Aku pernah di masa punya teman yang dia freak atau apa ya, suka banget gitulah sama dunia balap-balapan, otomotif, mobil, motor, dan punya mimpi pengen jadi pembalap yang diperhitungkan gitu. Namun, dia memilih untuk tidak melanjutkan mimpinya itu dan lebih memilih bekerja pada orang lain. Alasannya rasional, "hobiku mahal," katanya, "dan umurku udah gak memungkinkan lagi ada di level itu," terangnya. Aku pun cuma terdiam, tak sepakat, tak juga juga menolak. Dia memiliki mimpi itu dari dia kecil, persis seperti tokoh utama dalam film Gran Turismo (GT), Jann Mardenborough (Archie Madekwe). Aku nonton ini di XXI Kuningan City pukul 21.10 sampai mall tutup.
Kesan setelah menonton film ini sebenarnya nano-nano, aku gak bilang film ini bagus, tapi juga gak mau bilang ini jelek. Selain bukan genre-ku, motivasiku nonton film ini karena pengen tahu lebih jauh dunia yang disukai oleh temanku itu. Satu hal yang membuatku tertarik barangkali ada kata Yokohama saat si Jann mau ke Tokyo, hal lainnya, saat Jann sedih atau depresi, dia lebih suka mendengarkan Kenny G dan Enya, dua musikus yang punya makna sendiri untukku. Lagu Kenny G jadi saksi keberangkatanku ke Pulau Kalimantan dari pelabuhan Surabaya di masa lalu; lagu Enya pernah kukenal dan kunikmati dari seseorang yang pernah kukagumi. Keduanya kalem dan memberi efek menenangkan.
Kembali ke film, sejak awal, aku seperti disuguhi oleh sajian kelas menengah bawah yang masih hidup berkecukupan. Ya, cukup aneh jika digambarkan orangtua Jann ini dari kalangan tak mampu dengan kondisi rumah dan aset property yang seperti itu. Si Jann jadi kelas pekerja dan masih bisa beli PS! konsol game balapan bahkan hanya dalam satu kali gajinya, bukankah itu aneh? Terinspirasi dari dunia nyata, tapi keyakinanku mengatakan jika perubahan plot lebih dari setengahnya, atau antara dunia nyata dan film banyak terjadi perbedaan-perbedaan. Yang nyata dan yang maya tak bisa lagi dibedakan.
Namun, plot terus bergulir bukan. Jann yang hidup dengan ayah yang tak mendukung mimpinya karena dianggap tak jelas, bukankah begitu? Hidup jadi pembalap? Ayahnya jadi antagonis sekaligus protagonis sekaligus, yang menentang tapi juga mendukung keputusan Jann. Jann ini tipe anak yang kalau udah niat, ribuan jam bahkan mampu dia berikan untuk berlatih dan bermain game GT. Apalagi game ini diciptakan oleh orang Jepang menyerupai aslinya. Barangkali, Tuhan memilihnya untuk melaju bersama 10 orang di dunia untuk mengikuti GT Academy. Ajang membuat gamer jadi pembalap sesungguhnya, ini aksi underdog yang cukup menarik, karena membentuk simulakra baru yang agaknya berhasil ditaklukan tokoh utama. Berbagai latihan yang memakan tenaga tak cuma fisik, tapi juga mental pun dilakoni.
Ya, dunia ini tak lepas dari hukum karma ala Darwin, peserta yang memiliki track rendah otomotasi keluar hingga menyisakan lima dan tiga. Lalu, sudah ditebak siapa pemenangnya. Si pemenang kemudian melakukan berbagai tour laga balap dunia, dari Jepang, Jerman, hingga Prancis. Semua berlangsung seolah tanpa hambatan bagi si bintang, meski di track Jerman, kecelakaan parah yang menyebabkan salah seorang penonton meninggal karena mobil terbang ke atas akibat angin terjadi. Namun, hidup harus bangkit, dan Jann harus menyelesaikan laga paling menantang yang juga menjadi trauma bagi sang guru, Jack Salter (David Harbour), untuk main di Le Mans, Prancis. Balapan yang berlangsung selama 24 jam! Tentu kita juga bisa menebak siapa pemenangnya.
Membaca beberapa ulasan dari film GT, ada yang mengganggap film ini adalah film iklan, karena banyaknya label, sponsor, dan nama-nama (brand-brand) gigantik di sana. Tanpa sensor, tanpa anonim. Kritik lain menganggap jika pemeran Jann kaku dan sulit membangun sosialisasi yang baik dengan aktor lainnya. Selain itu, entah mengapa sebagaimana film US lainnya, tendensi untuk menjadi inspiratif, dengan banyak bumbu motivasi juga dikandung oleh film ini. Juga bumbu-bumbu cinta Jann dengan Audrey, hubungannya dengan saudara kandung juga meski sekilas tapi menarik. Ada adegan yang membuatku menangis, saat sang ayah datang ke Le Mans untuk memberi dukungan pada Jann secara langsung, itu kerasa banget deep-nya.
Bagian yang bagiku menarik adalah saat Jann berhasil masuk ke dunia simulakrum yang diciptakannya sendiri. Aku jadi belajar, apa yang dekat dengan kita, menjadi pikiran kita, cepat atau lambat juga mendekati kita. Seimajinatif apa pun hal tersebut, pasti ada jalan buat kita sampai, atau mimpi itu yang justru mendekati kita. Dan itu yang terjadi pada hidup Jann.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar