Saat kembali ke Jogja, saya download album Roekmana’s
Repertoire Tigapagi dari You Tube. Saya dengarkan di kos. Usai
mendengarkan, jiwa liar saya yang sesekali (juga) misantropi ini bertanya: “Siapa Tigapagi? Enak sekali dia
memusingkanku dengan lagunya? Memang dia siapa?” Jujur, saya yang selalu
menolak ide-ide kerumunan lebih menyukai musik-musik indie dengan lirik-lirik
berat daripada musik berlirik sekali lupa—yang isinya cuma mengajak orang
galau, baper, egois, individualis. Musik yang merusak kesehatan jiwa, kerajaan
semut yang hidup di bawah tanah pun pasti akan terbahak-bahak menertawakan
lagu-lagu manusia yang seperti itu.
Minggu, 25 September
2016: Malam itu gerimis jatuh satu-satu di pelataran Jogja, hari ini iklim
tengah ababil. Semoga musim tak ikut-ikutan. Pohon-pohon di Jogja banyak yang
ditebang, diganti dengan hotel dan mall-mall. Malam itu saya asyik mencatat di
kos, tak ingin kemana-mana. Namun, kalender di dinding yang angkanya sudah saya
lingkari mengingatkan saya dengan tulisan: Tigapagi
@ PKKH UGM. Pun di papan tulis kecil saya tertulis intinya: bisa main gitar kayak Tigapagi DL 12 Agustus
2016! Dan sampai sekarang saya belum bisa main gitar.
Jam hampir menunjukkan pukul delapan malam, saya hampir
sesak nafas, sebenarnya saya ingin tidak nonton. Kiriman saya menipis, sedang
pengeluaran tak terduga saya akhir-akhir ini membengkak. Beratnya menjadi
mahasiswa miskin, tiket 40 ribu bisa untuk makan sampai empat hari. Ini tanggal tua, kalau uang habis saya
makan apa?
Dan lirik: “…berharap
pada tangan hampa dan kaki telanjang. Mungkin hancur ragaku, namun tanpa buta
hati.” Seperti memberi keyakinan pada saya. Yah, mungkin besok saya akan lapar, tapi setidaknya saya bisa
melihat apa yang menjadi impian saya sejak lama: menonton konser Tigapagi! Saya
putus keraguan saya, ambil sepeda di parkiran kos dan ngontel ke PKKH UGM
gerimis-gerimis sendirian.
Malam itu di sebuah jalan juga saya lihat ada bendera lelayu,
ada orang yang meninggal. Saya ingat lagu Tigapagi feat ERK yang Pasir. Saya pernah di kos ngunci pintu,
terus menyanyikan lagu ini sambil menghayatinya dalam sekali. Saya memutarnya berkali-kali,
dengan lebay saya mengatakan saya berderai-derai…
Pasir, lelah mengukir.
Terukir tersingkir. Pasir… tak terukur…
Mendengar lagu ini saya seolah bisa mengimajinasikan apa itu
samsara. Ketika saya merasa kosong
dan rasanya begitu nikmat. Gie yang pernah menulis: “kita tak pernah menanam
apa-apa, kita tak kehilangan apa-apa” memang benar. Mungkin pesan ini juga yang
coba dibangun dalam lagu Tangan Hampa
Kaki Telanjang (THKT). Saya sering membayangkan manusia itu lebih kecil
dari pasir, lebih kecil dari debu. Manusia tidak ada apa-apanya tapi kemakinya
luar biasa. Juga seperti pasir, tak bisa dihitung banyaknya.. Perlahan tersungkur,
tersingkir..
Sampai di PKKH, saya lalu membeli tiket OTS. Masuk dikasi
tiket dan dicap tangan. Banyak band yang tampil, ada yang tidak asing lainnya
seperti Kelompok Penerbang Roket dari Jakarta. Grup lain yang tampil ada ZZUF,
Talking Coasty, dan Sirati Dharma. Tajuk acara ini Stomp Out Fest UGM, entah
itu agenda apa saya tidak tahu. Panggung yang dihadirkan panitia pun serasa
hitam putih, tak ada semiotika apapun yang bisa saya baca di sana. Identitas yang
mengadakan acara tak sampai di saya. Hiasannya cuma background hitam, itu saja, sudah. Dalam hati mbatin: cuma
sampai sanakah jangkauan seninya? Entah, atau kosepnya memang begitu.
Di sana yang nonton sudah berkumpul banyak. Gedung itu
panggungnya ada tiga level. Level pertama panggung utama, level kedua kosong,
level ketiga buat penonton. Saya agak terganggu dengan penonton-penonton yang
maju di level kedua yang panggungnya kecil dan menghalangi penonton yang
kebanyakan di level ketiga. Saya lalu naik ke lantai dua PKKH. Akhirnya nonton
di atas yang sepi, gelap, dan agak jauh.
Yang saya nanti-nanti hanya Tigapagi. Dan, kegembiraan yang
tak sanggup saya tutupi, senang rasanya ketika pukul sekitar 21:50 mereka
tampil. Akhirnya bisa lihat Sigit Agung Pramudita, Eko Sakti Oktavianto, dan
Prima Dian Febrianto di panggung secara langsung, juga lima personil tambahan
lainya di biola, violin, bass, flute,
sampai kayaknya ada juga yang bawa kecapi Sunda. Sigit dengan rambutnya yang
dikuncir setengah ke belakang, Eko yang main gitar sambil kaki kirinya ditaruh
di atas lutut—sangat santai, juga Ewo dengan kacamatanya, pakaian mereka
sama-sama hitam. Mereka konser sambil duduk, sangat elegan. Mata langsung
segar. Apalagi saat dinyanyikan lagu pertama THKT. Mencoba merasakan. Saya yang hampir selalu dihantui akan
makna dan kesan sering bertanya: bagaimana mengukur suatu “kedalaman”? Suatu
yang dalam seni rasa disepakati sebagai sesuatu yang sublim?
Ini lagu-lagu yang Tigapagi nyanyikan:
Ini lagu-lagu yang Tigapagi nyanyikan:
- Tangan Hampa Kaki Telanjang (everlasting…)
- Batu Tua (lagu favorit saya, selalu merasa autentik kalau dengar lagu ini)
- Alang-Alang (rampas semuanya, rampas bedebah!)
- Sembojan (buat ibu-ibu yang berjuang mempertahankan tanah di Kulonprogo kata Sigit, #sweet)
- Tertidur (kosong)
- The Way (“busy, busy, busy, we’re just too busy”)
Sekarang ini, masa yang isinya
hanya pengagungan diri tanpa ada fungsi dan kontribusi apa-apa untuk dunia,
Tigapagi seperti oasis tersendiri. Ada satu garis yang sama setiap kali saya
melihat penyanyi-penyanyi favorit saya berada di depan panggung: menunduk
dalam, semakin dalam, dan semakin dalam. Mata konsentrasi penuh. Entah darimana
koreo itu tercipta.
Terakhir, saya ingin menyampaikan
kegelisahan seorang kawan saya mengenai lagu-lagu folk indie alternatif sekarang, kalau
diperhatikan beberapa kelompok karyanya banyak yang sama. Entah “kesamaan” dari
segi lirik sampai nada. Semoga, Tigapagi tak pernah sama. Elemen musik sekecil apapun
sampai kata arbiter sekata apapun akan memberi sentuhan berbeda. Terus
berkarya ya! Tetap menjadi jingga meski
lelah kau mencoba…