Sore Bapak Shahnon, salah kenal. Saya sudah selesai membaca buku Bapak berjudul "Sutan Baginda". Saya rasa ini adalah novel pertama asal Malaysia, dari penulis Malaysia yang saya baca. Entah tulisan ini terjemahan atau bukan, tapi rasanya sangat Melayu sekali. Saya tertarik dengan kata pengantar yang Bapak buat. Inti yang saya tangkap, bagaimana kesedihan bisa kita alih wahanakan menjadi karya, semacam karya telanjang (naked writing). Bapak mencontohkan kehidupan Bapak di perpolitikan sendiri di Malaysia yang berliku-liku dan penuh dengan kubangan comberan, sementara aktor-aktornya tak lebih dari para kerbau yang bodoh dan licik.
Cukup berat Pak, jujur, membaca "Sutan Baginda" terbitan YOI ini. Sangat pelik dengan lima sudut pandang: Uji, Dahlia, Fidah (F), narator, dan Sutan sendiri. Tiga perempuan sebelumnya adalah istri Sutan yang memiliki karakter berbeda-beda dan bertolak belakang. Sutan ingin mempertahankan kekuasaannya yang monarkis (dipegang satu orang dan dari warisan leluhur di sebuah kerajaan) juga bersifat otokratis (gaya kepemimpinan yang bercirikan pusat kekuasaan yang terkonsentrasi pada satu orang). Apa pun Sutan lakukan untuk mencapai kekuasaan tak terbatas. Sutan Baginda sendiri cucu Murtaza dan cicit Salehuddin, yang tentu penguasa di Malaysia kala itu.
Sutan berpindah-pindah partai dari TRTI hingga akhirnya ke PARAYU. Di sana dia diajak oleh politikus yang licin dan buas bernama Nirwan, yang juga ingin Sutan jatuhkan melalui berbagai jebakannya. Bapak menceritakan dari sisi paling lemah laki-laki, yaitu perempuan. Tiga perempuan menjadi "alat" bagi pelanggengan kekuasaan. Aku akan menceritakan sedikit tentang tiga POV perempuan yang Bapak ceritakan.
UJI: Dia istri pertama Sutan, seorang Ustadzah yang pandai dalam Al-Quran dan Al-Hadis. Dia tipe perempuah solehah yang patuh pada suami, seorang istri sah, dinikahi di usia muda, dan melahirkan anak sah bernama Sheela. Sutan memanfaatkan Uji untuk mengajarinya ayat-ayat Tuhan yang dia jual di Majelis Tinggi (MT) dan menjadi bahan untuk pidato-pidato politik yang membuat lawan dan masyarakat terkesan. Uji pun tanpa prasangka negatif membantu Sutan ketika dibutuhkan ayat-ayat yang cocok untuk manuver politik suaminya, diajarkanlah Sutan membaca Quran sesuai dengan makhraj. Kata ganti mereka pun menarik, bukan saya atau kamu, tapi ana dan anta.
DAHLIA: Dia adalah istri kedua Sutan, yang punya usia lebih tua. Dia adalah seorang akademisi cerdas dan dosen universitas terkenal di Malaysia. Sutan berkenalan dengan Dahlia lewat teman dekatnya yang sama-sama kuliah di ANU. Lia ini mendapat stigma sebagai perawan tua, yang lahannya sudah tak subur lagi karena sudah susah mendapatkan anak. Namun, Sutan membutuhkan Dahlia untuk melengkapi manuver politiknya yang lain dari sisi akademik. Dari Lia-lah, Sutan belajar aneka teori kekuasaan dari naked power, money politcs, dark politics, bahkan sampai di tingkat intim pun, Dahlia tak henti menganalisis apa yang dia lakukan dari sisi keilmuan.
FIDAH: Dia adalah perempuan simpanan Sutan untuk menjatuhkan Nirwan. Seorang vokalis band heavy metal bernama Sacred Sucker yang sangat ambis untuk terkenal seperti Bee Gees atau The Search. Perempuan F ini punya jiwa seni yang tinggi, baik dalan berkesenian di musik maupun urusan pelayaran (ranjang), aneka gaya dia bisa dan pelajari, sampai gaya-gaya hewan pun bisa dihidangkan. Bejatnya di sini, Mummy dan Daddy Fidah pun mendukung skandal putrinya asalkan materi, kemasyuran, dan keuntungan lainnya didapatkan. Apalagi Fidah sudah gagal dengan suami pertamanya yang dalam tanda petik "tidak berguna", kemudian cerai. Sesosok laki-laki pelit yang hanya mementingkan bisnis dan tak peduli dengan kesenian yang dicintai Fidah dan orantuanya.
NARATOR: Diceritakan tentang betapa zalimnya Sultan ini. Bagaimana dia mendekati dua istri dan satu simpanannya. Bagaimana dia mendekati pimpinan Sacred Sucker bernama Rakhmat untuk mendekati Fidah. Juga Anda ceritakan dengan gamblang bahwa sesungguhnya dari berbagai perempuan yang berhubungan dengannya, yang paling dia sayangi sebenarnya adalah Uji. Sebab perempuan ini sangat sesuai dengan syariat dalam hal apa pun. Ada kepatuhan magis yang tak bisa diberikan Lia atau F, meskipun dua perempuan itu memiliki teknik-teknik dan kelebihan-kelebihan khusus soal "pelayaran". Di sini juga Anda ceritakan bagaimana niat licik untuk menjatuhkan Nirwan lewat skandal dengan Fidah.
SUTAN BAGINDA: Saya begitu kaget Pak Shahnon, saat di bab akhir ini Anda menjadikan tokoh utama kita menjadi orang gila. Gila karena politik dan kekuasaan. Hingga dia telanjang di pub dan mengatakan berbagai macam kegaduhan yang membuat orang lain jijik. Di suara Sutan ini juga tergambar ternyata lawan politiknya lebih kuat, licik, dan lihai. Justru Sutanlah yang dihancurkan, meski ada bolong alur di sini, karena Anda tidak menceritakan tentang Nirwan dengan detail, juga bagaimana Nirwan bisa mengalahkan Sutan. Anda hanya menulis sebagai simbolisasi yang tepat bukan untuk tokoh lain, tapi untuk Sutan, "Naik dengan begitu cepatnya macam parasut dan turunnya pun begitu laju macam buah kelapa busuk. Bukan saja menimpa tanah tetapi buahnya pun hancur berserakan. Dan airnya pun sudah tidak dapat diminum lagi." (p. 92)
Ada beberapa hal yang saya suka dari buku Sutan Baginda ini Pak Shahnon.
Pertama, yang baru bagi saya adalah bagaimana Anda menggambarkan hubungan intim dua manusia dengan diksi-diksi simbolis, seperti berlayar bersama, mendaki bukti, sampai ke pantai bersama-sama. Saya kira, banyak sekali adegan erotis yang bisa kita baca secara tidak erotis di buku ini, sehingga membuat novel ini jatuh ke dalam novel cabul yang penuh dengan lendir. Anda sangat sopan sekali dalam berbahasa dan menggambarkan buruknya nafsu yang tak terkendali. Karya ini bisa memancing ragam bahasa sastra dengan akar yang sama, baik dalam irama, logika, dan gaya yang berbeda.
Kedua, Anda menyebut banyak tokoh politik penting dari Soekarno, Machiavelli, Hitler, Musolini, sampai ke filsuf seperti Nietszche. Tentu buku Nada ada hubungannya dengan konteks perpolitikan di Indonesia, nilai-nilai yang beresonansi dengan pengalaman masyarakat Indoensia. Anda mengkritik bagaimana struktur kuasa berjalan, saya jadi sadar betapa bejatnya kemunafikan yang dilakukan oleh para pejabat yang kita baca seolah baik-baik saja. Realitas politik pascakolonial yang terjadi di Malaysia menjadi dialog yang menarik untuk membangun paradigma sastra lintas batas politik di negeri yang serumpun. Sebagai senator, saya tak meragukan kapasitas Anda yang tajam dalam melihat bagaimana agama, kekuasaan, dan kemunafikan politik berjalan beriringan.
Ketiga, tak pelak karya ini juga jadi cermin bagi Indonesia untuk mengkritisi kekuasaan dan agama sebagaimana yang Pak Shahnon lakukan. Kita melihat betapa beragamnya ragam suara di Asia Tenggara yang kritis, tajam, dan khas. Saya rasa, Anda punya seni mengemas sindirian yang baik lewat satir, ironi, dan metafora yang halus. Bagaimana moral juga diobrak-abrik oleh masyarakatnya sendiri. Dari tokoh-tokoh di buku ini, kita bisa membongkar kuasa lewat watak mereka masing-masing dan apa yang dilakukan. Di sini sedikit dialog, melainkan monolog yang panjang tentang berbagai amarah, ya meskipun di satu titik, tokoh Sutan Baginda ini tampak karikatural dari pemuka politik religius dan cerdas yang munafik.
Banyak suara perempuan pula yang saya dapat dari buku Bapak ini lewat monolog Uji, Lia, dan Fidah. Namun, suara mereka lebih banyak sebagai korban. Saya merasa miris dan sedihnya di sini. Anda juga menulis, "Perempuan di mana pun sama saja. Begitu cepatnya ia merasa penting dan dikasihi." (p. 86) Apa pendapatmu Pak Shahnon?
"Terima kasih awak mengapresiasi tulisan saya. Sebenarnya ini bukan hanya tentang politik atau agama semata, tapi juga banyak lapisan-lapisan luka, marah, dan kasih yang saya cuba selitkan. Awak faham tak hendak mengaibkan sesiapa, tapi sebagai muhasabah diri. Penyakit masyarakat tak bisa sembuh kalau kita tak berani bercakap benar," ujarnya.
Judul: Sutan Baginda | Penulis: Shahnon Ahmad | Penerbit: Yayasan Obor Indonesia (YOI) | Jumlah Halaman: xxii + 146 | Cetakan: Pertama, November 1992 | Copyright: Shahnon Ahmad, Malaysia, 1989

Tidak ada komentar:
Posting Komentar