Kata Mas Noel, hari ini adalah hari terakhir Kris di EF. Tentu aku merasa sangat sedih. Dan aku tetap saja menjadi anak yang pemalu, yang gak bisa ngungkapin hay atau bye ke Kris dengan cara yang benar. Ya, entah, aku begitu takut. Even untuk kumpul sama mereka. Aku merasa diriku tertolak, aku takut, mungkin sangat ketakutan kalau diriku ditolak. Ya, padal aku udah biasa ditolak. Dan aku merasa sedih. Kadang aku juga merasa tak ada orang yang bisa menerimaku. Aku begitu penyendiri, kesepian, suram, sedih, dan tak tahu apa yang harusnya baik untuk kulakukan. Oh my God. Namun, ya, begitulah hidup. Aku gak bisa maksa, meski aku merasa sangat sedih. Sangat-sangat sedih.
Kris bagiku telah mengajarkan banyak kedewasaan untukku. Dia kaku memang, tapi dia baik dan pintar tentu saja, kualitasnya yang tak bisa tertolak. Aku takut setelah Kris pergi, EF akan dapat teacher native lain yang tak lebih baik daripada dia. Aku mengenal Kris tak hanya di EF, tapi juga di Rame-Rame Jakarta (RRJ). Di sinilah hidupku dan lingkaranku yang lain dimulai, di Jakarta. Kenal orang-orang lain juga: Mas Andesh, Barda, dll.
My other teacher asked me: "Isma, you don't join it?" And I just nodded. I am shy, this is my other complexity.
Lalu, berada dan duduk di sini seperti melihat diriku yang lama, dan aku merasa sangat kasihan pada diriku. Barangkali, sebentar lagi air mataku udah gak bisa untuk aku tampung. Perlahan aku akan menangis, dan selalu, aku akan menangis sendiri.
Ditambah tadi pas telepon sama ibu, sakit ibu seperti tak bisa dia tahan lagi. Aku merasa bisa merasakan kesakitan yang dialami oleh ibu. Aku yang sehari saja sakit tak kuat, berbaring sehari sakit saja aku tak kuat, dan ibu udah berbaring sudah mau dua tahun. Apakah ini riil? Iya. Lalu ibu pengen bunuh diri. Aku menasehati seperti angin lalu yang perlahan akan hilang. Aku sendiri tak sekuat ibu, sedangkan ibu selalu mengingat kata-kata menyakitkan dari Bapak. Bapak yang sepertinya lebih sakit daripada ibu secara batin dan luka. Dan aku tak bisa melakukan apa-apa.
Dari hubungan pernikahan ibu-bapak, kalau kupikir lebih dalam, aku membenci pernikahan. Aku membenci rumah tangga yang seperti neraka. Aku tak mau tinggal satu rumah dengan orang yang tak mencintai dan menyayangiku. Dan untuk apa aku tergesa-gesa dengan utopia pernikahan? Aku bisa hidup sendiri, dan gak papa. Aku tak perlu mengemis-ngemis perhatian dari orang yang tak memiliki perasaan sebaliknya pula padaku. Kupikir usaha-usaha seperti itu cukup. Sebab aku cukup lelah. Komitmenku sudah cukup benar: "Jangan berharap pada pria, siapa pun. Jangan berharap pada manusia, siapa pun."
Dan aku juga membenci ilusi kesempurnaan yang dipancarkan manusia, siapa pun itu. Mulai detik ini, aku lebih menghargai empati orang alih-alih kesempurnaannya akan penampilan, kekayaan, kecerdasan, wajah tanpa cela, perilaku baik, almamater, skill yang gak ada batas, dlsb. Orang baik belum tentu punya empati, tapi orang yang empati sudah pasti baik. Meski orang-orang yang punya empati juga memiliki problem mereka sendiri, tetapi menurutku mereka adalah orang-orang yang paling bisa untuk diandalkan.
Pertanyaannya kemudian: Apakah aku sudah berempati pada diriku sendiri?
Where is my self-emphaty?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar