Senin, 19 Juli 2021

Wa'alaikumussalam Paris (2016): Berdamai dengan Benturan Budaya

"... to be a wife is a way to follow a husband wherever he is, even in the ant's house."

Yang paling berkesan dari film ini menurutku pribadi adalah pemandangan (scenery) pedesaan Prancis yang jarang saya jumpai di film-film lainnya; yang rata-rata dipenuhi pemandangan urban, kota, Eiffel, Sungai Seine, dan sederet toko fashion mahal lainnya. Justru pemandangan desa itu lebih mirip spot-spot yang ada di Indonesia dengan pohon-pohonnya, sungi berlumut, kebun jagung, juga kebun anggur.

Wa'alaikumussalam Paris (2016)
Premis film sebenarnya juga sederhana: dua orang berbeda latar belakang menikah kemudian tinggal di budaya tertentu di mana si istri tidak betah. Bukannya tidak betah, tapi di luar ekspetasinya akan mall, selfie, belanja, dan pamer. Si istri, Itje (Velove Vexia), asal Bojong dengan logat Sunda yang kental (meski kontras dengan wajah Velove) menikah dengan bule Prancis bernama Clement (Nino Fernandez) atau yang di-Sundakan namanya jadi Emen.

Pembukaan film terjadi dengan tiba-tiba, Itje menikah dengan Emen atas persetujuan orangtua Itje yang lucu dan sering bertengkar bab keseharian. Itje juga punya adik bernama Ine (Luthya Sury) yang memiliki pacar dan akhirnya jadi suami Ine bernama Yayat (Boris Bokir). Sedangkan nun di Paris sana, Clement memiliki seorang ayah yang memiliki kebun anggur yang luas; dengan beberapa pekerja setia yang membantu di kebun. Ibu Clement telah meninggal, sang ibu orang Sunda dan seorang Muslim. 

Sebagian besar latar film ini berada di Prancis. Konflik kebanyakan terjadi pada Itje akan pergulatannya menjadi istri, karakternya yang culture shock, suka uring-uringan, dan kekinian. Berbanding terbalik dengan Clement yang alus, tenang, tak mudah marah, dan berusaha menjadi Muslim taat. Dia mempelajari Ensiklopedi Rumah Tangga Samawa, meminta Itje membacanya meski Itje malas. Hingga datanglah Dadang (Tanta Ginting), orang yang relegius-relegius banget tapi ngajari mereka solat.

Di part Dadang ini, ada perkataan Clement yang menurut saya menarik, "Saya tidak peduli dia ustadz atau tidak, selagi dia mengajari saya apa yang dia bisa termasuk solat, saya akan belajar." Terma mengajari apa yang kita bisa ini tak mensyaratkan hal yang muluk-muluk, karena udah lama terinternalisasi sehingga mudah. Jadi lebih berkaca ke diri sendiri, bahwa untuk mengajari seseorang kita harus sempurna, padahal hanya dengan memberikan apa yang kita bisa sudah sangat membantu orang lain.

Scene lain yang menarik, mau di Paris atau mau di Tanah Abang, pencurian tetaplah ada. Seperti kasus Itje yang kehilangan koper di sekitar Eiffel. Atau kasus gelandangan dan orang yang tidur di pinggiran jalan, mau di Jalan Champs-Élysées atau di Jalan Jenderal Sudirman, itu menjadi fakta keseharian yang tak bisa dilepaskan.

Untuk pasangan yang baru saja menikah, saya kira film ini cocok ditonton. Saya menghargai usaha Clement untuk belajar menjadi suami yang baik, menjadi iman bagi istri dan anak-anaknya kelak. Juga bagaimana seseorang berkopromi dengan benturan budaya yang dialaminya, tak ada pilihan lain selain menghadapinya. Sebab yang dihadapi itu suatu hari akan dirindukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar