perselisihan antara oportunis kanan dan kiri (opor kaki)--oleh pemimpin-pemimpin partai. Tema pokok di buku Han Suyin yaitu perjuangan dua kelas dan ideologis di negara China, yang memungkinkan restorasi kapitalisme. Perjuangan dua garis, dua partai, di negara. Ada kontradiksi kelas dan perjuangan kelas.

Karena partai hidup di masa perjuangan kelas, anggota partai komunis membawa ideologi kelas sendiri. Mereka partai pelopor, anggotanya paling maju di kelas buruh, meski membawa ideologi dari kelas asal. Mendidik diri itu sampai mati, berjuang supaya ideologi proletar mendominasi. Membimbing dia punya sepak terjang di masyarakat. Sehingga menunaikan tugas, merealisasikan cita-cita partai komunis. Dalam praktik, sekali komunis tetap komunis.

Sosialisme lahir dari kesadaran penghisapan manusia atas manusia. Kekurangan dari buku, kenapa gak bahas peran Tan Sioping yang merupakan sekjen partai. Padahal perannya sangat penting.

Dia melanjutkan, lompatan jauh ke depan Mao digunakan oleh kaum setelahnya. Membangun sosialisme dengan berdikari, bersamaan dengan revolusi agraria. Ada komune rakyat. Semua proses ada perjuangan dua garis. Makanya penting buku Han Suyin. Bahwa Mao tidak sepenuhnya bersalah atas berbagai dampak yang disebabkan oleh revolusi, yang perspektifnya mendenominasi Mao.

Di sisi lain, narasumber Dede Mulyanto menjelaskan, setidaknya ada tiga hal yang ditangkap Dede dalam buku Han Suyin. Pertama, deklarasi republik rakyat Tiongkok, yang menjadi gerbang pintu kemerdekaan. Mao mengantarkan ke gerbang dengan berdirinya rakyat Tiongkok. Revolusi bukan soal durasi, seminggu atau sepekan, atau bagaimana masyarakat mengalami pembenturan, yang penting adalah "perubahan substansi". Struktur sosial ada perubahan, bukan hanya di bidang politik. Misal penelitian terkait ketimpangan lahan, ada golongan petani kaya dan kaya. Yang dimaksud Mao dalam  Oktober 49, revolusi timbul dari sana.

Mao dari sudut pandang Marxis, beberapa hal yang dia cetuskan tidak ada sanadnya. Ketika memutuskan revolusi Tiongkok, mustahil terjadi revolusi di proletariat perkotaan, tapi proletariat pedesaan, yang secara internal feodal. Peta Tiongkok udah dipetak-petak, negara mana saja yang menguasai. Konsesi untuk Inggris, Prancis, Jerman, dll. Dalam Marxisme berpangku pada proletariat perkotaan. Ketika kaum komunis berkumpul, jadi mudah dihabisi. Ternyata Mao berhasil, padal pas Lenin itu perkotaan. Apakah Mao reformis atau revolusionis? "Dia kreatif," ujarnya.

Konteksnya berbeda antara komune Paris, dibandingkan dengan Tiongkok. Pengalihan Mao ada nasabnya, terletak pada inti Marxisme. Martin Suryajaya menulis, inti Marxisme adalah metode. Sanad kreatif Mao ada di metode materialisme.

Kedua, ada lompatan ke depan. Mao melakukan reforma agraria dengan menghabisi tuan tanah feodal yang dibagi-bagi pada rakyat. Meski setelah itu, ada borjuis kecil. Petani mau menghasilkan kekayaan secara individual dan kolektif. Misal tahun 1951, Mao mengusulkan kolektifasi. Sayangnya tak semua petani punya pengetahuan dan teknologi, makanya saat itu menghasilkan kegagalan ekonomi. Sebab orang-orang yang tak paham dan punya pengetahuan gagal, karena lebih terbiasa untuk disuruh-suruh.

Namun, tahun 1978, ada 18 petani desa menulis curhat ke partai, dengan menceritakan desanya ke partai. Penduduk desa yang awalnya 120 tinggal 67 karena kelaparan. Karena ada sistem kuota setor kepada negara. Butuh modal besar termasuk kebutuhan akan alat berat. Ide itu masih diterapkan. Semua industri berat diusahakan, dari traktor sampai peniti. Problemnya sistem kuota sifatnya kuota tetap, seringkali ada yang bisa memenuhi ada yang habis disetor ke negara. Ini yang menjadi cikal bakal reformasi. Ketidakmakmuran mayoritas itu sumber ketidakstabilan.

Setelah 49 terjadi hal-hal besar, termasuk Perang Korea. Termasuk kisruh komunis internasional, demonisasi atas Al Mukarom Stalin. Ini berhubungan dengan kesinambungan moral. Ide soal demokrasi baru, yang penting menyelesaikan kontradiksi dari partai dan rakyat, yang non-antagonistik. Itu tidak antagonistik. Rakyat adalah presentasi, keinginan rakyat direpresentasikan dalam bentuk partai. Terjadi kecenderungan representasi rakyat dengan yang diwakilinya (birokratisme).

