Senin, 19 Juli 2021

Toilet Blues (2014): Ada yang Bisa Saya Bantu?

Melihat film ini saat kamu depresi akan membuatmu tambah depresi. Film ini salah satu film kelam yang pernah saya tonton. Digarap dengan visual tempat-tempat berembun, gloomy, usai turun hujan, atau kala surup; sialnya musiknya pun tak kalah menyayat, meski hanya dengan backsound suara jangkrik, suara angin, suara kereta lewat, hingga yang paling epik adalah suara ayat-ayat suci Al-Qur'an dari toa masjid. Walaupun secara garis besar tokoh utama seorang anak muda yang ingin menjadi pastur Katolik bernama Anggalih (Tim Matindas). Sedangkan sang perempuannya, si Maria Magdalena Anjani yang ingin lari dari kuasa sang "Bapak" pergi tanpa tujuan.

Toilet Blues
Alur dalam film ini acak-acakan. Seolah dibuat suka-suka sutradara. Dengan awal dan akhir film yang absurd. Dimulai dengan kematian orang yang ditutupi daun pisang hingga kaki yang dibasuh air. Pun tidak jelas apakah kejadian itu sebenarnya kenyataan atau khayalan si tokoh saja. Dengan penghubungan antar karakter yang semena-mena, tiba-tiba saja mereka duduk lesehan macam perayaan syukuran desa begitu; atau dalam bahasa Katoliknya "Perjamuan Malam Terakhir". 

Namun, jika kau ingin merasakan perjalanan hanya dengan menontonnya dari layar, film ini cukup kompeten untuk itu. Meski saya menontonnya sambil klemprak-klemprok tanpa minat, tapi desire and curiosity berjalan hebat dalam film ini. Meski temponya sangat lemot menyampaikan pesan,pergerakan-pergerakan tokohnya memang bikin penasaran. Termasuk hasrat purba akan seksualitas yang dipandang "semurah itu". Terlebih ketika Anggalih bermalam di sebuah tempat pelacuran, dan terlibat tidur dengan salah satu Mbak di sana yang sebelumnya digarap oleh tiga orang yang lain hingga kesakitan. 

Atau ketika terlihat betapa obrak-abriknya psikologi Anjani yang begitu needy akan Anggalih, hingga sama teman Bapaknya bernama Ruben (Tio Pakusadewo). Bahkan tanpa malu Anjani berkata pada Anggalih yang ingin menjadi pastur, intinya: "Lih, jadi pacar aku aja, kamu kan nanti bisa cium aku, peluk aku, grepe-grepe aku ... Hamili aku Lih." Anjani dengan karakter yang impulsif-agresif, dengan sisi maskulin yang lebih besar daripada Anggalih. Tak ada gender di sini, tak ada benar dan salah. Semua seolah impas.

Malam dan Rantauan
Karya sutradara Dirmawan Hatta ini menerorkan pesan berulang dari apa yang sering ditanyakan Anggalih: "Ada yang bisa saya bantu? Ada yang bisa saya bantu? Ada yang bisa saya bantu?" Berulang kali pada tiap orang yang ditemuinya. Pada Anjani, pada Mbak pelacur, pada Bapak penjual sepatu. Meski nyatanya, Anggalih tak bisa membantu apa-apa. Sungguh pertanyaan yang menyebalkan, yang harusnya Anggalih tanyakan pada dirinya sendiri.

Tentu yang paling epik adalah jingle ice cream di jalan yang sirinenya akan terus kau ingat hingga liang kubur. Tapi sesungguhnya, apa yang dicari dari semua tokoh yang terlibat dalam film ini. Apakah sebagaimana lukisan "Perjamuan Malam Terakhir" bahwa tiap tokohnya adalah murid-murid Tuhan? Di mana Anggalih berperan sebagai Yesusnya, dan Anjani sebagai Maria-nya? Ataukah benar bahwa film ini tentang pencarian identitas seseorang? Tentang pemaknaan akan menjadi perawan? Ah, film (yang katanya Art House Movie) ini memang berhasil mengangkat sisi minoritas tapi kalah sama mayoritas.

Dan benar, toilet yang sering membuat kita muntah ketika berada di tempat umum, bisa jadi menjadi ruang jujur alih-alih berada di masjid atau di altar pengakuan dosa. Orang sibuk mengurusi orang lain, mencela dosa orang lain, tanpa bisa melakukan apa-apa, dan malah ikut tercebur dalam dosa itu. Oh, manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar