-Adagio backsong-
Saya tidak tahu, tangan apa yang
bisa membuat saya sampai ke tempat ini? Bagaimana mulanya, bagaimana kajian
epistemologisnya? Saya hanya terharu bahwa sekarang saya masih hidup dan sebisa
mungkin hidup saya bukan menyoal diri saya tapi menyoal orang lain.
Pertemuan saya dengan Efek Rumah
Kaca dan Payung Teduh, Sabtu (14 November 2015) kemarin mencoba mengajak saya
akan refleksi hidup saya sendiri. Saya baru kenal dua band ini saat di Jogja,
karena mungkin mereka tidak sering masuk TV— makanya dulu saya tidak tahu.
Karena menyoal “musik” kebanyakan orang yang ditahu cuma yang ada di TV. Begitu
sempit hidup.
Lagi-lagi, yang memperkenalkan
saya dengan dua band alternatif ini adalah para elemen LPM Arena. Payung Teduh
pertama kali saya mengenalnya di Vila Bella Plaza, Kaliurang. Tempat saya
dan teman-teman di upgrading jadi
anggota resmi Arena 2013. Pas di vila itu, Mas Jamal lagi nulis esay sambil
memutar musik, saya tak tahu yang nyanyi siapa. Saya mendengarnya kok enak di
telinga, ada instrument berbeda dari grup ini. Musiknya lembut dan sesuai
dengan kepribadian saya yang melankolis. Saya hanya menghafal beberapa lirik
lagunya yang menurut saya puitis dan mengena. Saya masih ingat pararara… pararara… aku ingin berjalan
bersamamu di antara daun gugur… Singkat cerita berproses, saya mendengar
lagu-lagu ini lagi di sekret, terjawab sudah yang nyanyi Payung Teduh. Yah,
sesuai namanya, musiknya bikin teduh.
Efek Rumah Kaca (ERK) ini yang
lebih unik. Saya kenal ERK dari sebuah kontradiksi. Belum lama ini, di tahun
2015, saat itu siang, di sekret Arena. Di Arena sedang lumayan ramai karena
teman-teman Teater Eska kayak Mas Bedil main. Nah, Mas Sabiq entah siapa nyetel
lagu dari komputer Arena yang diteruskan ke sound yang kondisinya sekarang
angin-anginan (kadang bunyi, kadang enggak). Lagu yang menurut saya liriknya
aneh, nyeleneh, edan, out box semacamnya. Masak saya dengar
begini:
….jatuh cinta itu biasa saja…. (sebagai orang yang jatuh cinta,
saya dengar lirik ini kayak di-knock out)
….gelap adalah teman yang setia…. (serasa hidup saya sekali, hha)
Saya langsung curious siapa ini yang nyanyi? Band aneh
mana lagi ini? Mas Bedil, Mas Jamal, Mas Sabiq pada hafal lagi, kok asik ya.
Ini baru terjawab agak lama, saat malam sepi di Arena. Seseorang, sebut Si
James nyetel lagu dari komputer. Trus
James pergi dan yang tersisa di Arena cuma saya. Lalu saya lihat komputer Arena
musik siapa yang diputar: oh yang nyanyi
Efek Rumah Kaca.
Saya langsung semangat copas dan mendengarnya di kos. Brengsek!
Seperti halnya saya kenal dengan Sisir Tanah, liriknya kritis, liyan, puitis,
dan menggugah kesadaran. Saya kenal band yang "berisi" (versi saya) lagi. Yang
liriknya saya banget dan tiap dengarin itu saya merasa punya teman. Di antara
24 lagu ERK yang saya punya, sekitar sebulan saya hampir menghafalnya semua. Bahkan
ke-24 lirik lagunya, dalam rangka observasi proses kreatif buat puisi, saya
catat, saya tulis ulang di buku. Semua lagu saya suka semuanya, tapi yang
paling saya suka yang “Debu-debu Berterbangan” dan “Balerina”.
Jujur, saya tidak mencari hal-hal
privasi dari ERK dan Payung Teduh. Bahkan saya tidak hafal semua personelnya.
Yang saya ingat, vokalis ERK namanya Mas Cholil (personel lainnya saya tidak
tahu). Kalau vokalis Payung Mas Is (ah, kok sama kayak panggilan saya, haha). Meski
begitu saya khatam dengan lagu-lagu mereka. Saya mencintai mereka karena
kontribusi mereka untuk orang lain, khususnya penikmat musik Indonesia.
Musik ERK, bagi saya pribadi
menyimpan semacam revolusi bagi kaum
marjinal. Seseorang yang disingkirkan dari lingkungannya kayak di lagu Sebelah Mata, Jalang, Di Udara, dan
tentang eksistensi yang pudar dalam
Tubuhmu Membiru Tragis. Atau lagu para kaum urban seperti di lagu Banyak Asap Di Sana dan Belanja Terus Sampai Mati .
Banyak juga lirik-liriknya yang
berkisah tentang malam, bahkan hampir semua menurut saya suasananya malam, tapi yang paling
kentara ada dalam lagu Insomnia dan Melankolia. Atau tentang filosofi
memaknai hidup dan bagaimana hidup itu berjalan dalam Balerina, Debu-debu Berterbangan, Desember, Kamar Gelap, Hujan Jangan
Marah.
Atau lagu kritik terhadap
fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar kita seperti dalam lagu Mosi Tidak Percaya, Efek Rumah Kaca, Menjadi
Indonesia, Kenakalan Remaja di Era Informatika. Juga yang paling dalam
tentang cinta yang aneh, yang beda dari kebanyakan orang, cinta alternatif,
kayak di lagu Jatuh Cinta Biasa Saja, Kau
dan Aku Menuju Ruang Hampa, Lagu Kesepian, Lelaki Pemalu, atau lagu para
LGB (Lesbi, Gay, Bisek) di Bukan Lawan
Jenis.Yah, saya suka ERK.
Jika Payung Teduh, lagu-lagunya
mengajarkan saya tentang perspektif cinta yang substil dan dewasa. Bukan lagu
cinta pop yang denotatif. Payung Teduh itu bagi saya bersayap dan romantis, lihat
saja dalam lagu Berdua Saja, Untuk
Perempuan yang sedang dalam Pelukan. Juga lagu tentang kekecewaan tapi
masih ada harapan atau sesuatu yang menyentuh kenangan Resah, Angin Pujaan Hujan, Cerita tentang Gunung dan Laut, Kucari Kamu,
Tidurlah, atau dalam lagu Kita Adalah
Sisa-sisa Keikhlasan yang Tak Diikhlaskan.
Dan Sabtu malam minggu (14/11),
saya dan kamerad saya Anis pergi berdua ke konser Gelar Karya & Budaya
Mechanical Project, mahasiswa-mahasiswa Teknik Mesin
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Konsernya diadakan di sportorium UMY. Kami
duduk di kursi festival, karena tiketnya paling murah (30K). Kami diberi gelang
kertas kayak naik kapal gitu atau mau masuk ke wahana rekreasi mana gitu. Saat
itu saya juga bawa kamera Arena, dikenai pajak 15K yang itu bagi mahasiswa pas-pasan seperti saya mahal.
Acaranya dipandu oleh Selososelo.
Ada tarian adat dan stand up comedy juga.
Lalu yang dinanti-nanti tiba. Yeah, Payung Teduh membuka malam itu dengan lagu Kucari Kamu, pas lihat Mas Is, ah beda
banget sama musiknya. Rambutnya gondrong, suaranya cetar, dan khas Is banget.
Dilanjut
lagu-lagunya yang lain yakni Perempuan
yang Sedang dalam Pelukan, Angin Pujaan Hujan, Tidurlah, Kita Adalah Sisa-sisa Keikhlasan
yang Tak Diikhlaskan, Resah, ditutup lagu yang liriknya Menuju Senja, Payung Teduh… harum mawar di taman, menusuk ke dalam sukma
dan menjadi tumpuan rindu cinta bersama di sore itu menuju senja….
Lalu detik-detik yang saya
tunggu, “Efek Rumah Kaca”! Allahu Akbar!!! Lagu pembukanya langsung Debu-debu Berterbangan… saya mendadak
agamis dan ingat mati.
“Demi masa, sungguh kita tersesat,
membiaskan yang haram karena kita manusia
Demi masa, sungguh kita terhisap, ke dalam
lubang hitam, karena kita manusia
Pada saatnya nanti, tak bisa bersembuyi
Kita pun menyesali kita merugi
Pada siapa mohon perlindungan
Debu-debu berterbangan…”
-Atomos. Al 'Ashr-
Pas ERK main, posisi saya sudah
VVVIP (Very-very-very Important Person), di pertengahan Payung Teduh main saya
sudah merangsek ke depan panggung sendirian bersama kamera saya bareng beberapa
fotografer yang lain.
Sayangnya, di sana nggak ada
kesempatan buat jingkrak-jingkrak karena model panggung dan penontonnya dibuat
kursi-kursi bernomor dan berkelas gitu. Padahal lagu-lagunya ERK asik buat
jingkrak-jingkrak. Nggak bisa rock and roll.
Alhasil saya menggilanya sambil
duduk badan gerak-gerak semua. Mas-mas fotografer di kiri kanan saya aneh juga kayaknya
mandangin saya. Bodoh. Saya sedang bahagia melihat band yang saya sayangi
nyanyi di depan. Salah satu mimpi saya nonton ERK terwujud. Dan di paling depan
jelas banget nontonya, haha.
Daftar lagu yang ERK nyanyikan: Debu-debu Berterbangan, Kau dan Aku Menuju
Ruang Hampa, Sebelah Mata, Hujan Jangan Marah, Hujan Jangan Marah, Kamar Gelap,
Pasar Bisa Diciptakan, Lelaki Pemalu, Jangan Bakar Bukumu (feat Is Payung
Teduh), Di Udara, Putih, Jatuh Cinta Itu
Biasa Saja, Lagu Kesepian, dan ditutup Desember.
….seperti pelangi setia, menunggu hujan
reda.
IS, 2015 Nove 16