Selasa, 20 Juli 2021

Critical Eleven (2017): Drama Cinta-cintaan yang Kemanisan

Cukup capek saya memaksakan untuk menonton film ini hingga akhir. Saya menjedanya hingga tiga waktu. Dan sensasi kedalaman yang saya temukan di film Kapan Kawin (2015) berbeda dengan pesan yang ingin disampaikan film ini, meski sama-sama dibintangi oleh Reza Rahardian (Ale) dan Adinia Wirasti (Anya). Sepanjang yang saya rasakan, isinya lebih seputaran suami over-protektif dan kisah cinta-cintaan lebai kemanisan dan bikin mual.

Wajah Suntuk Kelas Pekerja @ Critical Eleven (2017)
Dan latar belakang kota New York, Manhattan, dlsb, tak sanggup membayar kebosanan saya di 40 menitan awal film ini saya putar. Harapan saya ketika menonton adalah saya akan belajar terkait kehidupan suami-istri yang lebih dewasa; meski nyatanya bukan pendewasaan, tapi saya justru drained dengan emosi-emosi yang dihadirkan dan cukup hectic dengan konflik bertele-tele yang dimunculkan. Saya juga tak begitu mempedulikan dengan taburan bintang yang bermain dalam film ini, atau siapa sutradaranya, atau diangkat dari novel siapa; yang pasti saya merasa guilty  pleasure.

Dalam ingatan saya, konflik dalam film ini benar-benar baru dimulai ketika Anya mendapati bahwa Aidan bayi yang dikandungnya sudah tidak bergerak lagi. Ternyata, bayi tersebut meninggal di dalam perut. Sungguh itu perjuangan yang luar biasa menjadi seorang ibu. Ya, di titik itu saya bisa berefleksi bagaimana menata emosi. Juga pelibatan keluarga dalam proses rekonsiliasai antara Ale dan Anya di sini cukup penting juga, sebagaimana kata si ibu, "Jika kamu punya keluarga, ngapain sendiri?"

Membaca review dari Rio di Medium ini, menurut saya juga menarik. Saya jadi punya sudut pandang berbeda bagaimana jika tokoh-tokohnya memang dari kelas sosial yang berbeda. Beban yang dialami Ale dan Anya lebih banyak ke beban psikologi daripada ekonomi, bagaimana jika dua pasangan ini sama-sama buruh dan jangankan di New York, bisa nyewa rumah sederhana saja sudah bersyukur. 

Ya, film ini adalah tentang orang kaya dengan masalah-masalah universalnya. Dengan tempat-tempat super sibuk dan high class.  Juga kritik saya terhadap Anya dan Ale yang cenderung bersikap drama queen dan drama king. Melebih-lebihkan apa yang terjadi: ingin jadi sosok yang utama, kesedihan yang didramatisir, dan lainnya. Dan begitu mudahnya perekonomian bagi mereka: bisa cuti tanpa sanksi karena kinerja buruk, bisa kembali bekerja di tempat yang sama meski hamil, bisa membatalkan penerbangan sesukanya, bisa pindah dengan mudah dari New York ke Jakarta kek pindah dari Prambanan ke Sleman, dsb-dsb.

Dengan masalah kehilangan anak itu, penyelesaian dan self-healing sebagai orang kaya memang lebih mudah. Pergi ke Melbourne misal, atau konyol nyoba tenggelam di kolam renang, atau haha-hihi cipika-cipiki bareng gank di restoran mahal, dsb-dsb. Kalau butuh support sahabat dan saudara juga ada, kurang apalagi? Saya bilang juga apa, jadilah Anya dan Ale!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar