Senin, 19 Juli 2021

Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020): Glorifikasi Keluarga

Ya, saya termasuk orang yang sinis terkait film-film yang begitu mengglorifikasi arti sebuah keluarga. Kesan itu saya temukan di film "Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI)" sutradara Angga Dwimas Sasongko. Mungkin karena rasa iri keluarga saya tak sehangat keluarga dalam film itu atau penggambaran perasaan yang lebai atau pengukuhan menjadi anak pertama (Angkasa - Rio Dewanto), anak kedua (Aurora - Sheila Dara Aisha), dan anak bontot (Awan - Rachel Amanda). Di mana sosok ayah (Donny Damara/Okan Antara) dan ibu (Susan Bachtiar/Niken Anjani) menguatkan strukturalisasi kekeluargaan itu.

Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020)
Sebagai anak pertama, orangtua saya tak membebani saya untuk menjaga adik-adik seprotektif Angkasa. Gatau sih, insting itu tanpa diminta pun akan datang sendiri, taken from granted untuk jaga adik-adiknya kalau kenapa-kenapa. Masalahnya ada di eksekusi, tak semua kakak pertama secara langsung melindungi.

Meski kesan menjadi anak tengah yang jarang dipedulikan dan dianggap tak ada tergambar kuat dari sosok Aurora. Anak paling pendiam dengan hobi anehnya seputar seni instalasi. Dia membuat studionya sendiri di bengkel rumahnya, membaca Dali, dan membuat pameran dengan master piece berupa Niskala. Dan lihatlah kemudian si ibu bilang, "Nak, kamu anak paling mandiri di antara semua anak ibu."

Anak terakhir bagi kebanyakan orangtua menjadi sosok yang paling disayang. Apapun keinginannya biasanya akan dituruti, dan kebanyakan akan berakhir dengan manusia yang berkarakter manja dan sulit membuat keputusan bagi dirinya sendiri. Even persoalan pekerjaan sang ayah harus melakukan intervensi. Hingga meminta kakak pertama untuk menjemput adik terakhir setiap hari. Oh Dude, apakah sampai soal Awan ciuman sama Kale (Ardhito Pramono) di konser Arah (Hindia) sekeluarga harus tahu?

Lalu masalah utama orangtua yang pernah kehilangan anak kembarnya satu, menjadi titik trauma yang seolah menghubungkan emosi protektif si ayah; relasi kuasa ayah atas anak-anaknya juga istrinya begitu kental dalam film ini terlebih selesai kejadian itu. Kuasa yang seolah menjadi pembenar sehingga memunculkan bom waktu yang meledak selesai pameran perdananya Aurora. 

Di rumah itu, rumah tempat orangtuanya melakukan candle light dinner saat hujan turun; rumah tempat satu keluarga membantu Awan mengerjakan maket deadline kerjaan di firma arsitektur; juga rumah di mana sekeluarga bertengkar menjadi tempat meletusnya bom waktu. Semua merasa dikekang, semua menyimpan kesedihan dan masalah, semua hamil kecurigaan. After all, berakhir dengan pelukan hangat, juga di rumah itu.

Juga kisah-kisah masa bayi dan masa kecil. Saat Angkasa naik sepeda dan Awan mengejarnya dengan sepeda kaki empat. Atau saat Awan tertabrak motor dan ibunya mengalami trauma tak mau menyetir lagi. Hingga benda kaos kaki yang begitu disakralkan, ya, materia yang disakralkan itu tetap terjadi pada siapa pun, dan tak dinyana sebegitu lebainya mengikat seseorang. 

Yang saya suka dari konstelasi film ini ada di nama-nama yang digunakan: Angkasa, Aurora, dan Awan menjadi imajinasi tersendiri bagi saya yang mendengar. Boleh dibilang, keluarga planet ini coba membangun simbol-simbol kelangitan yang tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar