Hijab merupakan "tatacara berpakaian yang pantas"
sesuai dengan agama. Menjadi dress code Islam, tertuang dalam QS Al-Ahzab: 59
dan An-Nur: 31. Istilah hijab merujuk pula kerudung populer awal 1980-an. Di
berbagai negara bersinonim dengan burqa (Afganistan), abaya (Arab), Chador
(Iran), tudung (Malaysia), purdah/niqab (Pakistan). Hijab sendiri dari bahasa
Arab yang artinya tabir (penghalang), aurat perempuan seluruh badan kecuali
wajah dan telapak tangan. Hijab telah ditentukan fungsi dan penggunaannya dalam
syariat Islam.
Namun, fenomena hari ini telah terjadi pergeseran nilai
fungsi hijab, alih-alih menutup aurat dan nilai relegiusitas, berkecenderungan
mengeksploitasi pesona kecantikan bagi penggunanya. Hijab mengikuti mode adalah
gaya busana zaman tertentu dan menjadi ekspresi zaman. Terlebih mode
berkecenderungan sering berkiblat ke barat. Desain yang modis, colorfull, modern, dengan berbagai
bahan, khususnya di kota besar. Hari raya agama jadi semacam festival dan
pentas konsumsi; dirayakan oleh televisi, media sosial, dan pasar. Nyaris tiap
hari terpapar iklan ini.
Kritik yang dilayangkan dalam penelitian ini adalah hijab dari
yang awalnya bentuk kehormatan berubah menjadi tren budaya populer. Hijab
kemudian mengandung konotasi fetis. Fetis berasal dari bahasa Portugsi, fetico, artinya daya pikat atau sihir
yang terkandung dalam objek. Mengandung unsur jamal (keindahan batin) dan husn
(keindahan zahir). Fetisisme: pemujaan akan sesuatu yang didorong atas
kepercayaan tertentu yang menjerat manusia. Dalam konsep Marx, fetisisme
komoditas adalah "sifat produksi komoditas dalam sistem kapitalis."
Bukan hanya sebagai nilai guna, tapi juga daya pesona. Dia memberi kualitas
yang menggoda meski di sisi lain menutupi asal tenaga kerja.
Fetisisme komoditas ini yang menyuburkan konsumerisme dan
kapitalisasi Islam. Ibrahim (2009) memaknai kapitalisasi Islam sebagai
"penaklukan semangat keagamaan oleh pasar, bisnis, dan kapitalisme." Bukan
konsumerisme yang memenuhi kebutuhan, tapi konsumerisme menyimpang yang tidak
menurut kebutuhan, menekankan pada barang/materi sebaga ukuran prestise,
gengsi, dan kebahagiaan. Cantik tak sekadar fisik lagi, tapi memakai brand yang diiklankan.
Diperkuat dengan eksploitasi yang diakukan di media massa
melaui ilusi penggunaan tubuh (libidinal
power) dan segenap sensualitasnya untuk menarik perhatian. Yang dalam hal
ini dimonopoli oleh artis, model, figur publik hedon, dll. Digambarkan dengan busana
menjadi kulit sosial yang mencerminkan gaya hidup dan pesan pada seseorang. Gaya
hidup menunjukkan pula bagaimana seseorang mengatur hidup pribadinya, cara
berperlikau di publik, terkait piliham, kebiasaan, sistem nilai, dan pembedaan
status dengan yang lain.
Objek penelitian ini adalah hijab merek Rabbani dan Zoya,
memakai metode kualitatif, dan dianalisis dari kacamata fetisisme komoditas. Data
tak cuma angka, tapi juga gambar dan naskah dari buku, majalah, internet,
wawancara yang kemudian diolah, dibandingkan. Lalu dianalisis menggunakan Konsep
Gini Stephens Frings bahwa busana tak lepas dari elemen desain yang
menyusunnya. Serta konsep dari Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani menyebut
beberapa kriteria busana muslimah, yaitu:
(1) menutup seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan,
(2) warna tak mencolok dan memancing perhatian, (3) bahan tebal, tidak tipis dan
transparan, (4) bentuk longgar, tidak ketat dan memperlihatkan lekukan, (5)
tidak diberi wangian, (6) pakaian tidak menyerupai pakaian lawan jenis, (7)
tidak menyerupai pakaian non-muslim, (8) pakaian tidak dimaksudkan untuk
sanjungan/popularitas.
Sampel yang digunakan dalam penelitian yakni populasi produk
Zoya terdiri dari kerudung instan (34 buah), tas tangan (4 buah), kerudung
helai (6 buah), perlengkapan (15 buah), selendang (3 buah). Populasi produk
Rabbani terdiri dari: kerudung (69 buah), dreslim (26 buah), busana kasual (29
buah), kemeja koko (66 buah), tunik (9 buah), kerudung anak (4 buah), setelan anak
(3 buah), mukena (4 buah). Sampel-sampel ini mewakili populasi.
Hasil penelitian menunjukan nilai fetisisme komoditas itu
ada pada kedua merk. Dari produk sampel yang diteliti ditemukan: 36,7% syariat dan
63,3% fetisisme komoditas. Dari dua produk itu, Zoya memiliki fetisisme
komoditas sebanyak 63,3% dan Rabbani sebesar 44,3%, yang berarti busana
muslimah yang dipasarkan lebih menonjolkan unsur moder serta penampilan fisik
dalam desainnya. Jurnal ini menyarankan agar para Muslimah bisa memilah dan
memilih kerudung yang sesuai dengan syariat. Tak hanya bagi pengguna, tapi juga
produsen yang memproduksi hijab. Seni dalam konteks busana tidak sekadar visual
semata, tapi juga mengandung makna, kebermanfaatan, dan nilai ibadah.
Quote:
"Sebuah karya seni rupa dan desain tidak sekedar wujud
visual semata, namun harus mengandung makna,bermanfaat dan memiliki nilai
ibadah (Rizali, 2010). Demikian halnya dalam penciptaan busana untuk muslimah
hendaknya para desainer dan produsen tidak hanya mengejar keuntungan dan hanya
menonjolkan aspek keindahan produk tanpa memperhatikan aspek fungsi busana
muslimah yang telah diatur dalam agama Islam."
"[p]roduk hijab (kerudung dan jilbab) yang diproduksi
oleh Zoya maupun Rabbani mengandung nilai fetisime komoditas. Produk hijab
(kerudung dan jilbab) Zoya maupun Rabbani tidak berbeda dengan produk tren mode
lainnya yang lebih mengutamakan aspek penampilan dan kecantikan para wanita
penggunanya."
Sukendro, G., Destiarman, AH., & Kahdar, K. (2016).
Nilai Fetisisme Komoditas Gaya Hijab (Kerudung dan Jilbab) dalam Busana
Muslimah. Sosioteknologi, 15(2),
241-254.
Sumber: https://journals.itb.ac.id/index.php/sostek/article/view/1384
#gatotsukendro #ahmadhaldanidestiarman #kahfiatikahdar
#sosioteknologi #ITB #FSRD