Kamis, 31 Agustus 2023

His Only Son (2023): Kisah Abraham dan Berbagai Keberatanku

Mungkin karena latar belakangku yang bukan dari kalangan Nasrani, cerita yang kulihat di film ini jauh berbeda dengan yang ada di versi Islam. Aku merasa menyesal menontonnya karena tak sesuai dengan ekspektasi awalku yang  terkait kisah Nabi Ibrahim. Di tengah jalan pas nonton di Gama Plaza, aku cukup ngantuk. Baiklah, berikut perbedaan yang kutemukan dan juga keberatan yang kurasakan.

Pertama, ini adalah keanehan film USA dan beberapa kali kutemukan di film lainnya: kenapa mereka seolah meng"amerika"kan orang-orang Arabic dan Middle East dengan cara memakai aktor (tipikal) Hollywood dan memakai bahasa Inggris; meski latarnya seolah di Padang Pasir atau gurun yang tandus, tapi itu kayaknya juga masih di Amerika. Okelah latar bisa dimanipulasi, tapi bahasa dan aktor ini kelihatan banget. Termasuk film "His Only Son" misal yang nyeritain kisah Ibrahim khas bible (Perjanjian Lama) vs "Omar" yang nyeritain kisah Umar bin Khattab, yang pakai basa Arab dan khas Arab, itu beda banget feel-nya. Apalagi pesan yang mau disampaikan, jauuhhh, sejauh masa hidup Ishak dan Rafathar.

Kedua, aku cukup keberatan ketika dalam film ini entah Tuhan atau entah malaikat digambarkan sebagai "manusia bercahaya". Plis, Tuhan atau malaikat tak seperti itu, plis jangan rusak imajinasiku. Penggambaran sebagai manusia ini secara eksplisit jadi men-downgrade iman bagi orang-orang awam. 

Ketiga, aku belum membaca bible terkait Abraham (Nicolas Mouawad), Sara (Sara Seyed), dan Ishak (Edaan Moskowitz) anak mereka. Namun kisah dalam film ini berbeda jauh dengan kisah dalam Islam. Ini bukan maksudku hendak judge kisah bible atau gimana, tapi di Islam yang dikorbankan oleh Nabi Ibrahim itu anaknya Nabi Ismail, dan pengorbanan itu benar-benar dilakukan. Namun, yang disembelih bukan per se anaknya, karena Allah SWT telah menggantinya dengan binatang ternak. Sementara Nabi Ismail diangkat ke atas oleh Tuhan, dan kisah ini tiap tahun diperingati sebagai Hari Raya Idul Adha. Namun di film ini, kok bisa-bisanya Ishak dibebaskan (?).

Keempat, karakter Sara di sini meskipun wajar jika dilakukan oleh perempuan biasa, tapi menurutku tidak wajar jika kelasnya adalah sekelas perempuan pilihan seperti Sara. Aku membayangkan harusnya dialog atau akting Sara di film ini lebih menggambarkan kekuatan dia sebagai istri dan ibu, tapi di film ini porsi lebih banyak adalah porsi kesedihan dan protes.

Kelima, sebagai film ini flat, banyak plot hole yang menurutku fatal. Secara umum alur film ini juga lambat, maju dan mundur. Dari kisah Abraham dan Sarai yang memutuskan hijrah ke tempat yang dijanjikan Tuhan. Lalu flashback ke masa sekarang saat perjalanan selama tiga hari dari tempat tinggal ke Gunung Moria untuk mempersembahkan Ishak. Kisah drama antara Abraham, Sara, hingga hamba sahaya Hagar membuat film ini juga emosional bagi orang yang tak lama dikaruniai anak. Belum lagi, dua hamba sahaya atau teman yang ikut menemani Abraham dan Ishak, Kelzar (Ottavio Taddei) dan Eshcolam (Nicolai Perez), salah satunya dari keturunan Sodom protes akan perlakuan yang dilakukan Abraham.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar