Nonton film ini atas rekomendasi Quoran, rekomendasi film beliau menurutku cukup menarik. Kemudian saya cari film berbau teror psikologis ini di Netflix, Alhamdulillah ada, haha, karena rekomendasi film lain dari Quoran itu belum ada. Film ini nyeritain kisah rumit hubungan antara guru musik bernama Terence Fletcher (J.K. Simmons) dan muridnya Andrew (Miles Teller). Aku sepakat film ini adalah paket komplit dari akting, musik, sinematografi, fashion, yang bagus! Apalagi akting si gurunya Fletcher, masuk banget, kayak botol ketemu tutupnya. Film yang aku gak ragu untuk ngrekomendasiin juga ke yang lain.
Ini akan menjadi salah satu film yang membuatku merasa telingaku kayak disekolahin. Ada guru yang ternyata bisa se-psikopat itu pas ngajar musik, dan untuk mencapai kesempurnaan dalam seni, dalam konteks ini musik itu, gak pernah ada. Tapi anehnya, selalu ada murid-murid loyal yang malah tertantang untuk naklukin ego kesempurnaan yang distandarkan oleh si guru, meski dia hampir mati pas latihan, atau udah tahu ketabrak truk parah, tapi masih dipaksakan ikut rehearsal. Si murid gak meduliin diri dia lagi. Relasi ini bisa diganti sama pola hubungan lain juga sih. Manusia emang separadoks itu.
Kalau aku jadi Andrew, well, barangkali aku tak akan sekuat itu punya guru seperti Fletcher. Di hari pertama mungkin aku akan cabut, don't say, what a wimp! Haha. Karena bagiku dalam belajar itu guru jadi orang yang sentral. Kalau gurunya baik, aku akan nurut, kalau gak, itu udah tanda aku gak perlu ngikuti pelajarannya lebih lanjut. Bayangin kamu jadi Andrew, dia punya bakat nge-drum sejak kecil, terus SMA dapat guru ya, hebat sih, tapi gila. Andrew ini ibunya udah meninggal, dia cuma punya ayah satu-satunya yang sayang banget sama dia. Tapi gara-gara obsesinya untuk jadi penabuh drum jazz terkenal sebagaimana standar Fletcher, dia jadi gila sendiri. Gak hanya itu, Andrew juga memusuhi keluarga ayahnya, sampai memusuhi gebetannya sendiri sampai si cewek kemudian punya pacar baru. Ini film dark yang keren banget.
Her (2013)
Kesepian akan jadi bahasan yang menarik kapanpun manusia hidup. Dari zaman Plato sampai Elon Musk, ini perasaan yang abadi. Dan film ini mencoba memberi jawaban kesepian manusia dengan menghadirkan teknologi AI manusia bayangan yang diciptakan melalui OS (operating system), komputer. Di film juga bertebaran berbagai teknologi masa depan yang kayaknya dalam 100 tahun ke depan bisa jadi akan terwujud. Dari teknologi yang bisa baca email sendiri, ngatur jadwal sendiri, nulis cuma dari cocot doang, TV yang bisa digerakkin pakai tangan, dlsb. Namun lubang besar dan efek dari semua itu adalah KESEPIAN.
Melihat tokoh utama yang bernama Theodore Twombly (Joaquin Phoenix) seperti melihat diriku yang lain: tertutup, tertekan, suram, dan tentu, kesepian. Tokoh yang bekerja sebagai content writer untuk balas surat-surat romantis kali ya--yang mungkin juga salah satu jenis bullshit job yang lain--ini memiliki masalah dengan istrinya, mereka cerai. Perspektif menariknya, Theo bilang cerai itu hanya masalah kertas! Waw. Ya juga sih, haha. Namun kenangan di balik itu yang lebih berarti. Dia punya anak satu perempuan yang lucu juga. Theo punya pacar bayangan yang dioperasikan OS tadi bernama Samantha. Kenapa namanya itu? Jadi kalau baca-baca ulang konsep AI, dia kan akan terus belajar, si Samantaha selama seper sekian second waktu baca jutaaan nama di direktorinya dan memilih nama Samantha.
Film yang disutradarai oleh Spike Jonze ini sejujurnya berjalan dengan tempo yang lambat, sama kayak hidup kalau lagi bosen-bosennya. Justru menurutku di situ poin susahnya buat bisa ngikutin film ini sampai akhir. Tentu kamu bisa menebak akhir dari film ini yang juga berakhir dengan kesepian-kesepian pula. Si Theo kecewa karena perlakuan spesial Samantha bukan untuk dirinya saja, tapi juga untuk ribuan bahkan ratusan pengguna OS lainnya. Rasa egonya membuncah, Theo seperti dikhianati lebih dari pengkhianatan yang dilakukan oleh Catherine mantan istrinya. Meski Samantha melakukan hal mengejutkan pula, ketika dia mengumpulkan surat-surat romantis Theo untuk kliennya, kemudian Samantha kumpulkan, dikirimkan ke penerbit, dan menjadi buku. Ya, kupikir manusia adalah kesepian tanpa akhir.
Guy Ritchie's The Covenant (2023)
Film bergenre pertempuran ini menonjolkan sisi yang cukup menggigit dibanding film perang kebanyakan. Terinspirasi dari kisah nyata, menampilkan tokoh utama John Kinley (Jake Gyllenhaal), sersan AD USA yang ditugaskan di Afghanistan dalam rangka melumpuhkan gerakan Taliban di negara tersebut. Di sana, Kinley bertemu dengan penerjemah sekaligus intrepreter asli Afghanistan yang juga mantan anggota Taliban bernama Ahmed (Dar Salim). Ahmed dendam dengan Taliban karena membunuh anak laki-lakinya. Saat hendak mengepung markas Taliban yang menyimpan banyak bom dan senjata, adu bedil kemudian terjadi. Masing-masing tentara di dua kubu meninggal hingga menyisakan Kinley dan Ahmed. Keduanya berjuang bersama untuk terus hidup.
Dalam kondisi itu, Kinley terkena tembak serius beberapa kali yang menyebabkannya lumpuh. Ahmed kemudian berusaha menyelamatkannya hingga sampai di markas USA. Menggunakan peralatan seadanya, juga alat dorong dari bambu, Ahmed menyeret dan menggotong Kinley. Ketegangan terjadi sepanjang film, Ahmed dengan jiwa kemanusiaanya menaiki dan menuruni area terjan dan gurun khas Afghanistan. Mereka juga bertemu warga setempat, dari penjual makanan, hingga penjual karpet yang juga membenci Taliban. Untuk meredakan rasa sakit Kinley, akhirnya Ahmed memberinya semacam ganja. Pertarungan tak terhindarkan, dan nasib baik memihak Kinley, dia terselamatkan dan kembali ke rumahnya yang damai bersama istri dan anaknya di USA.
Namun, sekembalinya dari perang, hidup Kinley tak sama lagi. Psikologinya terganggu, mudah marah, mengutuk, dan punya keingingan kuat untuk menyelamatkan sahabat yang telah membantunya untuk hidup kedua kali, Ahmed. Apa yang dirasakan Kinley semacam komitmen (the covenant) antara dirinya dan Ahmed. Bagaimana bisa dia hidup nyaman bersama keluarga tapi sahabatnya dikejar-kejar untuk dibunuh tentara Taliban. Apalagi kepalanya dibayar mahal. Akhirnya, Kinley kembali ke Afghanistan untuk mencari Ahmed, Kinley juga mengurus passport dan visa tinggal Ahmed di USA, hal yang sangat susah dan birokratis untuk didapatkan. Dengan scoring yang apik, dua jam gak kerasa buat membuktikan janji Kinley tersebut. Bahwa kemanusiaan itu melampaui apapun: bahasa, budaya, geografi, darah, ras, kelas, dlsb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar