"Orang berubah bukan karena rasa takut, tapi karena dia dicintai." Jo
Aku ke Solo lagi, kota yang barangkali bisa kukenal dengan baik karena kedekatannya dengan Jogja. Aku dan tiga kolega kantor tengah liputan peluncuran Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih di Desa Bentangan, Klaten. Peluncuran itu berlangsung secara formal, tentu berisik dengan suara kepala desa se-Jawa Tengah, ditambah kehadiran jajaran menteri dan presiden. Sepanjang perjalanan, aku cukup senang bisa melihat jajaran pegunungan Merbabu-Merapi dan teman-temannya. Melihat sawang menguning hijau dengan langit yang membentang biru juga membuat pikiranku lebih rileks sejenak dari aktivitas di Jakarta. Aku suka berada di desa-desa yang penuh dengan kesahajaan, yang kadang datang secara cuma-cuma.
Jika dinas di Solo, biasanya kami akan menginap di Swisbel. Menurutku, ini penginapan terbaik di Solo sejauh ini. Entah kenapa, semua suasananya aku suka, makanannya juga enak. Namun, karena tak sesuai pagu, akhirnya kami menginap di Hotel Solo Paragon. Penginapan ini satu kompleks dengan Mall Solo Paragon, ya, khas kompleks Superblok perkotaan yang apa-apanya menyatu dan jadi satu. Kamarku ada di lantai 15, dari lantai itu, aku bisa melihat Solo dengan leluasa sejauh mata memandang. Aku suka menikmati moment-moment perenungan seperti itu.
Di tengah kegiatan random, konser Rony Parulian di Sarinah juga memberiku gema yang lebih panjang dari yang kuduga. Aku menikmati konten-konten reels Instagram tentang Rony sambil tidur-tiduran nge-chill, banyak video yang membuatku tertawa, bahagia, merenung, nyanyi diam-diam, hingga aku sepertinya sudah siap untuk jadi bagian keluarga WeR1, fansnya Rony, haha. Jiwa mudaku kembali bangkit, tak henti-hentinya Spotify-ku menyetel lagu Rony yang dia nyanyikan khususnya pas konser di Sarinah.
Malam pertama di Solo, hal indah yang kukenang adalah makanan ayam kampung sambel dari Bakmi Bu Citro 1 Solo. Saat lagi lapar-laparnya, ada kolega yang mengirimkannya, rasanya enak banget. Aku kepikiran, suatu hari nanti, aku akan bawa orang yang kucintai untuk makan bareng di tempat ini. Semoga kedai yang berdiri sejak 1970 itu bisa panjang umur. Malam kedua, aku memutuskan untuk pergi ke Mall Solo Paragon. Aku berkeliling dari lantai satu sampai lantai paling atas. Setelah memikirkan kegiatan apa yang tepat kulakukan di mall ini? Akhirnya aku memutuskan untuk nonton film "Sore" yang viral di media sosial. Masih ada waktu sekitar 50 menit sebelum film dimulai, aku gunakan waktu untuk pergi ke gerai Watson tak jauh dari bioskop.
Di Watson, aku memutuskan untuk membeli kebutuhan perawatan diri. Selama ini, aku lupa merawat diri. Aku memutuskan berubah setelah menonton salah satu video Rony di Instagram. Video itu sangat berkesannya bagi diriku, termasuk juga salah satu komentarnya yang membuatku seperti bercermin. Ah, aku menangis, betapa aku tak sayang dengan diri sendiri. Makasi ya Rony, udah unlock hal mendasar dalam diriku. Ini hal sederhana yang kulupakan hampir setiap hari, untuk lebih care pada diri sendiri. Aku tak akan melupakan moment ini Ron. Seperti kata lagumu: "Bila surya pun tenggelam, tapi tidak sinarmu, tidak sinarmu..."
Lanjut cerita film....
Sore Edisi Series Youtube
Sore terus mengikuti Jo kemana pun. Dia meminta Jo berubah. Dari tak boleh merokok, tak boleh minum, makan makanan yang lebih sehat, dan berolahraga. Pelan-pelan Sore membuka semua rahasia Dion, Sore mengingatkan jika sekitar beberapa tahun dari sekarang dia akan bertemu dengan Sore di sebuah agen fashion desainer. Sore ini seorang stylist fashion dan desainer gitu. Sore akan selalu marah jika Jo nakal masih ngerokok, kerja sampai pagi tak kenal waktu, dan hidup tak sehat.
Sampai si Jo kembali ke Jakarta. Dia mencari Sore dari temannya yang buka kafe, pacar teman di kafenya ini ternyata adiknya Sore. Jo ketemu Sore di sebuah pameran UMKM atau kerajinan seni gitu. Jo udah nyari di agen fashion tapi tak ada. Jo sejak ketemu Sore jadi lebih berubah, dia menjaga kesehatannya dengan baik. Lebih perhatian juga. Hal yang lebih lucu, saat temannya yang mendirikan kafe kasi saran agak norak ke Jo untuk melamar Sore lewat tarian dan koreografi. Jo bela-belain untuk ikut kelas nari dibantu para cheerleader-nya.
Pas hari-H, aku pikir Sore akan mutusin Jo karena dia dilema dengan temannya yang memutuskan untuk jadi Ibu Rumah Tangga di tengah kariernya yang lagi nanjak-nanjaknya. Perempuan yang harus mengurus anak dan melepaskan mimpi-mimpinya. Namun aku salah, ternyata, Sore mengajak ketemuan karena dia mau minta maaf. Di kafe temannya itu, Jo akan melakukan lamaran dengan tarian. Eh, gak disangka cincinnya jatuh duluan. Sore mengambilnya dan langsung dipakai, tanpa basa-basi, dia udah bisa nangkap hati Jo, meskipun Jo belum bilang dia akan melamar Sore. Lucu adegan ini, sumpah lucu. Aku suka gaya Sore yang malah geli dengan cara-cara norak, wkwk.
Sore Edisi Bioskop
Cerita ini lebih kompleks, dan menurutku, lebih sedih, sendu, dan traumatik. Secara alur memang ada kesamaan, seenggaknya setengah film, tapi setengahnya adalah improvisasi dari yang ada di series. Setelah menontonnya, ada beberapa kesan yang kurasakan:
- Bagian Sore yang bolak-balik mati terus hidup, mati lagi hidup lagi, mengulang kejadian yang sama untuk berkali-kali membuatku jengah. Itu traumatik banget rasanya, sakit. Aku sepakat sama Sore, waktu paralel ternyata tak mengubah apa-apa dari waktu kita sekarang. Keinginan mengubah hanya bentuk egoisme manusia saja.
- Pas adegan Jo motret pemandangan senja, yang versi antara Sore ada dan Sore gak ada, aku langsung ngras maktratap, semacam langsung relate ke diriku. Gini konteksnya, kadang aku juga ngrasa halu ada suami yang datang dari masa depan, dan saat rasa itu ada, sebenarnya dia udah datang. Kita udah ngrasa, hanya fisiknya aja yang belum ada, tapi energinya masih ada. Gitu gak sih?
- Aku nangis pas adegan Jo ketemu Sore di akhir-akhir film. Saat Jo kembali ke waktu normalnya, dia seolah belum mengenal Sore tapi seperti sudah mengenal Sore di sepanjang hidupnya. Sore datang di pameran Jo terkait climate change dan beruang kutub. Sore ngritik foto-foto Jo awalnya, terus Jo bikin surprise pakai cahaya aurora yang kehijau-hijauan. Manis sih itu, haha.
- Bagian Jo datang ke ayah kandungnya di Kroasia itu juga bagian yang nyesek. Saat ayahnya lebih milih hidup dengan perempuan lain di luar negeri, lebih mencintai anaknya yang bule. Aku seperti bisa merasakan perasaan Jo saat ayahnya sedang berkebun dan terlihat harmonis, tapi di sana, JO BISA MEMAAFKAN, dan menulis di balik foto dia dan ayah ketika kecil.
- Edisi Sore yang main Sheila Dara membuatku lebih frustrasi secara alur. Dia sampai jadi desainer, ketemu Jo yang mau nikah sama Elsa. Sore ngukur baju Jo. Adegan di bus, di jalan, saat lari, saat nyuruh makan, saat berbahasa Spanyol, saat ke rumah ayah, dlsb. Kunci semua adegan ini cuma satu: Jika aku harus mati hidup ribuan kali, aku akan tetap milih kamu. Sore tahu, sebanyak apa pun masa lalu diubah, tak bisa menggantikan kenyataan sekarang.
Ada beberapa analisis menurutku, kenapa film ini jadi salah satu pembicaraan publik:
- Premisnya yang unik dan emosional. Tema utamanya cinta, kehilangan, dan takdir. Tim produksi film bisa buat ini dekat secara emosional dan ada kejutan alur. Kita seperti dihadapkan pada dilema takdir dan pilihan yang kita buat sekarang.
- Aktornya kuat, baik Dion Wiyoko ataupun Sheila Dara dan Tika Bravani masing-masing punya karakter kuatnya sendiri. Mereka tak harus jadi satu sama lain. Mereka juga tak berlebihan.
- Film ini puitis secara gambar-gambar (scene-scene) yang ditampilkan. Tenang, sederhana, tapi juga dalam. Juga membangkitkan minat publik pada perjalanan waktu yang emosional.
- Sore mengangkat representari perasaa yang tak banyak diangkat. Meskipun ada kritik alurnya lambat, but, it's okey. Yang hidup di film versi bioskop menurutku adalah Sore, alih-alih Jo yang seakan pasif dan tak berkembang secara karakter.
Temanku Nisa bilang, setelah nonton Sore, dia jadi refleksi banyak dan kayak orang plonga-plongo. Kata Nisa: "kita jadi pengen ngasih yang terbaik buat orang2 terkasih gak sih, takute waktune tiba2 habis. aku tuh pas sakit bukan takut matinya, takut bikin sedih yang ditinggal. begitu sebaliknya aku jg takut ditinggal. ibuku bbne turun pas aku mau op, katane susah tidur..., gini2 yang bikin aku pengen sembuh. kayak e kalau kita gak ada yang mengasihi pengen mati aja gak sih. kalo balik ke masa lalu aku gak mau ngubah apa-apa sih wkwkwk." Aku sepakat dengan Nisa. Jika aku diberi kesempatan untuk ke masa lalu, aku tidak ingin mengubah apa-apa.
Sinematografi film ini bagus. Pemandangan luar negerinya keren-keren, apalagi senja dengan quote-nya yang membekas itu, yang kira-kira bilang, "Kamu tahu gak, kenapa senja itu indah? Karena dia tak selalu indah, kadang merah merona, kadang jingga, kadang orange sendu, kadang gelap, tapi langit tetap menerima senja apa adanya."
Aku membaca beberapa buku tentang time traveler, entah itu bukunya Alan Lightman atau HG Wells. Cerita mereka lebih saintifik daripada film ini yang lebih dekat secara emosional.
Judul: Sore Istri dari Masa Depan | Sutradara: Yandy Laurens | Tanggal rilis: 10 Juli 2025 | Genre: Drama, Fiksi | Durasi: 1 jam 59 menit | Skenario: Yandy Laurens | Pemain: Dion Wiyoko, Sheila Dara, Goran Bogdan, Mathias Muchus, Maya Hasan | Produser: Suryana Paramita | Perusahaan Produksi: Miles Films

Tidak ada komentar:
Posting Komentar