Senin, 19 Juli 2021

Soegija (2012): Citra Romo yang Tak Sampai

Begitu besar harapanku kala menonton film ini. Aku berharap ketika nonton film ini akan mengobati rasa kangenku pada Romo Soegija, yang makamnya sering aku kunjungi ketika masih tinggal di Semarang. Ah, rasanya detik ini, ketika aku menulis ini, rasanya begitu sentimentil. Romo Soegija bagiku sudah kuanggap seperti kakekku sendiri, di mana kami terlepas menganut agama apa, agama pemersatu kami adalah agama kemanusiaan. 

Dalam bayanganku sebelum menonton, Nirwan Dewanto tampak cocok memerankan diri sebagai Romo Soegijo, ditambah ada campur tangan besar dari Garin Nugroho, kupikir film ini jadi salah satu master piece. Ternyata, harapan saya berlebihan dan terlalu muluk-muluk. Justru kesan yang saya dapat adalah saya semakin tak mengenal Romo (saya meragukan apa benar karakter Romo seperti itu), film ini juga membosankan hingga saya menjedanya sampai tiga waktu untuk melanjutkan sampai selesai, dan roh Romo seperti tak menghampiri saya. Dan jujur, saya sedih.

Soegija
Film yang saya kira bisa menjadi jembatan untuk memperkenalkan Romo ini gagal dieksekusi. Justru lebih berhasil Ayu Utami dalam bukunya "Soegija: 100% Indonesia", di mana dalam buku itu saya bisa menangis hingga merenung panjang. Buku yang diceritakan dengan indah tentang kehidupan Romo dari dia kecil, merantau ke Magelang, ke Semarang, ke Belanda, ke Jerman, dll, hingga akhirnya menjadi uskup. Buku yang dengan indah menceritakan seorang penggembala Tuhan yang dengan kebesaran hati dan kecerdasannya 

Sosok Romo Sogija dalam film ini lebih ditampilkan kebanyakan dari narasi dan tulisan beliau, tanpa departemen akting yang kuat dan all out dari sosok Nirwan. Justru beberapa scene-nya cenderung menampilkan kebiasaan-kebiasaan maskulin yang saya kurang suka, seperti lawakan yang telalu cheesy, merokok menggunakan cerutu, atau  cara berjalan yang sangat kaku. Kukira Romo tak semenyebalkan itu Tuhan. Dan kata-kata tentu bukan sikap nyata, kata-kata Romo tak begitu kuat menggambarkan diri Romo. 

Justru pesan yang kuat saya tangkap dari kisah tentang Tan Malaka, yang meski diasingkan di luar negeri, otak dan jiwa-raganya di Indonesia.

Apa artinya merdeka jika tak bisa mendidik diri sendiri

Benar Mas Amir yang menyatakan dalam websitenya jika, "Soegija adalah kesalahan pencitraan yang fatal." Dan juga, "Mereka tak tahu apa yang diinginkan dalam film ini" begitu kelihatan. Satu-satunya obat menyenangkan ketika saya menonton film ini adalah ruang dan arsitektur Gereja Gedhangan, tempat di mana saya pernah masuk gereja untuk pertama kali, sekaligus moment di rumah putih dengan ornamen biru ketika saya mewawancarai salah satu pastor sepuhnya dulu. 

Film ini lebih cocok jika judulnya "Mariyem" atau "Semarang Era Revousi", karena lebih banyak bercerita tentang fragmen-fragmen penjajahan Belanda dan Jepang. Juga kisah-kisah orang biasa yang direnggut kebebasan dan haknya, tapi lagi-lagi dengan emosi yang tidak sampai. Scene-scene jadul memang beberapa indah, tapi pembahasaannya kaku.

Soegija: 100% Katolik, 100% Indonesia
Kisah ini lebih cocok memang untuk Mariyem (Annisa Hertami) dengan kisah cintanya pada wartawan Belanda atau kisah dia dengan kakaknya yang akhirnya tewas. Atau cuplikan kisah Ling Ling (Andrea Reva) kehilangan ibunya (Olga Lydia). Atau kisah jenderal Jepang Nobuzuki (Suzuki) yang rindu anaknya. Atau kisah musisi-musisi yang setia pada keluarga. Tapi sekali lagi tak cocok menggambarkan Soegija.

Romo Soegija, Isma rindu Romo. Tapi dalam film ini, Isma tak menemukan Romo. Aku gak papa Romo, kapan-kapan akan kuceritakan pada Romo, cerita yang lebih indah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar