Kamis, 03 Juli 2025

Catatan Buku "Utopia" Karya Thomas More

Thomas More (1478-1525) adalah pengacara Inggris, filsuf sosial, dan penulis buku terkenal "Utopia" yang berumur panjang. Sudah lama aku ingin baca buku ini dan lebih kudahulukan dibandingkan buku "The Great Gatsby" karya F. Scott Fitzgerald. Aku mengira buku ini akan diawali oleh petualangan yang langsung ke negeri Utopia sebagaimana karya Jonathan Swift di negeri kurcaci. Namun aku salah, novel ini diawali dengan obroal (seperti) warung kopi di tepi dermaga dengan tiga tokoh utama yang saling berdialog dengan berat: Raphael Hythloday, Peter Giles, dan Thomas More sendiri (aku lupa apakah dia pakai nama asli atau lain, tapi dia pakai sudut pandang pertama). Masing-masing bisa berbicara panjang lebar dengan kutipan yang sangat-sangat panjang seperti menceramahi mahasiswa sekali duduk dalam 5 SKS. Meskipun terkesan menceramahi, namun ceramah-ceramah di sini sangat berharga untuk didengar dan diikuti. Dia tak membual tentang banyak ayat, tapi mengimajinakan "negeri lain" yang lebih baik.

Buku ini mengambil latar Inggris sekitar tahun 1400an di masa Pangeran Henry dan Charles kesekian pada masa itu. Juga saat ramai-ramainya penjelajahan yang dilakukan oleh penjelajah Amerigo Vespucci dari Italia, yang menginspirasi penamaan Amerika. Tentu, novel ini disebut oleh Guardian dengan semangatnya yang "radikal". Saat itu tak banyak bangsawan Inggri yang mengecam kepemilikan pribadi dan kesetaraan kelas sosial. Dia juga mengkritik habis-habisan orang kaya yang tak lebih dari para pemalas dan parasit, bahkan dia juga meludahi emas dan permata tak lebih sama dengan balok kayu dan mainan anak kecil. 

Baiklah, pagi ini aku ingin berbincang langsung dengan Thomas More, yang dalam ingatanku seperti memerankan sebagai Raphael alih-alih aku sebagai narator di buku. Selamat pagi Pak More, Anda kalem dan tampan untuk ukuran orang Indonesia. Baik, kita mulai saja Bapak.... Begini, aku pikir, deskripsi tentang Utopia akan dimulai sejak awal buku, ternyata ada buku di dalam buku, berisi buku I yang membahas tentang hukum-hukum yang tak berperikemanusiaan (seperti hukuman mati untuk pencuri) dan buku II yang membahas Utopia dari berbagai sisi, dari kota-kora mereka (khususnya ibukota di Amaurot), para hakim, pekerjaan, relasi sosial, tentang perjalanan orang-orang Utopia, para budak, masalah militer, hingga agama-agama orang Utopia.

Di buku I, Raphael bercerita pada Anda dan Peter Giles (sosok ahli hukum yang sangat dihormati, bukan karena kekayaan atau materialnya, tapi karena integritas dan moralnya). Peter bertemu dengan Raphael di sebuah dermaga, lalu datang Tuan More sendiri. Di sana, Raphael menceritakan pengalaman panjangnnya akan berbagai dunia yang dilalui, mungkin dalam perjalanan laut itu juga mereka menemukan makhluk mitologi seperti Scyllas, Celaenos, Laestrygones, dll, aku teringat pada makhluk mitologi di Narnia, versi lautnya. Dalam suatu obrolan yang berat itu, Raphael mengkritik terkait hukuman mati bagi para pencuri. Menurutnya, materi apa pun yang dicuri tidaklah sepadan dengan nyawa manusia. Hukum itu begitu tiran, tak hanya itu, para pencuri dipermalukan juga di depan umum. Lalu, Raphael menyinggung tentang negeri Utopia, bagaimana jika menciptakan hukum baru yang dendanya bukan nyawa, tapi bagaimana para pencuri itu dijadikan pekerja yang menyerupai "budak" sehingga masih punya kepentingan untuk publik.

Luasnya pengetahuan yang dimiliki Raphael soal hukum dan aturan ketatanegaraan membuat Pak More merekomendasikannya untuk bekerja saja di kerajaan sebagai penasihat atau semacamnya. Namun, dengan sangat logis Raphael menolaknya dengan alasan yang sangat ideologis: (1) sistem rusak dan amoral di kerajaan sulit diperbaiki, dia menyebut ceramah Plato, bagaimana orang yang sudah kehujanan meminta orang lain untuk berteduh tapi tak ada yang mau berteduh karena kebodohan mereka, dia lebih memilih mengeringkan diri di dalam ruangannya sendiri; (2) ketika kau masuk ke sistem jahat, lalu menjadi polos dan naif untuk bergabung dengan mereka, itu akan membuat dirimu sendiri dirusak. Dengan alasan ini, dia tak mau bergabung ke kerajaan, meskipun Pak More dengan keukeuh ingin mengajaknya mengingat betapa berbakat dan banyak pengalamannya si Raphael.

Di sini saya menangkap bagaimana Raphael sangat memiliki prinsip hidup untuk selaras dengan alam dan tidak mengkhianati alam, karena upaya untuk mengkhianati alam akan selalu berakhir dengan petaka bagi manusia. Termasuk Raphael juga membongkar kenapa kemiskinan terus bertahan karena distribusi ekonomi yang tidak sepadan, bahkan Pak More bersuara terntang kesetaraan jauh sebelum Karl Marx koar-koar akan teori kelasnya. Aku lebih setuju dengan idealisasi yang Pak More imajinasikan dibandingkan kehidupan modern pasca-Marx, atau pasca-Revolusi Industri. 

Di buku II, aku rasa di sinilah intinya, bagaimana Pak More menceritakan negeri ini dengan sangat baik, imajinatif, dan memang "tidak ada" (dan Raphael menceritakan seolah-olah negeri ini ada). Raphael lima tahun hidup di Utopia dan telah mempelajari bidang-bidang strategis dari ekonomi, politik, religi, relasi sosial, budaya, antropologi, hingga hubungan antara satu distrik ke distrik lainnya diatur sedemikian rupa menjadi jalinan yang sangat rapi. Aku akan mengingat satu per satu yang Raphael bahas.

Tentang kota-kota di Utopia, aku mengingat negeri ini diciptakan/diubah oleh Utopus. Bentuk petanya menyerupai bulan sabit yang dikelilingi lautan. Nama daerah ini dulunya adalah Abraxa yang dulunya dianggap Jahiliyah. Ada daerah yang subur, ada yang tidak, dibagi menjadi 54 kota yang dibagi secara detail dan megah ke distrik-distrik, setiap 30 rumah tangga dipimpin oleh kepala suku (phylarch atau syphogrant, setiap 10 syphogrant dipimpin satu perwira bernama tranibor). Utopia beribukota di Amaurot. Penduduknya juga merata di berbagai distrik seolah tak ada isu urbanisasi yang meninggalkan desa.

Tentang para hakim, para hakim di sini sangat bijak. Mereka lebih mempentingkan kepentingan umum daripada kepentingan sendiri yang dianggap perbuatan tercela. 

Tentang pekerjaan, sebagian besar rakyatnya (atau seluruhnya diwajibkan bisa) bekerja sebagai petani, meskipun ada golongan-golongan khusus seperti kaum imam dan cendekia yang mengurus tentang moral dan ilmu pengetahuan, dan mereka sudah dipilih sejak kecil untuk disekolahkan di sekolah khusus. Mereka punya pembagian waktu khusus untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Sebagaimana Tuan More tulis, "Dua puluh empat jam yang terbagi siang dan malam, mereka mengizinkan hanya enam jam untuk belajar: tiga jam sebelum tengah hari ketika mereka istirahat makan siang, setelah itu mereka gunakan dua jam untuk tidur siang, tiga jam lagi untuk kerja yang diakhiri dengan makan malam. Mereka tidur sekitar pukul delapan dan tidur selama delapan jam."

Tentang relasi sosial, sebagaimana saya sebut di awal, di Utopia tak ada namanya kekurangan atau kelebihan penduduk karena rakyatnya terdistribusi dengan meratas. Bahkan, ketika sejoli menikah lalu beranak, maka mereka yang kelebihan anak akan dialihkan ke distrik yang kekurangan anak, dan anak-anak itu akan dirawat secara baik. 

Tentang tentang perjalanan orang-orang Utopia, mereka juga bisa melakukan penjelajahan ke distrik satu ke distrik lain dengan berbekal izin kepada keluarga. Tanpa izin ini mereka dianggap melanggar hukum. Izin itu juga memberikan kesempatan pada penjelajah untuk tinggal di rumah mana saja yang dia inginkan dengan menganggap tuan rumah sebagai saudara sendiri. Namun, mereka juga harus tetap bekerja untuk mendapatkan makanan, tidak sekadar menerima begitu saja seperti pengemis. Mereka juga tak peduli pada emas, karena hanya semacam logal biasa yang digunakan untuk pispot. 

Tentang para budak, para individu yang melanggar aturan akan dijadikan budak, bukan memberi mereka hukuman yang kejam, tapi memperkejakan mereka. Mereka juga diberi pakaian-pakaian khusus dan dibebaskan untuk bekerja apa saja, juga ditambah dengan memotong sedikit cuping telinganya. Hukuman termasuk berlaku pada mereka yang selingkuh dalam rumah tangga, korban dibolehkan menikah lagi, sementara pelaku tak bisa menikah lagi dan perlu menjomblo seumur hidup. Dan ini poin yang menurutku menarik, sebelum menikah, setiap perempuan dan laki-laki perlu memperlihatkan diri secara telanjang karena pakaian bisa menipu. Tuan More mengatakan jika kita memilih kuda saja sangat hati-hati agar tak menemukan kecatatan, apalagi memilih pasangan hidup yang akan kita ajak hidup bersama seumur hidup. Sebab di sini juga tertulis jika kualitas fisik berpengaruh pada kobaran api rumah tangga. 

Tentang masalah militer, ini juga menarik di mana Utopia lebih memilih perdamaian daripada perang. Tapi mereka juga tak menutup potensi jika perang terjadi dengan melatih rakyatnya militer standar, meskipun mereka tak akan dikobarkan. Di sini juga ada peran para pemuka agama untuk menjadi pasifis, rampasan perang disimpan untuk jaga-jaga di situasi masa depan.

Tentang agama-agama orang Utopia, mereka termasuk negara yang ber-Tuhan, dan cenderung uthrescas (religiosi) takut akan Tuhan. Perbedaan agama sangat diakui di sini, apa pun agama dan caramu silahkan, tapi tetap memuji satu Tuhan yang sama, dengan sebutan yang sama semisal Tuhan, meski agama beda-beda. Kuil mereka juga universal, bisa digunakan oleh agama apa pun untuk beribadah.

Aku kira, novel ini imajinasinya sangat radikal dan perlu dibaca oleh ahli politik mana pun yang mengaku tertarik pada politik. Aku akan menulis beberpa analisis penting terkait buku Tuan More ini.

Pertama, konsep utopia yang Anda tawarkan sangar revolusioner, kaitannya dengan pulau fiktif dengan masyarakat yang tidak ideal, tanpa kepemilikan pribadi, dan tatanan sosial-politik yang egaliter. Kata ini juga jadi bahasa global dalam diskusi filsafat dan sastra untuk menggambarkan tempat yang tak ada. Buku ini juga mencetuskan lahirnya genre utopian atau dystopian literature penulis-penulis setelahnya seperti George Orwell, Aldous Huxley, Ursula K. Le Guin, dll.

Kedua, di buku ini, Anda menyampaikan sindiran tajam terhadap ketimpangan korupsi dan ketidakadilan yang terjadi di Inggris dan Eropa kala itu. Anda juga sangat jijik dengan eksploitasi yang dilakukan oleh kaum bangsawan, para tiran, di bawah totalitarianisme, otoritarianisme, dan semacamnya. Anda juga memberikan imajinasi lain akan pendidikan merata, agama yang toleran, pemimpin yang demokratis, kerja wajib yang manusiawi, dan ini masih relevan bahkan 500 tahun kemudian.  

Ketiga, tak diragukan, tulisan Anda menggerakkan dialog dan tafsir, serta memberikan ambiguitas yang produktif yang bisa ditafsirkan secara berbeda-beda. Anda membangun karakter seperti Raphael sebagai representasi gagasan, pelancong filosofis yang otentik, di sini aku menangkap jika karakter bukan hanya individu, tapi juga perpanjangan gagasan, ideologi, dan kritik sosial. Ini membuat gagasan yang Anda sampaikan tetap terasa hidup dan manusiawi. 

Meskipun ada anggapan bahwa Utopia bukan blueprint, tapi bagaimana Anda mengolok-olok impian manusia akan kesempurnaan lewat aturan ekstrem dan penghapusan individualis. Anda bermain-main dengan kemungkinan dan kontradiksi. Sebagai seorang Katolik yang taat, Anda justru menawarkan agama yang pluralistik, perceraian itu legal, dan euthanasia; yang ini bisa menguji batas moral dan politik pembaca. Meskipun egaliter, Utopia di sini juga dianggap masih maskulin-sentris, gagal mendobrak patriarki. Beberapa kritik pula yang ingin kusampaikan: 

  1. Imajinasi yang sepertinya mati rasa akan perbedaan di mana kebebasan individu dikorbankan untuk keteraturan sosial. Bukan aku tak sepakat, tapi ini akan melahirkan keseragaman baru. Bukan begitu Tuan More?
  2. Sistem pemilihan pemimpin yang elitis alih-alih demokratis. Moralitas para pemimpin juga cenderung seragam dan tidak problematis.
  3. Imajinasi yang sangat tertib di kondisi chaos. Dia hadir seperti kompromi antara kekuasaan dan keteraturan yang dibungkus sebagai cita-cita. Di sini ada polaritas antara berimajinasi dan membatasi. 

Apa pendapatmu Tuan More?

Barangkali dia akan menjawab, "Saudariku, aku tersenyum bagaimana kau melakukan penjelajahan pulau fiktif yang dulu kutawarkan dengan hati terbuka dan mata yang waspada. Utopia bukanlah tanah janji, melainkan cermin bengkok untuk menampakkan kelucuan dan luka dunia yang kau hidupi. Engkau di sini juga memelihara semangat tanya, menjaga api imajinasi, dan tak gentar menyibak tira keteraturan yang menindas. Sebab itu Saudariku, terulah menulis, bukan untuk mencari kesempurnaan, tapi untuk mengusik keyakinan yang membatu." 

PEMIKIRAN:

  1. Aku suka bagaimana More membentuk dialog yang panjangnya minta ampun untuk menyampaikan konsep dan situasi di suatu masa dengan cara yang komprehensif. Semisal bagaimana dia menolak hukuman mati bagi pencuri, karena pencuri itu punya struktur kemiskinan yang tak bisa diatasi. Atau menjelaskan bagaimana keserakahan satu orang bisa menjadi wabah penyakit yang berbahaya  bagi banyak orang. 
  2. Aku suka di sini bagaimana tokoh Raphael memilih posisi untuk tidak mendekati kekuasaan karena dia tahu, seluruh ide cemerlangnya yang progresif tidak akan diterima karena bertentangan dengan kelas penguasa. Tak hanya berhenti di situ, dia juga menunjukkan dampak ketika kita menjadi seseorang yang naif.
  3. Tuhan, jika negara Utopia itu ada, aku ingin hidup di sana saja. Aamiin.

KUTIPAN: 

"Raphael menghindari kehidupan publik untuk menjaga ketenangan jiwa."

"Wajahnya mengundang rasa hormat, bukan rasa takut."

"Diobral hingga nyaris tak berharga."

"Apa yang membuat kemiskinan dan kebutuhan yang hina ini jauh lebih buruk ialah karena hal ini terjadi bersamaan dengan kemewahan yang tak terkendali." (p. 23) 

"Makin banyak hukum, makin sedikit keadilan."

"Lebih mengejar kebahagiaan daripada kemuliaan dan kemasyhuran." (p. 28) 

"Orang yang cukup sering melempar dadu akhirnya akan mendapatkan Venus (lemparan dadu tertinggi)." (p. 33) 

"Aku merasa berkewajiban untuk menelanjangi mentalitas mereka yang menutup telinga terhadap apa yang kusarankan..." (p. 37) 

"Plato berpendapat bahwa negara hanya akan bahagia bila para filsuf memerintah atau para penguasa berfilsafat: kebahagiaan pasti akan tampak jauh bila para filsuf tidak mau berbagi pemikiran dengan para raja." (p. 38) 

"Penguasa berkepentingan untuk menjaga kemakmuran rakyatnya seminimal mungkin, mengingat bahwa keamanannya sendiri bergantung pada pencegahan orang-orang agar tidak terlalu akrab dengan kekayaan dan kebebasan, karena hal-hal ini membuat mereka enggan menerima perintah yang keras dan adil. Sebaliknya, kekurangan dan kemiskinan menghancurkan semangat mereka, membuat mereka tunduk, dan menindas semangat pemberontakan yang membara dari kaum tertindas." (p. 44-45)

"Fabricius, dia lebih suka memerintah orang kaya daripada menjadi orang kaya. Memerintah pengemis tidak sesuai dengan martabat raja, dia harus memiliki rakyat yang puas dan makmur." (p. 46) 

"Kamu tidak boleh meninggalkan kapal hanya karena kamu tidak dapat mengarahkan angin. Demikian pula, kamu tidak boleh memaksakan ide-ide aneh dan mengejutkan kepada orang-orang yang kamu tahu tidak akan terpengaruh karena keyakinan mereka berlawanan." (p. 49) 

"Siapa pun yang memberikan pujian setengah hati untuk nasihat yang jahat akan dinilai sebagai mata-mata, bahkan pengkhianat. Selain itu, tidak akan ada kesempatan bagimu untuk berbaut baik setelah kamu terlibat dengan rekan kerja yang lebih mudah merusak orang-orang terbaik daripada memperbaiki dirinya sendiri; entah kamu akan dirusak oleh kebiasaan jahat mereka atau, jika kamu tetap berpegang pada integritas dan kepolosan, kamu akan dimanfaatkan sebagai kedok bagi ketidakjujuran dan kebodohan orang lain, hanya sejauh itulah perubahan yang akan dihasilkan dari pendekatan tidak langsung." (p. 51-52) 

"Orang bijak lebih memilih menghindari urusan-urusan publik, karena melihat banyak orang yang kehujanan tak bisa mengajak lebih banyak orang lain untuk berteduh, mereka tidak dapat menyembuhkan kebodohan orang lain." (p. 52) 

"Karena biar pun misalnya dia memiliki lebih banyak, dia tetap tidak akan lebih terlindungi dari hawa dingin, dan juga tidak akan terlihat lebih modis." (p. 76) 

"Menikmati waktu luang mereka dengan cara yang senantiasa pantas." (p. 85) 

"Tidak adil bila mengambil sesuatu yang tidak berguna bagi mereka dari orang yang benar-benar membutuhkannya." (p. 87) 

"Alam tidak memberikan fungsi apa pun kepada emas dan perak yang membuat kita tidak bisa hidup tanpanya, kebodohan manusialah yang membuatnya berharga hanya karena langka. (p. 88) 

"Sementara mereka makan dan minum dari wadah-wadah yang terbuat dari gerabah atau kaca, yang dirancang elok tetapi murah, mereka menggunakan emas dan perak untuk membuat pispot dan wadah kotor lainnya untuk digunakan tidak hanya di aula umum tetapi juga di rumah pribadi. Terlebih lagi, rantai-rantai dan belenggu-belenggu berat yang digunakan untuk menahan para budak terbuat dari logam yang sama." (p. 89) 

"Bangsa Anemolia datang. Singkatnya, mereka mengenakan barang-barang yang digunakan di Utopia hanya untuk menghukum para budak, mempermalukan para penjahat atau menghibur anak-anak." (p. 91) 

"Mereka juga heran bahwa ada orang yang bisa begitu gila hingga menganggap dirinya lebih mulia hanya karena dia mengenakan wol yang lebih halus." (p. 92) 

"Tetapi yang lebih mengejutkan dan membuat mereka [orang Utopia] jijik adalah kebodohan orang-orang dalam menyembah orang kaya, sekali pun mereka tidak punya utang dan tidak punya kewajiban kepadanya, hanya karena mereka kaya. Padahal mereka tahu betul bahwa orang-orang kaya itu sangat kikir dan pelit sehingga tidak satu sen pun dari tumpukan uang itu akan pernah diberikan kepada mereka." (p. 93) 

"Kamu hanya perlu hati-hati agar tidak membiarkan kesenangan yang lebih kecil menghalangi kesenangan yang lebih besar, dan menghindarkan kesenangan apa pun yang membawa konsekuensi menyakitkan." (p. 96) 

"Sama seperti orang bijak, akan segera menjauhi penyakit daripada mencari obatnya, atau mengusir kesedihan daripada menerima penghiburan." (p. 107) 

"Tidak boleh ada kesenangan yang menimbulkan rasa sakit." (p. 108) 

"Dalam tiga tahun mereka sudah menguasai bahasa itu, dan sudah bisa membaca karya-karya penulis terbaik dengan lancar, asalkan tidak ada kerusakan di dalam teks." (p. 111) 

"Oleh karena itu, seniman pasti lebih menyukai pengamat yang jeli dan pengagum yang tanggap atas karyanya daripada seseorang yang menatap seperti binatang yang tidak berakal, dungu, dan tidak terharu melihat tontonan yang begitu mengagumkan." (p. 113) 

"Seolah dewa yang tidak dipuja lagi sedang membalas penghinaan." (p. 143) 

"Orang yang paling buruk selalu yang paling tidak luwes." (p. 146) 

"Soal ramalan dan bentuk-bentuk prediksi kosong dan takhayul lainnya, yang sangat dihargai di negeri-negeri lain, bangsa Utopia tidak punya waktu untuk itu dan malah menertawakannya." (p. 149) 

"Imam jika jumlahnya diperbanyak, maka martabatnya akan merosot." (p. 154) 

"Tidak ada gambar Dewa yang dapat ditemukan di kuil-kuil mereka sehingga setiap orang dibiarkan bebas membentuk gambaran pribadi tentang Tuhan sesuai dengan kepercayaannya." (p. 156) 

"Dia berdoa agar setelah kematian yang mudah, Tuhan akan membawa dia ke sisi-Nya." (p. 160) 

"Semua kejahatan yang yang gagal dicegah oleh hukuman berulang-ulang, akan hilang sama sekali dengan penghapus uang. Dan pada saat uang lenyap, demikian juga ketakutan, kecemasan, kesedihan, stres, dan malam-malam yang berat; bahkan kemiskinan itu sendiri, yang tampaknya hanya kekurangan uang, akan langsung lenyap jika uang dihapuskan sama sekali." (p. 164) 

Oligopoli: perdagangan ada di tangan sekelompok kecil orang kaya yang tidak terdesak untuk menjual sebelum harganya cocok dengan mereka. 

 Judul: Utopia | Penulis: Thomas More | Penerjemah: Saut Pasaribu | Penerbit: Kakatua Yogyakarta |  Terbitan: Kedua, Februari 2025 | Jumlah Halaman: iv + 170 | Copyright: Utopia, Thomas More, 1516

Tidak ada komentar:

Posting Komentar