Kamis, 29 April 2021

Selasa, 27 April 2021

Kapitalisasi Islam Lewat Hijab

Hijab merupakan "tatacara berpakaian yang pantas" sesuai dengan agama. Menjadi dress code Islam, tertuang dalam QS Al-Ahzab: 59 dan An-Nur: 31. Istilah hijab merujuk pula kerudung populer awal 1980-an. Di berbagai negara bersinonim dengan burqa (Afganistan), abaya (Arab), Chador (Iran), tudung (Malaysia), purdah/niqab (Pakistan). Hijab sendiri dari bahasa Arab yang artinya tabir (penghalang), aurat perempuan seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan. Hijab telah ditentukan fungsi dan penggunaannya dalam syariat Islam.

Namun, fenomena hari ini telah terjadi pergeseran nilai fungsi hijab, alih-alih menutup aurat dan nilai relegiusitas, berkecenderungan mengeksploitasi pesona kecantikan bagi penggunanya. Hijab mengikuti mode adalah gaya busana zaman tertentu dan menjadi ekspresi zaman. Terlebih mode berkecenderungan sering berkiblat ke barat. Desain yang modis, colorfull, modern, dengan berbagai bahan, khususnya di kota besar. Hari raya agama jadi semacam festival dan pentas konsumsi; dirayakan oleh televisi, media sosial, dan pasar. Nyaris tiap hari terpapar iklan ini.

Kritik yang dilayangkan dalam penelitian ini adalah hijab dari yang awalnya bentuk kehormatan berubah menjadi tren budaya populer. Hijab kemudian mengandung konotasi fetis. Fetis berasal dari bahasa Portugsi, fetico, artinya daya pikat atau sihir yang terkandung dalam objek. Mengandung unsur jamal (keindahan batin) dan husn (keindahan zahir). Fetisisme: pemujaan akan sesuatu yang didorong atas kepercayaan tertentu yang menjerat manusia. Dalam konsep Marx, fetisisme komoditas adalah "sifat produksi komoditas dalam sistem kapitalis." Bukan hanya sebagai nilai guna, tapi juga daya pesona. Dia memberi kualitas yang menggoda meski di sisi lain menutupi asal tenaga kerja.

Fetisisme komoditas ini yang menyuburkan konsumerisme dan kapitalisasi Islam. Ibrahim (2009) memaknai kapitalisasi Islam sebagai "penaklukan semangat keagamaan oleh pasar, bisnis, dan kapitalisme." Bukan konsumerisme yang memenuhi kebutuhan, tapi konsumerisme menyimpang yang tidak menurut kebutuhan, menekankan pada barang/materi sebaga ukuran prestise, gengsi, dan kebahagiaan. Cantik tak sekadar fisik lagi, tapi memakai brand yang diiklankan.

Diperkuat dengan eksploitasi yang diakukan di media massa melaui ilusi penggunaan tubuh (libidinal power) dan segenap sensualitasnya untuk menarik perhatian. Yang dalam hal ini dimonopoli oleh artis, model, figur publik hedon, dll. Digambarkan dengan busana menjadi kulit sosial yang mencerminkan gaya hidup dan pesan pada seseorang. Gaya hidup menunjukkan pula bagaimana seseorang mengatur hidup pribadinya, cara berperlikau di publik, terkait piliham, kebiasaan, sistem nilai, dan pembedaan status dengan yang lain.

Objek penelitian ini adalah hijab merek Rabbani dan Zoya, memakai metode kualitatif, dan dianalisis dari kacamata fetisisme komoditas. Data tak cuma angka, tapi juga gambar dan naskah dari buku, majalah, internet, wawancara yang kemudian diolah, dibandingkan. Lalu dianalisis menggunakan Konsep Gini Stephens Frings bahwa busana tak lepas dari elemen desain yang menyusunnya. Serta konsep dari Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani menyebut beberapa kriteria busana muslimah, yaitu:

(1) menutup seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) warna tak mencolok dan memancing perhatian, (3) bahan tebal, tidak tipis dan transparan, (4) bentuk longgar, tidak ketat dan memperlihatkan lekukan, (5) tidak diberi wangian, (6) pakaian tidak menyerupai pakaian lawan jenis, (7) tidak menyerupai pakaian non-muslim, (8) pakaian tidak dimaksudkan untuk sanjungan/popularitas.

Sampel yang digunakan dalam penelitian yakni populasi produk Zoya terdiri dari kerudung instan (34 buah), tas tangan (4 buah), kerudung helai (6 buah), perlengkapan (15 buah), selendang (3 buah). Populasi produk Rabbani terdiri dari: kerudung (69 buah), dreslim (26 buah), busana kasual (29 buah), kemeja koko (66 buah), tunik (9 buah), kerudung anak (4 buah), setelan anak (3 buah), mukena (4 buah). Sampel-sampel ini mewakili populasi.

Hasil penelitian menunjukan nilai fetisisme komoditas itu ada pada kedua merk. Dari produk sampel yang diteliti ditemukan: 36,7% syariat dan 63,3% fetisisme komoditas. Dari dua produk itu, Zoya memiliki fetisisme komoditas sebanyak 63,3% dan Rabbani sebesar 44,3%, yang berarti busana muslimah yang dipasarkan lebih menonjolkan unsur moder serta penampilan fisik dalam desainnya. Jurnal ini menyarankan agar para Muslimah bisa memilah dan memilih kerudung yang sesuai dengan syariat. Tak hanya bagi pengguna, tapi juga produsen yang memproduksi hijab. Seni dalam konteks busana tidak sekadar visual semata, tapi juga mengandung makna, kebermanfaatan, dan nilai ibadah.

Quote:

"Sebuah karya seni rupa dan desain tidak sekedar wujud visual semata, namun harus mengandung makna,bermanfaat dan memiliki nilai ibadah (Rizali, 2010). Demikian halnya dalam penciptaan busana untuk muslimah hendaknya para desainer dan produsen tidak hanya mengejar keuntungan dan hanya menonjolkan aspek keindahan produk tanpa memperhatikan aspek fungsi busana muslimah yang telah diatur dalam agama Islam."

"[p]roduk hijab (kerudung dan jilbab) yang diproduksi oleh Zoya maupun Rabbani mengandung nilai fetisime komoditas. Produk hijab (kerudung dan jilbab) Zoya maupun Rabbani tidak berbeda dengan produk tren mode lainnya yang lebih mengutamakan aspek penampilan dan kecantikan para wanita penggunanya."

Sukendro, G., Destiarman, AH., & Kahdar, K. (2016). Nilai Fetisisme Komoditas Gaya Hijab (Kerudung dan Jilbab) dalam Busana Muslimah. Sosioteknologi, 15(2), 241-254.

Sumber: https://journals.itb.ac.id/index.php/sostek/article/view/1384

#gatotsukendro #ahmadhaldanidestiarman #kahfiatikahdar #sosioteknologi #ITB #FSRD

Senin, 26 April 2021

26 April 2021

Aku ingin mengurus diri

Aku ingin mengurus diri

Aku ingin mengurus diri

Aku ingin memperbaiki diri

Aku ingin merawat diri

Itu saja

Itu saja

Itu saja

Allah

Minggu, 25 April 2021

25 April 2021

 Ya, I think that in few times I'm much talking bullshit, instead of to be like Akeboshi or maybe Kevin Parker. I'm a carnaval man type by the way, wkwkwk, nope. But that very certain, I'm loving art. I learned from the founder of Sharjah Art Foundation, Sheika Hoor Al Qasimi. She said that:

"I worked day and night, 20 hours a day, seven days a week. I had a nerveous breakdown afterward because I was exhausted. But it was something I had to do."

"I've always been active mentality, and want to do and learn things. I feel a lot of reward in what I do. I'm exhausted, but it's worth it."

"My parents pushed us to learn languages and see the world. That was always part of our upbringing."

The fate of a workaholic. Hm....

Secukupnya: Tak Terlalu Diam, Tak Terlalu Cerewet

Aforisma berlebih-lebihan itu tidak baik diterima dalam banyak budaya dan agama. Perilaku untuk bersikap tidak berlebihan (sedang) juga dianggap lebih imperatif-praktikal. Studi inilah yang dipelajari dalam efek Too-Much-of-a-Good-Thing (TMGT).

Efek TMGT menurut Pierce dan Aguinis (2013) terjadi ketika titik kebermanfaatan berbelok dari hubungan yang diinginkan menjadi tidak lineier dan positif. Meskipun jika dalam organisasi ini lebih kompleks lagi karena adanya identifikasi organisasional, kepercayaan, tim, otonomi, tingkat moral, dll.

Efek TMGT ini beririsan dengan pendekatan organization citizenship behavior (OCB). Menurut Organ (1988), OCB diartikan sebagai perilaku individu yang bebas memilih berdasarkan kebijaksanaannya, yang secara langsung atau tidak langsung menciptakan efektifnya fungsi organisasi. Perilaku positif dalam berorganisasi salah satunya yaitu tindakan prososial.

Prososial sendiri diartikan sebagai tindakan menolong orang lain (atau dalam lingkup luas membantu organisasi) tanpa peduli dengan motif orang yang menolong; tindakan yang menguntungkan orang lain dan mengesampingkan motif diri sendiri; seperti kerjasama, berderma, berbagi, membuat perdamaian, dll.

Jurnal ini ingin mengetahui apa efek dari "keheningan prososial" dan "suara prososial" pada perilaku seseorang terhadap organisasi. Kerangka teori yang digunakan adalah "Too-Much-of-a-Good-Thing". Metode yang digunakan yaitu kuesioner dari tiga univerisitas dengan jumlah responden 381 orang (313 pria dan 68 perempuan). Universitas yang dipilih berada di Pakisan dan berkategori tengah, tidak terlalu top dan tidak pula under.

Tindakan keheningan prososial (prosocial silence) dimaknai sebagai tindakan seseorang menahan pendapat, ide, informasi, terkait dengan pekerjaan yang tujuannya memberi manfaat bagi organisasi atau orang lain dengan semangat altruisme atau motif kooperatif.

Sedangkan prososial suara (prosocial voice) kebalikan dengan prosocial silence, tindakan mengekspresikan pendapat, ide, informasi berdasarkan motif kooperatif. Di mana tindakan ini menantang status-quo, risiko pribadi, hingga repersekusi.

Hasil menunjukkan pola yang dihasilkan melengkung daripada linier. Keikutsertaan organisasi yang lebih buruk ditunjukkan karena adanya suara dan keheningan prosial yang terlalu sedikit atau terlalu banyak. Yang berarti, seseorang yang terlalu pendiam atau terlalu banyak bersuara berkaitan dengan keikutsertaan dalam organisasi yang jelek.

Shahjehan, A., & Yasir, M. (2017). Too-Much-of-a-Good-Thing effect of Prosocial Silence and Voice. Makara Hubs-Asia, 21(2), 105-112.

Sumber: http://hubsasia.ui.ac.id/old/index.php/hubsasia/article/view/3505

#asadshahjehan #muhammadyasir #makarahubs-asia #UI #prosocial #prosicialsilence #prosocialvoice #organisasi #managemen

Sabtu, 24 April 2021

24 April 2021

明星 嘉男

Hai Ake, mungkin aku lebih harus belajar banyak lagi dari kamu. Terlebih bagaimana cara menyembunyikan yang baik, bagaimana menghadapi gemuruh yang meraung dalam diri, bagaimana menjadi tenang, bagaimana tetap elegan. Paling tidak, aku pernah tahu, kamu pernah mengalami fase hidup yang tak antusias, kebingungan, kalut, gaduh, "Oh, lihatlah mataku, lihatlah mataku, ketika kita saling bersinggungan." Seperti katamu itu, semua dunia bisa kupikirkan. Oh, benar sekali, aku ingin mengatakan hal-hal dan perasaan yang tak bisa kukendalikan. Dan pasti, ketika kita bersama akan lebih baik. Oh, wajah tenangmu bercahaya. Sungguh. Saat perasaanku kacau, aku ingin lebur di matamu saja. Paling tidak, di lagumu saja deh, hehe.

Harga Diri, Body Image, dan Presentasi Diri di Instagram

Cyberspace adalah kenyataan sehari-hari. Cyberspace merupakan tempat yang punya tempat, jarak, luas, dan arah (Bryant, 2001). Cyberspace yang jamak digunakan adalah medsos, meski di sisi lain medsos menjadi kambing hitam dengan berbagai dampaknya: adiksi, ensaeti, konsumtif, dilema jauh-dekat, dll. Orang mengalami online disinhibition, yaitu hilangnya cemas atau malu ketika berkomunikasi di internet. Orang jadi tidak ragu, even ketika itu melecehkan.

Penelitian yang dilakukan oleh Lalu dan Neila ini memiliki tujuan untuk mengetahui faktor psikologis apa saja yang mempengaruhi perilaku seseorang di internet. Sampel terdiri dari 389 pengguna Instagram (283 perempuan, 106 laki-laki) mealui metode kuisioner online dengan alat ukur: skala harga diri, skala body image, dan skala online self-presentation. Metode analisis yang digunakan: Multiple Linear Regresion Analysis dengan alat bantu SPSS.

Menurut Branden (2001), harga diri berkaitan dengan bagaimana seseorang menghargai dirinya sendiri. Merupakan penilaian dan penghakiman seseorang atas dirinya sendiri secara keseluruhan, dari yang negatif sampai positif. 

Harga diri menurut Tafarodi dan Swann (2001) punya dua dimensi: (1) self-competence/kompetensi diri, bagaimana seseorang melihat kemampuannya sendiri apakah dia kompeten atau tidak, (2) self-liking, apakah seseorang itu menyukai dirinya atau tidak, apakah seseroang memandang dirinya sebagai orang yang baik atau buruk, yang ini berkaitan dari penilaian sosial serta bagaimana seseorang mengartikan penilaian itu.

Harga diri ini bersangkutan dengan online self-presentation, merupakan usaha-usaha menimbulkan kesan pada orang lain secara online yang didorong oleh berbagai motif--sekaligus upaya untuk mempengaruhi orang lain. Presentasi secara online ini diseleksi, dan sebagaimana panggung punya panggung depan dan panggung belakang. Itu kenapa perilaku di dunia maya dan nyata yang beda.

Di medsos orang bisa memilih self-presentation seperti apa yang ingin dia tunjukkan pada teman/follower-nya, yang ini berasal dari "ideal diri" yang orang itu miliki. Ketika ditunjukan dapat meningkatkan harga diri orang itu. Self presentation yang paling umum adalah ingin terlihat baik oleh orang lain. Ditambah medsos yang tak terlibat (invicible), menciptakan imajinasi dan proyeksi pada masing-masing orang terkait bagaimana sosok lawan bicara dia (wajah, intonasi, dll).

Faktor-faktor online self-presentation:

(1) Lima bentuk self-presentation dari Jones dan Pittman (1982): (a) ingratiation, upaya yang disukai orang lain seperti humoris, bersahabat, hangat; (b) intimidation, kebalikannya, upaya kesan berkuasa dan berbahaya; (c) self-promotion, kesan bahwa seserang kompeten akan suatu hal; (d) exemplification, kesan seseorang baik hati; (e) supplification, kesan dirinya lemah dan menampilkan kelemahannya ke orang, dia berharap ada yang simpati.

(2) Popularitas, intensitas menggunakan medsos berbanding lurus dengan harga diri. Orang yang berharga diri rendah memakai medsos agar dirinya diterima di lingkungan sosialnya, orang yang berharga diri tinggi memakai medsos untuk mendukung popularitas.

(3) Harga diri, sikap positif atau negatif terhadap diri. Orang yang berharga diri rendah cenderung ingin menaikkan harga diri lewat medsos.

(4) Body image,  suatu persepsi dan sikap seseroang akan tubuhnya sendiri dalam hal penampilan fisik. Berhubungan pula dengan norma-norma sosial, penilaian orang lain, dan kepuasan seseroang akan kualitas dirinya sendiri. Di dunia internet dengan berbagai fitur suntingnya menghadirkan kemudahan menampilkan citra diri.

Hasil penelitian menunjukan, ada hubungan positif antara harga diri dan body image terhadap online self-presentation. Hasil bertolak belakang dengan hasil penelitian Mehdizadeh (2010) bahwa orang yang sering update status, unggah foto, mencatat, yang intensitasnya tinggi memiliki harga diri yang rendah. Penelitian ini menunjukan kebalikannya, “individu dengan harga diri rendah cenderung memilih dunia internet untuk meningkatkan harga dirinya.” Di mana saya melihat sisi lain pula yang penting bahwa, Instagram tak cuma personal, tapi juga bisnis, pularitas, dan endorse.

Quote:

"[h]ipotesis penelitian yang diajukan adalah semakin tinggi harga diri dan semakin tinggi body image, maka akan semakin rendah online self-presentation. Semakin rendah harga diri dan semakin rendah body image, maka akan semakin tinggi online self-presentation."

"Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa online self-presentation dapat diprediksi berdasarkan harga diri dan body image... harga diri rendah justru menjadi prediktor online self-presentation yang rendah... penelitian ini membuktikan bahwa semakin tinggi harga diri dan body image individu, atau semakin baik penilaian seseorang terhadap dirinya dan penampilan fisiknya sendiri, maka online self-presentation individu tersebut juga menjadi semakin tinggi, atau dalam artian semakin sering ia mengunggah foto tertentu pada instagram."

Rozika, Lalu Arman & Ramdhani, Neila . (2016). Hubungan antara Harga Diri dan Body Image dengan Online Self-Presentation pada Pengguna Instagram. Gadjah Mada Journal of Pshychology, 2(3), 172-183.

Sumber: https://jurnal.ugm.ac.id/gamajop/article/view/36941

#instagram #mediasosial #hargadiri #self-esteem #bodyimage #selfpresentation #psikologi #cyberspace #gadjahadajournalofpsychology #laluarmanrozika #neilaramdhani

Jumat, 23 April 2021

23 April 2021

Tadi pagi aku bangun disambut dengan tanaman yang berdiri cantik di depan mataku. Sirih Gading memang sengaja kutanam sebanyak tiga vas, salah satunya sangat dekat dengan bantal, tempatku tidur. Ada rasa yang aneh, serupa kebahagiaan yang begitu murni ketika melihat mereka saat aku bangun. Lalu aku punya ide, kelak, ketika aku punya tempat menetap yang tak pindah-pindah lagi, aku ingin menaruh tanaman-tanaman yang kusuka di dekat tempat tidurku, yang letaknya tak jauh dari bantalku. Salah satunya adalah bunga peace lily putih. Tak perlu rimbun, cukup satu atau dua bunga dengan batang panjang, dengan jumlah daun yang pantas, aku akan senang. Bunga lain yang kusuka adalah melati dengan bau aslinya yang harum alami. Untuk bisa menanamnya dalam ruangan, kalau aku diberi kesempatan membangun rumah pula, aku ingin punya jendela yang lebar sehingga matahari bisa masuk untuk suplai cahaya bagi melati-melatiku. Aku menyadari lagi kalau sebenarnya aku suka dengan bunga-bunga berwarna putih. Dan aku berdoa, semoga suatu hari nanti aku berjodoh dengan pasangan yang mencintai tanaman. Pasangan yang sehobi, seselera, seprofesi akan lebih baik, sehingga kita berdua bisa bekerja sama menciptakan karya, dunia, dan cerita. Bersamanya aku merasa pas dan pantas. Dia memiliki sifat tanaman, baik dalam suka dan duka menjadi sahabatku yang konstan dan stabil. Tanaman yang hakikatnya selalu tumbuh, dan aku bersedia merawat dengan baik. Tuhan, ini tidak terlalu muluk-muluk. Tidak pula terlalu tinggi. Kumohon.

Rabu, 21 April 2021

Saluran Penciptaan Reproduksi Sosial

Awal debat terkait nilai reproduksi sosial terjadi pada 1972 oleh tulisan Selma James dan Maria Rosa Dalla Costa berjudul “The Power of Women and the Subversion of the Community”; suatu pamflet dan narasi politis yang berfokus pada pekerjaan rumah tangga yang tak digaji. Di mana kapitalisme melakukan generasi dan regenerasi, baik secara biologis maupun sosial. Leopold Fortunati bahkan menyoroti tidak hanya pekerjaan rumah tangga, tapi juga kerja seks menjadi kerja reproduktif dalam skema produktivis. Hal yang luput oleh pengamatan para Marxian ortodoks.

Diskursus lainnya, Federici lewat “Caliban and Witch” menganalisis akumulasi primitif sebagai proses yang menimbulkan perampasan, devaluasi, dan domestifikasi perempuan. Dia mengamati kondisi kerja perempuan dan laki-laki koloni sebelumnya selama fase fordist dan post-fordist. Dan menunjukkan bagaimana kapitalisme pertama kali membangun perampasan imperial dan kolonialnya.

Sedangkan sosiologis feminis Jerman, Maria Mies, lewat analsisinya dalam “Leacemakers of Narsapur” di India (1982) menghilangkan mitologi nilai hanya sebagai hasil dalam dunia produktif. Di mana proses housewifisation secara sistematis mengaburkan nilai dan menghalangi perempuan secara produktif berkontribusi pada pasar, karena kerjanya tanpa nilai produksi.

Dalam artikel ini Alessandra menguliti ulang terkait Teori Reproduksi Sosial/Social Reproduction Theory (SRT) yang disalahpahami dengan berbagai logika, termasuk oleh para feminis radikal. Awal analisis reproduksi sosial dasarnya berpremis pada pekerjaan rumah tangga, lalu fokus meluas hingga kurangnya upah. Hal ini mendapat kritikan dari para Marxian, karena menyamakan antara faktor produktif dan upah sebagai hal yang sinonim. Sirkuit perawatan (care) yang mereproduksi pekerja sebagai penghubung, berbeda dengan modal dan penciptaan-nilai. Reporoduksi sosial dan perawatan tidaklah sinonim sebagaimana analisis dari feminis liberal. Ditambah patriarki dan kapitalisme bukanlah sistem yang bertentangan.

Di sisi lain, geografi selalu berpengaruh terhadap logika yang dimilikinya. Scholar yang mendalami SRT kebanyakan fokus pada Eropa dan Amerika Utara, terkait bagaimana institusi dan arsitektur kapitalis bertranformasi selama masa neoliberal, yang mencipakan relasi trayektori di berbagai wilayah.

Analisis yang dilakukan oleh Alessandra berpendapat bahwa pemahaman aktivitas dan ranah reproduksi sosial sebagai pemroduksi nilai dapat mengembangkan pemahaman kita terkait hubungan buruh pada masa kapitalisme kontemporer. Menurutnya, aktivitas dan ranah reproduktif berkontribusi terhadap proses penciptaan nilai melalui tiga saluran:

(1) Penguatan pola kontrol buruh secara langsung sehingga angka eksploitasi meluas. Faktor ini terlihat dalam kontrol yang melebihi waktu kerja, sebagaimana terjadi di Vietnam, China, Republik Ceko, India, dengan adanya asrama atau perumahan industrial yang memperluas kontrol buruh. Di sini, antara kerja dan waktu reproduktif jadi kabur, reproduksi sosial menjadi terindividualisasi dan masuk dalam proses penciptaan nilai.

(2) Menyerap eksternalisasi sistematis biaya reproduksi. Ranah reproduksi sosial dan aktivitasnya secara langsung berkontribusi terhadap penciptaan nilai lintas pabrik global. Lewat penyerapan secara sistemik eksternalisasi biaya reproduksi sosial yang secara de facto mensubsidi modal.

(3) Proses subsumsi formal tenaga kerja yang tetap endemik di sebagian besar dunia. Aktivitas dan ranah reproduksi sosial secara langsung menggantikan nilai melalui proses ekspansi subsumsi (subsumption) formal buruh. Membuat kemungkinan fragmentasi dan dekomposisi buruh di seluruh dunia. Analisis ini referensinya dari Sweatshop Regime.

Konsep ini meluas ke kerja informal dan penginformalisasian. Mayoritas rakyat di planet ini berada dalam ekonomi informal. Data ILO, 85,8% total pekerja di Afrika, 71,4% di Asia dan Pasifik, 68,6% di Negara Arab, dan 53,8% di Amerika adalah pekerja informal. Atau hampir 2/3 dari pekerja di seluruh dunia adalah informal.

­Di India sendiri, berdasarkan penelitian dari Barbara Harriss-White dan Nandini Gooptu, para pekerja informal di India dan tempat lain tidak banyak terlibat dalam perjuangan kelas, karena mereka masih memperjuangkan hal lain, yaitu "perjuangan memperebutkan kelas". Mereka berjuang untuk diakui sebagai kelas pekerja lalu mengembangkan kesadaran kelas mereka sendiri.

Quote:

“Specifically, this analysis argues that reproductive realms and activities contribute to processes of valuegeneration through three channels: first, by directly reinforcing patterns of labour control, expanding rates of exploitation; second, by absorbing the systematic externalisation of reproductive costs by capital, working as a de-facto subsidy to capital; and, third, through processes of formal subsumption of labour that remain endemic across the majority world.”

"In fact, reproductive activities and realms play a key role in shaping such relations and in the processes of surplus extraction they are embedded in, particularly, (albeit not only), developing regions; that is, in the ‘majority world’."

"Geography always matters for the ways in which we explore the world and interpret its logics."

"[s]ocial reproduction realms and activities are directly crucial to the structuring of processes of labour surplus extraction; expand rates of exploitation; and hence build (exchange) value."

Alessandra Mezzadri, (2019), On the value of social reproduction: Informal labour, the majority world and the need for inclusive theories and politics, Radical Philosophy 2.04, 33-41.

Sumber: https://www.radicalphilosophy.com/wp-content/uploads/2019/04/radical_philosophy_2_04_mezzadri-on-the-value-of-social-reproduction.pdf

#alessandramezzadri #socialreproduction #theory #informallabor #informaleconomy #SOAS #sweatshopregime

Rabu, 14 April 2021

Aspek Kerja, Karya, dan Tindakan pada Pekerja Lepas

1938, Bertrand Russell pernah bilang, masalah kerja akan diselesaikan oleh tiap-tiap generasi dengan alat (teknologinya) sendiri-sendiri. Berbeda dengan cara pandang Russel, penelitian yang dilakukan oleh Hoedemaekers ini menggunakan konseptualisasi dari Hannah Arendt terkait The Human Condition pada pekerja lepas (freelancer). Riset kualitatif ini diambil dari tiga negara: UK, Jerman, dan Belanda dengan jumlah wawancara sebanyak 30 (18 perempuan, 12 laki-laki) yang rata-rata berumur 30-45 tahun. Peneliti menganalisa studi kasus dari pekerja freelancer melalui gagasan mereka terkait karya (labour), kerja (work), dan tindakan (action).

Arendt membedakan aktivitas manusia menjadi tiga hal (vita activa): labour, work, dan action. Labour (karya) berkaitan dengan reproduksi kehidupan, keinginan bertahan hidup, dan berkaitan dengan kebutuhan biologis. Seperti dalam rumah tangga, berburu, menamam, menyiapkan makan, dan sebagian besar dianggap sebagai aktivitas domestik. Labour menyesuaiakn ritme biologis tubuh. Hasilnya cepat dinikmati. Manusia sebagai animal laboran. Sedang work (kerja) merupakan suatu aktivitas dengan tujuan membangun dunia, proses perbuatan objek yang berguna, dan aktualisasi diri sebagai homo faber, menciptakan sesuatu untuk mempermudah dirinya dan bersifat instrumentalis, seperti aktivitas menulis, dll, berasosiai dengan pengkaryaan. Dan action (tindakan) yang merupakan ekspresi dari ruang publik, yang bangkit, bergerak, dan dikomunikasikan bersama.  Action ini yang melahirkan suatu natalitas. Dia masuk dalam lingkup kehidupan publik, komunitas, dan politik. Tindakan menjadi aspek tertinggi dalam kehidupan manusia.

Di sisi lain, salah satu aspek kunci dari kerja freelance adalah jaringan yang diciptakan dari koneksi dan klien potensial. Inilah bahan bakar modal sosial yang menciptakan hubungan kerja yang stabil. Lalu aspek penting lainnya adalah co-working yang merujuk pada pekerja mandiri yang saling berbagi ruang fisik dan fungsi sosial mereka. Standworth dan Standworth (1995) mengklasifikasikan freelancer menjadi beberapa kelompok: pengungsi (karena mereka tak punya ruangan untuk kerja), misionaris (menjadi freelance karena pilihan), dan trade-offs (freelance karena keadaan di luar kerja). Lalu Fraser dan Gold (2001) menambahnya jadi empat, yang keluar dari kerja freelance tapi masih tetap di sana karena pilihan.

Yang saya tangkap dari jurnal ini, antara karya, kerja, dan tindakan dalam pekerjaan freelance jadi sangat blur (samar). Sebab satu orang bisa bekerja, berkarya, dan bertindak banyak hal sekaligus. Di satu sisi mereka harus membangun portofolio, reputasi, dan jaringan yang kuat dalam lingkaran mereka. Meski yang kadang mengenaskan, misal digaji 100 euro, uang itu kadang habis hanya untuk kebutuhan "relasi"-nya saja. Mengingat, relasi menjadi kunci dari semua pekerjaan freelance.  

Kutipan:

"Labour is bound by its cyclicality and work by its linearity, but action has the capacity for natality, giving birth to new forms of life. It is also the realm in which human beings can generate a sense of being together, outside of the binding strictures of consumption or production, given that what defines action is its abandonment of utilitarianism in favour of a search for meaning."

“To present their labour power in the marketplace, freelance workers rely on having and maintaining both a strong portfolio and a good reputation. To obtain these, they navigate different fundamental human activities with contrasting underlying ends. Presenting oneself clearly in the market involves deeper underlying ends of subsistence, fabrication and community.”

Hoedemaekers, Casper. (2020) ‘Selling themselves’ conceptualising key features of freelance work experience. Culture and Organization, 1-20.

Sumber: https://doi.org/10.1080/14759551.2020.1833206

Minggu, 11 April 2021

11 April 2021

Dan jika aku merasa sangat sedih, aku tahu kemana harus kembali. Aku paham lingkaranku yang itu-itu saja; dan lagu-lagu Akeboshi menghiburku lebih dari apa pun kadang. Mungkin aku akan lebih lama lagi mendengarkan Tiny Rainbow, Yellow Moon, Quiet Garden, VET, Peruna, Usual Life, sambil menitikan air mata setitik di sudut alis. Tak tahu apa yang harus disedihkan, tapi bukannya hobiku adalah menangis tanpa sebab sejak dulu? Oh tidak, aku tak pernah membenci orang, aku cukup punya sense of tolerance akan perilaku manusia dari latar belakang yang dialaminya. Tapi seriously, mendengarkan Akeboshi selalu membawaku ke dalam diriku sendiri. Dan aku tak butuh validasi dari siapa pun.

Oh, hai, beberapa bulan ini aku ada kemajuan dalam hal komunikasi. Aku kenal dengan seseorang laki-laki. Kami berbeda agama, kami pernah main cukup jauh di sebuah tempat sampai nyasar, haha. Kami bermain di pantai, dia sabar dan tipe orang yang tak banyak bicara--sama sepertiku. Baik, sopan, halus, dan jiwanya cukup laut mungkin. Dia menasehatiku untuk lebih rajin menghubungi orangtua. Untuk jangan lupa basa-basi dan berani mengungkapkan pendapat pada orangtua. Orangtua butuh diperhatikan, digojeki, dan dikangeni. Ya, (barangkali) kami mencoba untuk saling memahami.