Selasa, 15 Juli 2025

Satsang IVS Edisi 13 Juli 2025 dan Kunjungan Kasih ke Rumah Mbak Wulan

Saya bersiap sejak pagi untuk menghadiri satsang IVS Indonesia yang diadakan di Rumah Tante Chika (Taman Rempoa Indah) pada Minggu, 13 Juli 2025. Cuaca hari itu cukup baik, meskipun agak mendung. Dalam perjalanan menuju lokasi, akses jalan ke arah Pondok Indah Mall sempat ditutup untuk car free day, sehingga saya harus memutar lebih jauh dan menghadapi kemacetan yang menguji kesabaran. Akibatnya, saya tiba sekitar 12 menit lebih lambat dari yang direncanakan. Sesampainya di sana, Shraddha Ma, Tante Chika, Mbak Sari, dan Bu Sri sudah dalam posisi meditasi. Satsang berjalan tepat waktu, saya pun langsung bergabung dalam sesi meditasi bersama mereka.

(Foto: Tim IVS)

(Foto: Tim IVS)

Meditasi pertama dilaksanakan selama kurang lebih 50 menit. Datang perserta lain, Bu Rika, dan putrinya Sasa yang mengantar. Lalu istirahat sebentar, dan dilanjutkan meditasi sesi dua selama 50 menit. Yang saya rasakan, ada perbedaan ketika meditasi sendiri dan meditasi bersama. Ketika bersama, rasanya begitu cepat dan tidak terasa. Saya tak merasakan distraksi yang berat, meskipun kaki masih terasa kram. Lalu, kami makan siang dengan bubur Manado, pizza homemade, tahu walik, dan minuman campuran selasih, melon serut, dan alpukat. 

Dilanjutkan ke sesi Satsang pada jam 2 siang. Peserta siang itu bertambah ramai: Shradhha Ma, Tante Chika, Mbah Sari, Bu Sri, saya, kedatangan juga Mbak Diny, Nahda (putri Mbah Diny), Mas Saenuri dan istri dan dua anak beliau. Juga, Bu Rika dan Sasa pulang terlebih dulu karena ada kegiatan lain. Di tengah-tengah acara, Mbak Wulan juga datang setelah melakukan kegiatan perawatan pada orangtua yang tengah sakit.

(Foto: Tim IVS)
(Foto: Tim IVS)

Satsang kali ini terkait, "Hidup Selaras dengan Kehendak-Nya". Tante Chika menyampaikan materi terkait kisah lima kuda yang ditarik oleh sais (kusir) dengan penumpang di belakangnya. Di dalam Vedanta, kita sering diingatkan bahwa kita bukan tubuh, pikiran, intelek, ego; kita adalah Diri yang Sejati. Menyadari ini membutuhkan waktu. Di film Mahabaratha, di sana diceritakan Krishna yang tengah mengendarai kereta kencana. Di dalam kereta kencana itu ada beberapa simbol penting:

  • Badan kereta yang diibaratkan tubuh kita. Dia menjadi kendaraan kita untuk berjalan.  
  • Lima kuda yang diibaratkan panca-indra, yaitu mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk menghidu/mencium berbauan, kulit untuk merasakan sentuhan, lidah untuk mengecap berbagai rasa. Lima indra inilah yang membuat manusia terhubung dengan dunia luar. 
  • Tali pelana yang diibaratkan pikiran. Apa yang dirasakan oleh lima indra, akan masuk ke pikiran, dan disimpan di dalam memori. 
  • Kusir, yang disimbolkan sebagai intelek. Dialah yang memberi arahan pada tali dan kuda, mau majukah, belokah, atau berhenti. Bagian inilah yang memegang kendali, mana yang baik, mana yang buruk ditentukan oleh bagian ini. 
  • Penumpang, yang dilambangkan sebagai kesadaran (sang penyaksi). Apakah kereta, kuda, tali, dan kusir sendiri bisa mengantar penumpang ke tujuan yang benar? Penumpang inilah yang menyaksikan. Kita bisa membayangkan, ketika kuda-kuda dan pengendaranya tak sinkron, maka tujuan dari penumpang akan sampai atau tidak? Maka sangat sulit.

Dari bagian-bagian itu, jangan sampai kita salah mengidentifikasi kemana kita berjalan. Tante Chika menjelaskan: "Permasalahannya adalah kita selalu menganggap bahwa kita yang murni adalah keseluruhan kereta tersebut, bahkan ada sebagian orang yang menganggap aku adalah pengendali (si kusir) seperti yang lebih lanjut dijelaskan oleh Shraddha Ma. Padahal si kusir ini yang sebagai pengendali adalah sejatinya si intelek. Vedanta meluruskan dan selalu mengingatkan kita bahwa kita bukan tubuh, bukan pikiran, bukan intelek/ego, tapi kita yang murni adalah Sang penyaksi/Sang kesadaran/Brahman/Atman…. Si penumpang kereta. Di mana kesemua yang lain melakukan ‘tugas’nya demi Sang Penyaksi, untuk Sang Penyaksi." 

Untuk menyelaraskan bagian-bagian ini sangatlah tidak mudah. Kita butuh latihan, latihan, dan latihan. Kalau kita melatih tubuh misalnya dengan pergi ke gym, atau berolahraga untuk menjadi kuat, maka perlu latihan-latihan khusus, semisal meditasi dan mempersiapkan tubuh agar lebih kuat. Kata Tante Chika lagi, latihan untuk menyelaraskan semua faktor itu sebagai berikut:

  1. Tubuh dan pancaindra: Melalui ritual (latihan disiplin terhadap raga sehingga kecerdasan body terbangun).
  2. Pikiran: Latihannya melalui mindfullness, segala aktifitas kita fokus jangan biarkan pikiran lompat kesana kemari. Jadi kalau kita lagi minum kopi, nikmati kopi tersebut jangan sampai memikirkan yang lain.
  3. Intelek: Latiannya melalui True Knowledge. Beri asupan pengetahuan-pengetahuan murni sehingga intelek dapat memberikan arah ke jalan yang benar dan tepat. 

Shraddha Ma menambahkan, dalam kehidupan sehari-hari simbolisasi ini seperti kita naik delman. Kita anggap kudanya ada lima yang diibaratkan indra kita. Begitu juga dengan bagian lain yang dijelaskan Tante Chika. Semua bagian ini hadir untuk berpegang, untuk duduk, untuk menuju tempat tujuan, dan tugas terberat yaitu mencapai keselarasan. Untuk mencapai keselarasan, Guru Bhagavan sering menanyakan, "How are you?" Yang dimaksud bukan menanyakan kabar, tapi menanyakan kondisi pikiran, "How's your mind?"

Kemudian, Shraddha Ma menjelaskan ulang terkait lima kondisi pikiran dari yang lemah ke yang kuat:

  1. Kshipta: Pikiran yang kacau, terberai-berai. Kondisi pikiran yang lemah. Kondisi yang tak memungkinkan untuk bermeditasi dan berkontemplasi secara mendalam. 
  2. Moodha: Pikiran yang tertutup, tumpul, atau pikiran yang malas. Ada keengganan untuk berpikir jernih, merasa terpuruk, dan tidak peduli.
  3. Vikshipta: Pikiran yang meloncat-loncat (monkey mind), bisa terkonsentrasi sebentar tapi mudah terganggu. Ada moment kejernihan, tapi diselingi emosi dan distraksi. 
  4. Ekagrata: Pikiran yang sudah berfokus, menemukan satu titik tunggal. Ini kondisi yang dibutuhkan untuk meditasi yang mendalam, seperti api lilin dalam ruangan tanpa angin.
  5. Niruddha: Pikiran yang terkendali sepenuhnya. Dia hening sempurna, tak terganggu objek luar dan dalam. Kondisi samadhi.

Shraddha Ma menambahkan kebanyakan manusia paling banyak di tingkat ketiga, dan masih sangat jarang (nol koma nol nol nol sekian) yang bisa mencapai tahap ekagrata bahkan nirudha. Dengan latihan, meditasi, dzikir, harapannya bisa mencapai tahap tertinggi. Vedanta mengajarkan kita untuk melatih indra, pikiran, kusir, dengan pengetahuan yang membebaskan. 

(Foto: Tim IVS)
(Foto: Tim IVS)
Kemudian, sesi Mbak Novi, yang mengajak kita untuk menutup mata, membayangkan diri berada di ruangan hampa yang tak ada siapa-siapa, membayangkan diri untuk melepaskan semua identitas (sebagai anak, orangtua, peran sosial, gelar pendidikan, pekerjaan, dlsb). 

Sesi refleksi setelahnya yaitu dengan melakukan journaling, menulis di atas kertas, dan menjawab enam pertanyaan.

  1. Siapa aku? Selama ini aku dikenal sebagai apa?
  2. Aku sering merasa harus menjadi seperti apa? (Eksternal, ekspektasi dari orang-orang sekitar)
  3. Aku sebenarnya ingin dikenal sebagai apa? (Internal, dari dalam diri sendiri)
  4. Identitas apa yang melekat padaku?
  5. Siapa aku jika semua identitas atau peran sementara yang melekat itu tak ada? Siapa aku ketika semua identitas itu dilepaskan sejenak? Apakah aku masih utuh? Apa yang tersisa? Bagaimana perasaanku?
  6. Apa pesan yang ingin disampaikan ke diri sendiri? 

Lalu, sesi sharing terkait pertanyaan-pertanyaan tersebut. Bu Sri membagikan jawaban-jawabannya, yang saya tangkap, tentang ritme kerja beliau yang waktunya tidak menentu. Bekerja di LSM internasional dengan kolega-kolega dari luar negeri membuatnya harus siap online kapan saja. Melalui latihan meditasi dan Vedanta, dia ingin menyelaraskan kehidupannya. Juga belajar untuk melepaskan identitas-identitas yang menimbulkan kemelakatan. Saya juga membagikan jawaban saya, jika selama ini saya dikenal sebagai jurnalis/penulis, yang jika itu dilepaskan, saya merasa biasa-biasa saja, gak papa. Saya juga berpesan ke diri sendiri, saya boleh kehilangan siapa pun dan apa pun, asalkan saya tidak kehilangan Tuhan. Ketika saya punya Tuhan, saya sudah punya semuanya. 

Sesi terakhir yaitu sharing terkait satsang hari ini dan perubahan yang dirasakan setelah praktik meditasi. Kira-kira yang saya ingat, Mas Saenuri merasakan perubahan jadi lebih sabar, misal ketika macet di jalan atau antre di pom bensin. Ketika tidak melakukan meditasi harian pun rasanya seperti tidak lengkap, hari seolah berantakan. Meditasi membantunya lebih tenang menjalani kehidupan tiap hari. Mbak Sari merasakan ketenangan juga mengikuti meditasi, dan meditasi bersama membantunya. Mbak Diny mewakili Nahda juga bercerita terkait keinginan untuk mengajak anak-anaknya belajar meditasi. Mengajari anak-anak dirasakannya masih susah karena distraksinya banyak. Untuk satsang hari ini, sebab kakaknya sibuk, alhamdulillah, bisa mengajak adiknya dulu (Nahda).

(Foto: Tim IVS)
(Foto: Tim IVS)
Mbak Wulan juga sharing, yang saya tangkap, transformasi yang dialami adalah terkait manajemen waktu. Jika dulu selalu dikejar-kejar untuk tepat waktu karena merasa gak enak, sekarang lebih disesuaikan dengan kondisi diri sendiri. Seperti mengurus orangtua yang sakit dan perlu perhatian lebih. Mbak Wulan juga mulai belajar mendelegasikan pekerjaannya pada saudaranya yang lain, yang ternyata bisa, karena sebelumnya seperti harus dia tangani sendiri. Mbak Wulan juga terharu, Shraddha Ma dan tim IVS akan berkunjung ke rumahnya. Dia pernah punya pengalaman mempunyai guru, yang bilang akan main ke rumah, tapi belum main-main hingga sekarang.

Kunjungan ke Rumah Mbak Wulan 

Setelah Satsang selesai, dengan sesi terakhir meditasi nidra, kami mengunjungi rumah Mbak Wulan di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kami datang berberlima. Shraddha Ma dan Mbak Novi berangkat dengan mobil bersama Mbak Diny dan Nahda. Sementara saya naik motor agar tidak bolak-balik ketika pulang ke kos. Saya tiba terlambat, karena lumayan macet, sempat nyasar untuk mencari rumah, rumahnya di depan SD Hang Tuah 3, sementara saya nyasar di TK Hang Tuah. Saya seperti dejavu, perumahan itu seperti tidak asing, karena mengingatkan saya dengan perumahan teman lain yang tinggal di Jaksel. Di sekitar TK Hang Tuah itu, ketika saya bertanya orang yang lewat secara random, saya bertemu seorang ibu paruh baya yang bekerja sebagai tukang pijat. Dia tidak tahu di mana letak Jalan Teluk Mandar, sementara beliau sedang menunggu anaknya datang menjemput.

(Foto: Tim IVS)
(Foto: Tim IVS)
Saya pun kembali ke rute awal. Lalu saya sisir nomor rumahnya, dan akhirnya bertemulah dengan rumah itu. Letaknya berada di persimpangan dua jalan, atau yang dikenal sebagai rumah hook (rumah sudut), punya dua sisi terbuka yang tak terhalang dengan rumah lain. Di sisi pintu masuk, ada SD Hang Tuah 3. Rumah itu berkelir putih, pemandangan yang menarik perhatian saya adalah kolam ikan dan akuarium yang terlihat damai dengan beberapa tanaman di sekelilingnya. Juga tergantung dua sangkar burung yang tertutup karung warna biru dan orange. Beberapa motor terparkir di depannya, dengan plafon depan yang seperti ingin ambrol. 

Pintu rumah berwana abu-abu dengan lantai berwarna merah maroon. Kucing berwarna kembang telon turut menyambut di antara sela-sela kaki. Hiasan kaligrafi terpasang di beberapa dinding tembok. Ada jendela kaca di dua sisi menerangi rumah kala siang. Sepengamatan saya sekilas, rumah ini tergolong tua, seperti khas bangunan rumah zaman dulu. Saya berpikir, usia rumah ini pun juga sudah sepuh, ketika didirikan, rumah ini barangkali termasuk "assabiqunal awwalun", ada lebih dulu sebelum rumah-rumah di sekitarnya ramai seperti sekarang.

(Foto: Tim IVS)

(Foto: Tim IVS)

Saat saya tiba, Shraddha Ma tengah berbicara dengan ibundanya Mbak Wulan yang berusia 70 tahun. Kami berkumpul di ruang tamu, duduk di bangku sederhana berwarna hitam dengan dudukan warna putih. Saya datang untuk cium tangan ibunda Mbak Wulan, kemudian bersalaman pula pada ayahanda Mbak Wulan yang berusia 84 tahun (kelahiran 1941, masa sebelum Kemerdekaan Indonesia, dalam suasana Perang Dunia II). Ayahanda Mbak Wulan mengingatkan saya dengan Bapak sendiri yang juga sudah sepuh, Bapak kelahiran 1949. Ayahanda Mbak Wulan berbaring mengenakan kaus warna biru langit dan bersarung. Beliau baru saja keluar dari rumah sakit, dan sedang proses pemulihan di rumah. Kami juga berdoa untuk kesembuhan ayahanda Mbak Wulan.

Dalam obrolan itu, saya mendengar ibunda Mbak Wulan bercerita memiliki delapan anak, dengan satu anak meninggal ketika masih kecil, dan tersisa tujuh orang. Shraddha Ma bercerita pada ibunda Mbak Wulan bahwa Mbak Wulan adalah anak yang baik. Beruntunglah kedua orangtua Mbak Wulan. Pesannya juga, jangan menekan anak untuk cepat menikah. Jika dapat pasangan yang baik akan bersyukur, tetapi jika tidak, nanti akan menderita. Biarkan Mbak Wulan bahagia dengan pilihannya sendiri. 

(Foto: Tim IVS)
(Foto: Tim IVS)
(Foto: Tim IVS)
Di WhatsApp, Shraddha Ma juga mengirim pesan kepada saya: "Tujuan IVS ke rumah Wulan adalah kunjungan kasih." Juga untuk membantu bedah atap rumah yang banyak bocor, hal ini juga turut dibicarakan ketika kunjungan, untuk memanggil salah satu tukang yang menangani atap. Tak selang beberapa lama, kami pun pamit karena Shraddha Ma ada acara jam 7 malam. Shraddha Ma berharap, kunjungan ini membawa berkah dan kebahagiaan, kesejahteraan, dan ketenangan untuk semua. Aamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar