Namun dengan kecerdasannya, Kaguya bisa memberi syarat serupa yang dikatakan oleh para pelamar bangsawan yang tak ada kualitasnya itu: pohon permata dari dunia ajaib, kain dari bulu tikus mengkilat, kerak burung kutilang, hingga bunga ajaib milik Buddha, ya, persisnya aku lupa. Perumpamaan ini menarik. Semuanya tak berhasil, bahkan di antaranya meninggal dunia.
Kesamaan lain yang kurasakan adalah mengenai rasa kesepian yang dialami Kaguya. Semenjak dia pindah ke kota dan meninggalkan desa, meninggalkan kehidupan miskin menjadi orang kaya baru, Kaguya tak memiliki teman, teman satu-satunya adalah ibu angkatnya. Kawannya yang sejati adalah anak-anak desa. Di sana dia bisa bebas lari kesana-kemari dengan tawa dan senyum yang bebas. Aku mencintai senyum dan tawa itu. Semua menjadi tekanan ketika Kaguya hidup di istana baru ciptaan si ayah angkat.
Bahkan Kaguya harus menciptakan dunia palsu di belakang rumah untuk mengenang masa-masa ketika di desa. Kaguya yang seperti pohon bambu, dia tumbuh dengan sangat cepat melampaui waktu dan usia. Atau seperti karet yang semakin diulur semakin panjang.
Hatiku juga terasa hancur ketika Kaguya harus mengikhlaskan laki-laki yang dicintainya Sutemaru telah menikah dengan perempuan desa lain dan memiliki seorang anak. Namun dalam film itu, persoalan laki-laki mungkin bukan fokusnya, jadi terlihat dia tak begitu memikirkan kisahnya dengan Sutemaru. Namun di benak penonton sepertiku, kisah percintaan itu sangat tragis. Mungkin juga karena keduanya beda dunia dan sulit untuk tersatukan, maka seperti wajar jika akhirnya mereka harus terpisah. Termasuk ketika Kaguya bertemu dengan Sutemaru yang menjadi maling di kota karena tak ada pilihan, hingga ia dipukuli.
Sebab masa-masa menderita itu, dia mengatakan jika sudah tak kuat hidup di bumi dan ingin kembali tempat asalnya di langit. Bersama Dewi Kwan Im, bersama Buddha. Hidup dan lamai di langit. Dunia begitu lacur, jahat, dan kejam. Lalu setelah kembali, Kaguya tak mengingat apa-apa lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar