Rabu, 23 Juni 2021

Penyakit Orang Idealis

This is my point: Kebanyakan orang idealis egois sama diri mereka sendiri, termasuk Satrio. Kesimpulan ini saya dapat setelah Dinda--dalam film "Kapan Kawin?" yang naskahnya ditulis oleh Monty Tiwa ini--memarahi Satrio, begini dialognya kira-kira setelah saya padatkan:

"Kamu bilang kamu sayang sama saya, kamu mau nikahi saya, kamu mau kasi saya makan apa? Itu bukan egois?" tanya perempuan yang juga dipanggil Didi itu pada pacar bayaran yang juga disapa Rio itu. 

Semua berawal saat seorang perempuan karier yang sukses bernama Dinda (Adinia Wirasti), yang posisinya bisa jadi adalah manager di sebuah hotel mewah di Jakarta, dia tengah galau. Didi adalah sosok idealis yang tanggap dan sangat care dengan karyawan. Usianya 33 tahun dan dipaksa untuk segera menikah oleh orangtuanya. Pertanyaan "Kapan Kawin?" selalu menghantui Dinda. Bapak Dinda mengibaratkan, jika Dinda adalah kapal perang, sirine tanda bahaya sudah berbunyi. "Apakah nunggu kapalmu ditorpedo Jepang?" begitu  pertanyaannya.

Dinda sebagai high quality jomblo merasa dirinya oleh orangtuanya mesti diruwat ganti nama biar enteng jodoh. Akhirnya orangtua Dinda (Pak Gatot dan Bu Dewi--orangtua Jawa) menjebak anaknya untuk pulang ke rumah yang ada di Jogja. Dekorasi rumah dalam film ini saya suka, nuansa unik dan vintage yang terasa. Dalam kepulangan itu, Dinda wajib membawa calon suami.

Orangtua Dinda ini tipe orang yang suka mengetes kelayakan mantu dengan interogasi di ruang makan: apakah calon menantu penganut seks bebas? Apakah pakai narkoba, mirasantika, dll? Pekerjaan apa dan bagaimana prospeknya? Ya, sungguh pertanyaan orangtua kelas menengah ke atas, mengidamkan menantu sempurna. Meski menantu sempura tak pernah ada. 

Kriteria menantu idealis oleh mertua idealis dalam film "Kapan Kawin?" (2015)

Eva, sahabat Dinda, akhirnya memperkenalkan Dinda dengan seniman/aktor jalanan bernama Satrio Maulana (Reza Rahardian). Pria tidak jelas, menggilai dunia keaktoran, suka demo, dan suka mengkritik kehidupan orang modern. Bagi Satrio, manusia modern amat sering menjaga sikap tapi tidak bisa menjadi diri mereka sendiri. Itu ia tunjukkan lewat performans gratisnya di jalanan. Satrio hafal dengan teori keaktoran Chekovian hingga Stanilavsky. Bahwa Akting adalah seni kejujuran, tapi seni akting dalam sinetron ada yang di level sangat rendah. Dan dia pede menyebut dirinya high actor.

Dinda memutuskan untuk menyewa Satrio sebagai pacar yang akan dikenalkan pada orangtuanya. Dinda membayar Satrio yang miskin dan tidak jelas itu dengan bayaran 15 juta. Ada obrolan yang saya kira menarik dalam tawar menawar harga itu:

"Anda tidak tertarik kembali ke dunia orang normal?" tanya Dinda yang kemudian ditertawakan oleh Satrio, yang ternyata bagi Satrio itu pertanyaan kasar. Baginya hidup Dinda sangat hedon, bahkan anting-kemeja yang dipakai Dinda harganya bisa memberi satu tahun makan anak jalanan. 

Sebab cukup menjanjikan, Satrio menerima tawaran itu. Dia pun merubah diri sebagai seorang pria metroseksual yang bergaya perlente, elite, wangi, dan rapi. Outfi-outfit Dinda juga kategori outfit perempuan metroseksual yang tegas, elegan, simple, dengan potongan-potongan yang tak biasa. Pun dengan outfit-outfit Satrio.

Tipe lain dari orang-orang metroseksual adalah ketika berbicara mesti diselingi dengan bahasa Inggris, misal janjian tepat waktu pagi, "Jam 7 sharp!" Satrio yang berubah nama menjadi Rio melakukan riset menjadi pria metroseksual sambil berjalan, misalnya merekonstruksi gaya dan wajah dengan mengamati gaya model di majalah penerbangan pesawat. Menurut Dinda, filosofi yang Satrio anut ruwet, yang dia inginkan adalah yang natural dan alami, confidence.

"Ada look, ada observasi wajah, tanam dalam hati, jadi proses alami!" dalih Satrio. Sedang ketika sampai di Jogja, wangi parfum Satrio mirip dengan wangi parfum Bendot, pembantu Rumah Tangga. Lalu Dinda memberikan parfumnya, ini nice scene banget sih, ha-ha. Bagaimana kelas sosial bisa ketahuan hanya dari wangi parfum.

Satrio (Reza Rahardian) menjelaskan penyakit orang modern
Satrio membatasi jam kerjanya, 16 jam tiap hari (dua kali rata-rata kerja orang normal) untuk jadi pacar bayaran Dinda yang memiliki pekerjaan sebagai Dokter Bedah Plastik. Di luar itu dia bisa bebas menjadi dirinya sendiri. Satrio sadar, perekonomian menjadi jalur sosial-budaya orang modern, sehingga dia membatasi jam kerjanya, jika selesai dia bilang, "Jam kerja saya habis."

Di sisi lain, Satrio memperhatikan sifat-sikap Dinda, dia tipe orang yang takut membuat orang lain kecewa. Semisal membuat kecewa orangtua, tapi Satrio bilang, "Sekali-kali kamu kecewa sama orangtua juga gak papa." Dinda juga orang yang bertanggungjawab, tapi ada ironi di sana. Seperti dalam dialog yang kira-kira begini, momen yang bagiku truely heartbreaking:

"Kamu udah kerja, itu tanggung jawab saya."

"Kamu jangan mikirin tanggung jawab, tanggung jawab dulu sama diri kamu sendiri, baru mikirin tanggung jawab sama orang lain. Kamu jungkir balik buat mereka seneng, tapi seneng yang kamu kasi ke mereka kayak cek kosong!" kata Satrio meluapkan kesalnya.

Tapi Dinda melakukan skak balik dengan pola kehidupan Satrio yang baginya tak bertanggungjawab terhadap hidupnya dan pekerjaannya. "Hasilnya apa? Kamu kelaparan Satrio. Kamu egois." Satrio terdiam kemudian bilang, "Saya kelaparan, kamu transfer uangnya ke Eva, jangan sampai telat!"

Saya juga memahami sisi lain dari manusia, bahwa ekspektasi yang tinggi membuat orang susah untuk jujur. Susah banget kata Didi. And that's true. Bahkan sesimpel mengakui jika makanan kesukaan kita adalah kepiting, karena orang lain sudah ekspektasi makanan kesukaan kita yang lain, yang dikira sama dengan mereka.

"Makanan kesukaan kamu apa?"

"Saya apa aja suka kok," khas jawaban perempuan dengan diksinya "terserah."

"Yang paling kamu suka?"

"Kepiting."

"Di situ ada?"

"Gak ada."

Yang bikin sedih tentu adalah ipar Didi bernama Jerry, pria metroseksual sejati. Jerry adalah suami saudara kandung Didi bernama Nadya atau Nana. Sebelum menikah, Jerry suka dengan Didi, tapi Nana suka sama Jerry dan akhirnya Didi melepaskan Jerry untuk saudaranya. Namun, kehidupan siapa tahu, yang kelihatan sempurna justru terjadi KDRT di dalamnya. Jerry sering main tangan sama Nana, hingga anaknya William pun membenci ayahnya. Meski Nana sering baik-baikin Jerry dengan bilang, "Jerry lebih sukses dari Rio" di depan Didi--Ya Allah, dialog simpel ini bener banget di kenyataan saat manusia suka membanding-bandingkan. Ya, bagi Jerry yang uang tak ada artinya itu, apa pun bisa dibeli dengan uang, tapi kata Didi, "Saya tidak pernah butuh uang kamu!"

Namun ada ucapan Jerry yang rasanya pengen saya pites-pites, ini terjadi ketika Jerry bertengkar dengan Satrio. Kata Jerry:

"Dia (Didi) perawan tua, desperated, siapa aja disikat. Termasuk orang rendahan kayak kamu!" Sebagai perempuan, sungguh ini pernyataan yang sangat-sangat menyakitkan. Damn, saya ikut ngrasain 'ucapan' yang bisa bikin orang nonjok ke muka orang yang ngatain ini. Hingga pisuhan Jawa yang diucapkan Didi dan Pak Gatot cocok untuk dilontarkan.

Di tengah segala perdebatan dan masalah tersebut, akhirnya Satrio sadar, membedakan antara misi buta dan misi masuk akal. Dia akhirnya membangun kariernya secara profesional, "Aku mau belajar buat ngilangin egois aku," Satrio, so deep.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar