Minggu, 13 Agustus 2023

Labour - Guido Starosta

Setelah 3 minggu absen diskusi, malam minggu kemarin kami kembali membahas part I bab ketujuh buku The SAGE Handbook of Marxism. Kami membahas tulisan berjudul "Labour" dari Guido Starosta. Dia adalah penulis dan profesor di jurusan Ekonomi dan Administrasi di Universidad Nacional de Quilmes (UNQ) di Argentina. Dia mendapat gelar Ph.D dari Universitas Warwick, Inggris Raya. Dia menulis buku "Marx’s Capital, Method and Revolutionary Subjectivity" dan co-editor di buku "In Marx’s Laboratory. Critical Interpretations of theGrundrisse".

Labour (kerja) dari pandangan umum diartikan sebagai jumlah usaha dari fisik, mental, dan sosial yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa dalam sirkulasi perekonomian. Namun, kerja yang dimaksud Guido merujuk pada aktivitas produktif manusia secara umum atau aktivitas yang berhubungan dengan suatu pertumbuhan manusia terhadap alam. Terminologi "kerja" di sini berbeda artinya dengan "kerja" sebagaimana yang ada dalam tulisan Marx di "1844 Paris Manuscripts" atau "German Ideology", yang terkadang disamakan dengan aktivitas produktif yang teralienasi di bawah kekuasaan kapital.

Kerja di sini cenderung diartikan sebagai "aktivitas diri" atau "aktivitas manusia yang praktis", yang menunjukkan bagaimana manusia mentransformasikan alam. Dalam pandangan saya, lebih mengelaborasi konsep “filsafat kerja” dari Marx.

Debat Marx terhadap kerja ini banyak diungkapkan dalam masa Marx muda daripada Marx tua. Dalam German Ideology, Marx mengartikan, kerja sebagai proses antara manusia dan alam, yang melalui tindakannya dia menggerakkan kekuatan alam, termasuk tubuh, kaki, kepala, dan tangannya untuk menyesuaikan bahan-bahan alam dalam bentuk yang disesuaikan dengan kebutuhannya sendiri.

Melalui aktivitas kesadarannya, manusia yang hidup memiliki kekuatan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan mengatur tindakan tubuh mereka yang bersifat eksternal. Dalam dinamikanya, manusia tak hanya memperluas wilayah alam sebagai konsekuensi logis dari bentuk konkret dan aktivitas mereka, tapi manusia juga memperumit mediasi yang terlibat sebagai produk alam yang memberikan nilai guna untuk memenuhi kebutuhan manusia. Baik yang munculnya dari perut maupun imajinasi.

Gagasan terkait "kerja" menjadi salah satu sentral dalam teori sosial kritisnya Marx. Yang paling sederhana itu bagaimana manusia bisa mentransformasi alam yang ada di luar dirinya secara "sadar" dan "sukarela" dalam rangka memenuhi kebutuhan. Tujuan dari tulisan ini adalah memberikan rekonstruksi sistematis tentang "kerja" dari banyaknya perbedaan pengertian yang ada dalam tulisan-tulisan Marx.

Guido menjelaskan, manusia itu makhluk alam, sebagai makhluk alam yang hidup dan dilengkapi dengan kekuatan alam, dia aktif. Kekuatan ini sebagai dorongan dalam melalukan sesuatu. Meski di sisi lain, dengan adanya jasmani, inderawi, menjadi manusia sebagai makhluk yang menderita, terkondisi, dan terbatas, sebagaimana hewan dan tumbuhan. Sebagai peneguhan akan eksistensinya, maka objek-objek di luar diri menjadi kebutuhan. "Marx identifies labour or productive activity as the specific form in which humanity reproduces its existence as part of nature." (hlm. 119)

Berkembangnya zaman, muncullah kritik-kritik. Kritik terhadap Marx ini muncul pada paruh kedua abad ke-20, yang diungkapkan oleh Habermas. Dia mengatakan, konsepsi Marx terkait kerja ini cenderung sepihak, monologis, atau sekadar aktivitas instrumental saja, dan gagal dalam menjelaskan interaksi yang bersifat timbal balik (konstitutif) atau dimensi 'komunikatif' dari tindakan manusia.

Arendt (1998) juga menganggap Marx membingungkan atau mencampuradukkan tiga perbedaan yang membentuk vita activa manusia:
a. Labour (kerja): aktivitas metabolisme biologis dengan alam yang mirip binatang
b. Work (karya) sebagai aktivitas yang bertujuan untuk memanusiakan alam dengan cara yang bertahan lama dan tidak fana
c. Action (tindakan): aktivitas diri yang radikal, yang memprakarsai, yang bersifat kolektif dan publik.

Tapi Guido berpendapat, justru para penulis-penulis tadilah yang mereduksi makna kerja, karena memisahkan kerja dari alam. Konsekuensinya, mereka memunculkan dimensi-dimensi lain dari tindakan manusia, yang secara 'otonom' justru memisahkan manusia dari kesatuan secara utuh (dengan alam). 

Kalau dari bacaan Ofek, labour di sini dikembalikan di moda produksi manusia dalam mengolah alam, dan bagaimana itu menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup. Seperti di masa primitif, mengolah tumbuhan jadi sayur yang bisa dimakan, mengubah kayu jadi rumah, dll. Lebih kompleks lagi, skema sekarang berubah menjadi rente. Tidak sekadar memenuhi kebutuhan hidup, tapi ada kebutuhan sekunder dan tersier lain.

Diskusi kali ini merefleksikan berbagai hal menarik. Salah satunya terkait perkembangan kerja atau labour ini di kapitalisme lanjut. Misalnya yang digelisahkan oleh Lina, Sulkhan, dan Zain terkait sharing economy. Dari yang dekat, semisal menjadi pekerja di media. Meski secara praksis memiliki moda produksi dan knowledge yang mencukupi, tapi kita seperti dikerdilkan di bawah terma-terma seperti fleksibilitas, algoritma, platform, dan "mitra".

Gamifikasi berkembang di sana yang menimbulkan eksploitasi jenis baru. Misal driver harus patuh dengan ketentuan yang ada di aplikasi, content writer harus patuh pada algoritma. Gamifikasi ini makin hari makin kompleks, sharing economy, seakan-akan kembali ke diri kita secara integral, tetapi tidak juga. Dengan adanya gamifikasi, mereka sering mendapat pinalti.

Kemudian, Aziz juga mengelaborasi pertanyaan menarik terkait apa perbedaan kerja profesional dan tidak profesional (amatir)? Ofek menjawab, pekerja profesional ini mempunyai kontrak, pembayaran, dan target yang  jelas. Sementara amatir karena si pekerja senang melakukannya. Sulkhan menambahkan, kerja profesional ini mempunyai standarisasi yang dibuat oleh rezim pengetahuan.

Refleksi akhir, kami membicarakan terkait bagaimana menjadi labour yang berdaya? Ada beberapa cara yang diutarakan oleh teman-teman, seperti Aziz yang ngutip Heidegger dan didukung oleh Marx, kalau mau berdaya yang kerja itu sendiri. Dengan menjadi pekerja yang benar kerja sebagai bentuk eksistensi. Lalu, Sifa dan Ofek sepakat dengan pendapat Marxian lain untuk membentuk serikat dan koperasi meski masih banyak PR dan tantangan. Sementara menurut Habermas, ya ciptakan komunikasi yang baik.

#guidostarosta #labour #kerja #work #action #habermas #hannaharendt #alam #kebutuhanhidup #survive

Tidak ada komentar:

Posting Komentar