Tantiana mengungkapkan beda pendapatnya dengan Dede. Kaum opor kaki hanya menggunakan Marxisme untuk polesan bibir dan menghancurkan intisari dari Marxisme. Ini sebab dari keruntuhan sosialisme di Tiongkok. Mereka yang menang yaitu yang menjalankan kapitalisme. Mao melakukan RBKP dengan memobilisasi massa dan kampanye. Akhirnya mengerti, memecah orang yang ada di garis itu efeknya tak banyak, yang penting di kepala. Lalu soal kaum tani, Mao melakukan analisa kelas. Kaum tani berideologi borjuis kecil, pengen membesar untuk kepentingan sendiri. Lalu Mao bikin grup gotongroyong, selain untuk menyelesaikan teknologi tapi juga pengetahuan. Adanya grup saling bantu, untuk mendidik ideologi, di mana borjuis kecil tujuannya untuk diri sendiri. Supaya mereka sadar semua dilakukan secara kolektif, ini ideologi.

Hal itu diteruskan ke RBKP mengurangi egoisme. Dengan terjangkitnya revolusi itu, ada revolusi yang orang itu tak sadar. Apa yang dilakukan kudeta 46, tak ada hubungannya dengan Mao. RBKP berhasil melakukan sosialisme. Ada sosok baru Kruschev di sana. Mao melakukan perjuangan dua garis di partai, di militer. Mao percaya manusia bisa berubah, dia berusaha menyelematkan Ting Sio Pi yang lebih licik. Dia diterima setelah melakukan otokritik meski itu palsu, munafik.

Mao ngomong ada "perjuangan kelas", diperlukan revolusi dalam perjuangan proletariat. Revisionisme diangkat oleh tokoh-tokoh Indonesia termasuk Ibrahim Isa. Lompatan jauh ke depan dia berhasil melakukan revolusi tanpa utang sepersen pun. Ini juga tentang proses berdikari.

Dede menambahkan, untuk membangun industri berat termasuk dari nonindustri itu berasal dari industri berat. Itu kenapa kolektivisasi merupakan hal penting. Terjadi kecenderungan rekolektivasi diri baik di lingkungan pertanian dll. Rekolektivasi bisa berkembang di masa teknologi. Sistem demokrasi Baru Mao terasa manfaatnya, "menghancurkan ide tentang orang hebat dan berkedudukan." Rakyat mensentralisasi diri.

Industri atau perdagangan lebih tua daripada kapitalisme muncul di Eropa. Artinya tak bisa menyamakan industri/perdagangan dengan kapitalisme. Kapitalisme ada syarat ekopol, kekuasaan kelas tertentu terhadap institusi kolektif, negara. Salah satu kekeliruan Salvador Allende membiarkan alat negara dipegang oleh kapitalis, sehingga muncul Augosto Pinochet baru.

Tantiana mengatakan, Jack Ma pengusaha besar dunia itu anggota partai. Hubungan dengan Indonesia, sebelum Mao meninggal banyak orang dilindungi di Tiongkok. Tapi pas zaman Deng Xiaoping, orang Indonesia diusir. Partai yang dipilih kaum revisionis itu dikhianati. Kapitalisme yang dibangun di China itu sekarang kapitalisme kronis, karena punya hubungan dengan penguasa (pengangguran di China lebih dari 20℅ dan tak diumumkan). Di Indonesia juga begitu. Padal Mao selalu membela massa dan revisionis itu membelakangi massa. Bagaimana kaum revisionis menyabotase. 



DISKUSI:

Daniel Sihombing mengapresiasi adanya diskusi yang menarik ini. Daniel posisinya lebih netral, dia belajar dari tradisi kiri di luar, diskusi tentang sosialisme Tiongkok sangat minim. Salah satu yang ia pelajari, di CPA (Communist Party of Australia), prosesnya sangat sulit. Untuk jadi anggota juga gak mudah. Ada begitu banyak partai komunis dunia yang berelasi dengan Tiongkok. Dari pengalamannya tak demikian. Di Aussie ada program untuk studi banding terkait partai komunis. Partai-partai komunis yang ada di solid map ada di mana-mana. Mereka secara rutin bertemu. Buku ini harapannya bisa memperkaya sosialisme Tiongkok. Belum ada yang sekuat RRC dalam mengancam imperialisme. Apa RRC punya potensi membebaskan negara-negara tertindas?

Tantiana menjawab, China udah partai kapitalis. Yang ngomong aktivis Tiongkok, sensornya sangat kuat yang melawan kapitalisme Tiongkok. Sensor luar biasa terjadi pada Maoisme yang baru. Masalah lain, membedakan partai adalah soal penghisapan. Negara sosialis menghancurkan penghisapan manusia atas manusia. Di Tiongkok setelah Deng Xiaoping naik, banyak hak buruh yang diamputasi. Misal Suar Suroso, tahu-tahu setelah di Tiongkok, malah ngomong apakah salahnya pabrik ngambil nilai lebih? Di mana otaknya? Apalagi buruh migran banyak terjadi penghisapan. Ibrahim Isa gak pernah mengatakan penghisapan, yang diceritakan banyak kelas menengah ke atas. Buruh cuma jadi keset. "Saya nangis lihat itu," katanya. Zaman dia di sana ajarannya merah dan api. Bisa jadi penghisap sekaligus anggota partai!

Dede menjawab, tak ada hadis masyarakat sosilis. Pembangunan tak bisa dilakukan sekehendak hati. Membangun komune satu kota ala terbitan buku Marjin Kiri itu gak bisa. Revolusi bukan soal durasi. Kapitalisme sebagai individu atau kelas tak bisa mempengaruhi program 100 tahun, 1949-2049. Ada perencanaan jangka panjang yang individu tak bisa jalan.

Peserta diskusi Siauw menjabarkan, saya simpati dengan bapaknya. Ada konglomerat yang utangnya 3.000 miliar dollar, anggota komunis 30 tahun, lalu masuk bui. Belajarnya ke Harvard. Mengenai revolusi Kebudayaan terjadi kanibalisme, awal sebabnya keterusan konferensi 7 ribu orang yang mengkritik Mao. Mengekstrasi surplus pertanian desa ke kota. Banyak data yang cuma slogan, ada tulisan Tom Stone, dari berbagai data, total orang mati tercatat 35 juta. China yang populasinya besar jadi minus. Bukan karena bencana, tapi karena orang. Sekitar tahun 60-70 itu periode, tentang opini kekirian itu bukan cuma Asia tapi juga Amerika berkat dekolonisasi. Para wartawan kiri itu perlu. "Saya bisa jadi sponsor (untuk penerjemahan buku)." Tembok China itu cantik, tapi ngikutin rekomendasi Soviet untuk 10 proyek besar. "Kalau mengagungkan revolusi kebudayaan itu gak bener, saya gak setuju." Perlu membimbing pembelajaran bahasa China. Sekarang udah mase kapitalisme finansial.

Tanggapan berikutnya Iwan mengatakan, China itu kompleks sekali. Kita menjajaki sungai dengan menjajaki batu-batu. Cari kebenaran dari fakta. Yang nulis ini ngerti jiwanya China, bukan teorinya. Orang yang menang itu bisa mabuk, harus benerin cara berpikirnya. Dua cara berpikir itu akan terus hidup, benar yang dikatakan Tantiana. Janganlah kita merasa lebih pinter dari Mao dan Deng. Bukan penting kucing hitam atau putih tapi bisa nangkap tikus.

Tanggapan berikutnya Rudi dari GSPI, dirinya pernah baca, melakukan sesuatu ada landasannya. Berdisiplin pada teori. Tapi kok China ini gak lagi sosialisme. Contohnya di ketenagakerjaan tak hanya modal tapi juga tenaga kerja. Paling besar TKA itu dari China. Di China, sudah ada kapitalisme monopoli negara dan swasta. Ada birokrat yang ada di kapitalisme dan partai. Juga terjadi tusi yang melahirkan oligarki finance di China. Tidak hanya mengekspor barang tapi juga modal surplus.

Dede menyampaikan, Tom Stone belum melihat faktor iklim karena hal itu juga berpengaruh ke gagal panen. Beda daerah tropis dengan yang subtropis.

Tatiana tidak sependapat dengan Dede, bukan akumulasi ke barang berat, tapi ke alat-alat pertanian. Seperti mekanisasi pertanian, bukan kota eksploitasi desa, bukan, nei-nei. 



Poin-poin lain:
-Marx tidak pernah mengaku jika dirinya adalah marxis.
-Kebenaran itu seperti cermin besar yang dijatuhkan Tuhan ke bumi, dan siapa pun yang menemukan pecahannya mendaku seolah telah menemukan kebenaran.
-Siapa rakyat, bisa pakai analisa kelas, ala Mao, kaum buruh dan tani.
-Generasi muda diharapkan bisa meningkatkan literasi.
-Kemampuan Mao dalam membaca rakyatnya, bangsanya, itu panduan buat kota. Belajarnya melalui fakta.
-"Dalam Islam, kemiskinan dekat dengan kekufuran. Menjadikan orang lemah dan bisa digiring tak hanya fisik, tapi jiwanya juga. Dalam sosialisme, kemiskinan itu kontrarevolusi."



Tidak ada komentar:

Posting Komentar