Lama juga ya film animasi ini, dan zaman itu Ghibli udah bisa nyiptain sejenis karya yang seapik dan se-colorful itu. Barangkali, untuk memulai tulisan tentang film ini, alih-alih menjereng alur atau plot, aku ingin memberikan pandanganku pribadi. Sebab alur jereng-menjereng itu kupikir melelahkanku, dan aku merasa tak hidup dalam menulis selain untuk mencukupi standar kuantitas. Aku paham, hal itu bukan diriku sekali. Kebetulan, beberapa minggu yang lalu, aku bertemu dengan jurnalis China, namanya Kiki.
Kami berkenalan lewat Mbak Tita Salina. Kami bertemu di Upnormal Raden Saleh, dia mewawancaraiku terkait kereta cepat Jakarta-Bandung dengan menggunakan bahasa Inggris. Itu wawancara resmi pertamaku pakai bahasa asing. Haha. Kiki di dunia nyata agaknya memang mirip dengan Kiki-nya Ghibli, mereka putih, cantik, berambut pendek, manis, dan pantang menyerah. Mandiri dan menggambarkan keadaan millenial yang harus menyeimbangkan antara kehidupan kerja dan passion.
Alur film ini lagi-lagi sederhana, aku kagum dengan Ghibli yang bisa mengungkap kesederhanaan menjadi sebuah karya. Bercerita terkait Kiki (Minami Takayama), anak dari keluarga penyihir. Di usia 13 tahun, Kiki ingin memulai petualangannya sendiri dan berada di negeri asing yang belum pernah dia kunjungi. Kiki ditemani oleh kucingnya Jiji (Phil Hartman) pergi ke sebuah kota yang mirip Eropa, seperti perpaduang antara Inggris, Prancis, Italia, dan Spanyol, ya barangkali negeri serupa itu.
Lucunya, film ini tak mengumbar mantra-mantra sihir sebagaimana film sihir pada umumnya. Gak sama sekali. Komponen sihirnya hanya sebatas pada sapu terbang dan tak lebih, wkwk. Atau kucing yang bisa bicara dan elemen artifisial lain seperti baju warna hitam. Aku gak tahu motifnya apa, tapi film ini justru ingin menjungkirbalikkan makna sihir yang sesuai dengan termanya orang-orang Ghibli. Ya, lakukan saja hal yang menjadi bagianmu.
Keterampilan terbang itu Kiki gunakan untuk membantu orang mengantarkan barang-barang: dot bayi, barang berat, surat, hingga kue-kue. Di kota, Kiki bertemu dengan gerai kue yang pemiliknya seorang ibu hamil bernama Osono (Keiko Toda), dengan suaminya bakery worker (Koichi Yamadera). Kiki awalnya bekerja dengan mereka hingga dia membuka toko rotinya sendiri, yang meski sepi, setidaknya dia dan Jiji bisa melanjutkan hidup.
Saat Kiki mulai kehilangan kemampuan sihir untuk terbang dengan sapu, dia bertemu dengan temanya yang lain, Ursula, anak yang pandai melukis dan tinggal di hutan. Bersama Ursula, Kiki mendapat pencerahan terkait makna sihir menurutnya. Kemampuan sihir itu juga untuk membantu menyelamatkan nyawa anak laki-laki lokal di sini bernama Tombo (Matthew Lawrance). Tombo terjebak di bola udara atau macam rudal terbang yang gagal. Kiki berhasil menyelamatkan Tombo, seorang anak yang sangat kreatif, dia membuat pesawat jenis baru dengan bantuan sepeda!
Scene menyentuh lainnya, saat seorang nenek ingin membuatkan kue untuk cucunya yang bahkan tak menghargai hasil buatan si nenek. Sampai si Jiji bilang, "Anak itu gak cocok jadi cucunya nenek." Bagian ini mengingatkanku, kita selalu baik di mata yang tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar