Hari ini aku mendengar lagu "Timur" - The Adams dinyanyikan, 518 kilometer dari Jogja. Apakah dunia sekebetulan itu? Adakah buku-buku yang membahas tentang segala kebetulan-kebetulan yang ada di bumi? Hi Timur, kau baik-baik saja?
Minggu, 29 Agustus 2021
29 Agustus 2021
Jumat, 27 Agustus 2021
Arsip: Lo Kheng Hong
Sumber tulisan: lifepal.co.id
Mau Tajir di 2019? Ini Quote dari Warren Buffett Indonesia Dijamin Tertarik Investasi
Bicara soal investasi saham, pasti kita semua selalu diarahkan ke Warren Buffett, yang jadi orang terkaya di dunia berkat saham. Tapi jangan salah, di Indonesia juga ada yang seperti Buffett lho! Dia adalah Lo Kheng Hong.
Pria ini memang cukup ngetop di kalangan investor. Ia seringkali disebut sebagai Warren Buffettnya Indonesia.
Namun sayangnya, beliau memang minim publikasi. So, gak sedikit dari kita yang gak kenal sama Lo Kheng Hong.
Pada tahun 2014, total nilai saham yang dimiliki Lo Kheng Hong dikabarkan mencapai Rp 2,5 triliun! Hanya saja, itu baru sebatas prediksi, karena dia gak pernah secara langsung membenarkan pernyataan itu.
Dia bisa jadi tajir karena membeli saham-saham yang undervalued atau yang harganya anjlok karena satu dan lain hal. Namun, berkat analisa yang hebat, harga saham yang dia beli ternyata bisa meroket di kemudian hari.
Sebagai seorang crazy rich, Lo Kheng Hong sendiri juga merupakan orang yang sangat sederhana. Ya makanya dia seringkali disebut 11:12 sama Warren Buffett yang juga bersahaja.
Biar kamu semangat investasi saham di tahun 2019, gimana kalau kita simak saja kata-kata bijak dari beliau. Bisa jadi kamu makin terinspirasi dan tertarik investasi hingga akhirnya jadi crazy rich juga. Yuk simak lebih lanjut di bawah sini.
Baca Juga: Investasi Saham atau Obligasi di 2019, Untung atau Rugi?
“Tuhan maha pengampun tapi bursa saham tak kenal belas kasihan”
Bagi Lo Kheng Hong, berinvestasi di dunia pasar modal memang gak bisa ditargetkan. Mengapa demikian? Karena kita gak bisa tahu apa yang terjadi di hari esok.
Bisa jadi harga saham perusahaan A turun atau naik. Pergerakan harga itu juga bisa berlangsung dalam hitungan jam!
Itu sebabnya, investasi ini adalah tinggi risiko. Wajib hukumnya buat para investornya untuk rajin-rajin pantau harga, membeli, dan melepasnya di saat yang tepat.
Dan ingat juga lho, membeli saham harus paham sama bisnis perusahaan yang bersangkutan. Harus tahu bidang usahanya, labanya, hingga jajaran direksinya agar gak kayak beli kucing dalam karung.
Baca Juga: Ikuti 5 Trik Ini untuk Menekan Kerugian Investasi Saham
“Kalau trading, dapatnya receh dan bisa bikin stres”
Dalam investasi saham, tentu ada dua istilah yang seringkali kamu dengar yaitu trading dan nabung saham.
Trading ya ibarat jualan saja untuk jangka pendek yaitu beli saat rendah, dan ketika sudah naik 1, 2, atau 3 persen langsung lepas. Sementara itu, nabung saham ibarat membeli saham untuk jangka waktu lama.
Lo Kheng Hong bilang, ketika kamu punya mindset untuk trading saham, yang ada kamu cuma dapat cuan yang kecil. Ujung-ujungnya kamu sendiri yang stres karena harus mantau harga saham tiap jam. Nanti akhirnya tergoda nyari saham gorengan, bukan begitu?
Tapi lain halnya ketika kamu berniat memegang saham untuk jangka waktu lama. Bisa jadi cuannya makin gede seperti saat beliau membeli saham MBAI di harga Rp 250 perak per lembar, dan akhirnya naik 12.500 persen. Gokil kan?
Baca Juga: 5 Alasan Buat Stop Beli Reksa Dana Saham dan Beli Saham Langsung
“Pemain saham adalah orang yang bebas”
Walaupun punya aset triliunan Rupiah, Lo Kheng Hong merupakan orang yang benar-benar bebas dalam artian gak punya kantor, pegawai, atau bos.
Dia sendiri blak-blakan bilang kalau, “Saya tidak bekerja, tidak punya perusahaan, tidak punya pelanggan seorang pun, tidak punya karyawan seorang pun, dan tak punya bos. Hanya punya seorang sopir dan dua pembantu.” Gimana tuh? Asik gak? Gak ada beban sama sekali bukan.
Tapi untuk bisa kayak beliau ya mesti pandai beli saham dari sekarang.
“Serakahlah ketika orang lain ketakutan, dan takutlah ketika orang lain serakah”
Dalam menyikapi soal waktu yang tepat saat membeli saham. Lo Kheng Hong mengingatkan kita agar membelinya di saat krisis.
Gak salah untuk bersikap agak serakah di saat banyak orang di dunia ini ketar-ketir dengan kondisi perekonomian di negaranya. Kalau perlu borong saja mumpung harganya murah.
Pada tahun 2008 Lo Kheng Hong mengaku bahwa dia sempat bersikap serakah dalam memborong saham. Meski pada saat itu dia juga lagi rugi.
Sebaliknya, ketika perekonomian di dunia ini lagi bagus-bagusnya, jadilah bijak. Karena menurut Lo Kheng Hong, ketika kamu berada di masa ini, mungkin ini bukan saat yang tepat untuk beli saham.
“Sisakan uang 15 %”
Dalam investasi saham, sebisa mungkin jangan menggunakan seluruh uang untuk membeli saham. Sisakan danamu sebesar 15%. Mengapa demikian? 15 persen dari total uang berarti gak banyak dong?
Tentu saja, tapi hal ini ada positifnya juga lho.
Pertama, kamu gak bakal tergoda untuk jadi konsumtif mengingat dana yang kamu pegang cuma 15 persen saja. Dan yang kedua adalah, ketika pasar modal ambruk kamu masih bisa membeli saham lagi lho.
“Sayang, jika uang digunakan buat membeli mobil mahal”
Sempat beredar foto di grup Whatsapp yang memperlihatkan Lo Kheng Hong mengendarai Porsche. Sejatinya sah-sah saja dong beliau beli mobil Porsche wong duitnya banyak.
Tapi ternyata itu bukan mobilnya. Dan Lo juga merupakan seorang yang anti membeli mobil mewah. Mengapa demikian?
Pertama adalah karena harganya mahal dan terus turun. Yang kedua adalah, dia khawatir jadi korban perampokan.
Itu sebabnya sampai saat ini Lo Kheng Hong hanya mengendarai Volvo keluaran 2005 yang harganya Rp 120 juta.
Itulah kata-kata mutiara dari seorang Lo Kheng Hong buat kamu yang ingin tajir dari saham di tahun 2019.
Intinya, gak ada yang gak mungkin kok untuk bisa tajir seperti beliau. Lo sendiri juga gak lahir di keluarga kaya raya. Keluarga beliau bisa dibilang sangatlah sederhana, dan dia juga memutuskan untuk kuliah di kampus murah.
Tapi setelah kerja, dia rajin nabung dengan harapan agar bisa beli saham. Udah gitu saja. Sekarang, dia jadi crazy rich yang benar-benar bebas finansial. (Editor: Ruben Setiawan)
Selasa, 24 Agustus 2021
24 Agustus 2021
Ya Allah, berikan aku kelapangan dada untuk menyelesaikan masalah-masalahku dengan baik, dalam pekarangan kecilku sendiri.
Jumat, 20 Agustus 2021
20 Agustus 2021
Aku menyukai momen-momen sepintas, semisal mahkota bunga yang mirip dandelion turun dari lantai dua kos ke arah bawah. Lalu pemandangan itu terlihat dari jendela kamarku yang besar.
Senin, 16 Agustus 2021
Sabtu, 14 Agustus 2021
Jumat, 13 Agustus 2021
13 Agustus 2021
Hari ini seseorang berkata:
"Isma
Is adalah ma itu mandrasah aliah.
Tempat menuntut ilmu.
Cocok buat kamu.
Penulis yg suka membagikan ilmu kepada orang lain"
Ini untuk pengingatku, biar menjadi doa-doa baik.
Makasi ya :')
Selasa, 10 Agustus 2021
Pekerjaan yang Berkelanjutan
Intisari dari pekerjaan yang berkelanjutan dan menumbuhkan penghasilan di antaranya:
1. Adanya insentif keuangan kerja, juga hak-hak seperti tunjangan
2. Adanya program-program yang menekankan pekerjaan secara segera dengan kualitas kerja yang stabil
3. Adanya program-program pembangunan keterampilan melalui pendidikan
4. Dilakukan secara full-time dan bukan parsial-time
5. Adanya layanan pra-kerja yang berfokus pada pertumbuhan pendapatan dari waktu ke waktu
Penelitian ini juga menyinggung faktor-faktor lain yang mempengaruhi kerja secara berkelanjutan. Seperti depresi, kekerasan domestik, penyalahgunaan obat, dll. Penelitian ini menyarankan, bagi yang memiliki keterampilan rendah dapat meningkatkan upah sesuai dengan mereka yang berketerampilan tinggi ketika mereka: menambah pengalaman sehingga memiliki jumlah pengalaman yang sama; serta bekerja secara full-time untuk melihat pertambahan substansial pada skill dan upah.
Michalopoulos, C. (2001). Sustained employment and earnings growth: New experimental evidence on financial work incentives and pre-employment services. Low-Wage Workers in the New Economy.
Sumber: https://www.mdrc.org/sites/default/files/workpaper_5.pdf
Pendapatan Dasar Setara untuk Semua
Jurnal ini semacam menganalisis dan mengandaikan gimana kalau kebijakan pendapatan dasar universal (Univerasal Basic Income) diterapkan di negara berkembang? Nah, negara yang coba disimulasikan ini adalah Indonesia dan Peru.
Pengandaian ini berawal dari program-program, semisal Bantual Langsung Tunai (BLT) di Indonesia. Atau di China misal ada program standar kehidupan minimum kota, di Meksiko ada program transfer langsung yang menyasar 32 juta penduduk, atau di Peru ada asuransi kesehatan (Seguro Integral de Salud/SIS) dan transfer untuk keluarga miskin (Juntos).
UBI ini singkatnya diartikan sebagai pemberian pendapatan langsung ke semua orang tanpa mempedulikan level pendapatan. Program ini sebenarnya masih terlihat utopis, meski secara kenyataan ada contohnya. Kayak Dana Abadi Alaska yang memberikan transfer tetap sekian dollar setahun bagi masyarakatnya. Atau baca-baca Iran juga pernah melakukan program serupa pada 2011.
Data jurnal ini diolah dari Survei Sosial Ekonomi Nasional Indonesia (SUSENAS) dan Survei Rumah Tangga Nasional (ENAHO) Peru dari tahun 2010-2011. Penerima transfer dana langsung ini punya dua kasus: (1) penerimanya gak tepat sasaran/inclusion errors; (2) yang ditarget malah gak gapat/exclusion error.
Jurnal ini berpendapat jika di negara-negara berkembang metode penargetan dana langsung memang tidak sempurna, tapi memberikan perbaikan yang substansial bagi kesejahteraan dibandingkan dengan program universal (seperti dana pendidikan untuk semua). Karena transfer lebih bermanfaat bagi masyarakat miskin dibandingkan dengan program universal.
Hanna, R., & Olken, B. A. (2018). Universal basic incomes versus targeted transfers: Anti-poverty programs in developing countries. Journal of Economic Perspectives, 32(4), 201-26.
Sumber: https://doi.org/10.1257/jep.32.4.201
Jumat, 06 Agustus 2021
Buku-Buku Si Stephen
Ngelist buku-buku yang dibaca Stephen King buat perbandingan:
Peter Abrahams, A Perfect Crime
Peter Abrahams, Lights Out
Peter Abrahams, Pressure Drop
Peter Abrahams, Revolution #9
James Agee, A Death in the Family
Kirsten Bakis, Lives of the Monster Dogs
Pat Barker, Regeneration
Pat Barker, The Eye in the Door
Pat Barker, The Ghost Road
Richard Bausch, In the Night Season
Peter Blauner, The Intruder
Paul Bowles, The Sheltering Sky
T. Coraghessan Boyle, The Tortilla Curtain
Bill Bryson, A Walk in the Woods
Christopher Buckley, Thank You for Smoking
Raymond Carver, Where I’m Calling From
Michael Chabon, Werewolves in Their Youth
Windsor Chorlton, Latitude Zero
Michael Connelly, The Poet
Joseph Conrad, Heart of Darkness (Free eBook – Gutenberg / Kindle)
K.C. Constantine, Family Values
Don DeLillo, Underworld
Nelson DeMille, Cathedral
Nelson DeMille, The Gold Coast
Charles Dickens, Oliver Twist (Free eBook – Gutenberg / Kindle)
Stephen Dobyns, Common Carnage
Stephen Dobyns, The Church of Dead Girls
Roddy Doyle, The Woman Who Walked into Doors
Stanely Elkin, The Dick Gibson Show
William Faulkner, As I Lay Dying
Alex Garland, The Beach
Elizabeth George, Deception on His Mind
Tess Gerritsen, Gravity
William Golding, Lord of the Flies
Muriel Gray, Furnace
Graham Greene, A Gun for Sale (aka This Gun for Hire)
Graham Greene, Our Man in Havana
David Halberstam, The Fifties
Pete Hamill, Why Sinatra Matters
Thomas Harris, Hannibal
Kent Haruf, Plainsong
Peter Hoeg, Smilla’s Sense of Snow
Stephen Hunter, Dirty White Boys
David Ignatius, A Firing Offense
John Irving, A Widow for One Year
Graham Joyce, The Tooth Fairy
Alan Judd, The Devil’s Own Work
Roger Kahn, Good Enough to Dream
Mary Karr, The Liars’ Club
Jack Ketchum, Right to Life
Tabitha King, Survivor
Tabitha King, The Sky in the Water
Barbara Kingsolver, The Poisonwood Bible
Jon Krakauer, Into Thin Air
Harper Lee, To Kill a Mockingbird
Bernard Lefkowitz, Our Guys
Bentley Little, The Ignored
Norman Maclean, A River Runs Through It and Other Stories
W. Somerset Maugham, The Moon and Sixpence (Free eBook – Gutenberg)
Cormac McCarthy, Cities of the Plain
Cormac McCarthy, The Crossing
Frank McCourt, Angela’s Ashes
Alice McDermott, Charming Billy
Jack McDevitt, Ancient Shores
Ian McEwan, Enduring Love
Ian McEwan, The Cement Garden
Larry McMurtry, Dead Man’s Walk
Larry McMurtry and Diana Ossana, Zeke and Ned
Walter M. Miller, A Canticle for Leibowitz
Joyce Carol Oates, Zombie
Tim O’Brien, In the Lake of the Woods
Stewart O’Nan, The Speed Queen
Michael Ondaatje, The English Patient
Richard North Patterson, No Safe Place
Richard Price, Freedomland
Annie Proulx, Close Range: Wyoming Stories
Annie Proulx, The Shipping News
Anna Quindlen, One True Thing
Ruth Rendell, A Sight for Sore Eyes
Frank M. Robinson, Waiting
J.K. Rowling, Harry Potter and the Chamber of Secrets
J.K. Rowling, Harry Potter and the Prisoner of Azkaban
J.K. Rowling, Harry Potter and the Sorcerer’s Stone
Richard Russo, Mohawk
John Burnham Schwartz, Reservation Road
Vikram Seth, A Suitable Boy
Irwin Shaw, The Young Lions
Richard Slotkin, The Crater
Dinitia Smith, The Illusionist
Scott Spencer, Men in Black
Wallace Stegner, Joe Hill
Donna Tartt, The Secret History
Anne Tyler, A Patchwork Planet
Kurt Vonnegut, Hocus Pocus
Evelyn Waugh, Brideshead Revisited
Donald Westlake, The Ax
Peter Abrahams, End of Story
Peter Abrahams, The Tutor
Aravind Adiga, The White Tiger
Kate Atkinson, One Good Turn
Margaret Atwood, Oryx and Crake
Mischa Berlinski, Fieldwork
Benjamin Black [pseudo.], Christine Falls
Peter Blauner, The Last Good Day
Roberto Bolaño, 2666
David Carr, The Night of the Gun
John Casey, Spartina
Michael Chabon, The Yiddish Policemen’s Union
Lee Child, The Jack Reacher novels, starting with Killing Floor
Michael Connelly, The Narrows
Mark Costello, Big If
Michael Cunningham, The Hours
Mark Z. Danielewski, House of Leaves
Junot Diaz, The Brief Wondrous Life of Oscar Wao
Richard Dooling, White Man’s Grave
David Downing, Zoo Station
Andre Dubus, The Garden of Last Days
Leif Enger, Peace Like a River
Frederick Exley, A Fan’s Notes
Joshua Ferris, Then We Came to the End
Jonathan Franzen, Strong Motion
Jonathan Franzen, The Corrections
Neil Gaiman, American Gods
Meg Gardiner, Crosscut
Meg Gardiner, The Dirty Secrets Club
William Gay, The Long Home
Robert Goddard, Painting the Darkness
Sara Gruen, Water for Elephants
Steven Hall, The Raw Shark Texts
Mark Helprin, A Soldier of the Great War
Charlie Huston, The Hank Thompson Trilogy
Denis Johnson, Tree of Smoke
Garrison Keillor (ed), Good Poems
Sue Monk Kid, The Secret Life of Bees
Chuck Klosterman, Fargo Rock City
Stieg Larsson, The Girl with the Dragon Tattoo
John le Carré, Absolute Friends
Dennis Lehane, The Given Day
Elmore Leonard, Up in Honey’s Room
Jonathan Letham, The Fortress of Solitude
Laura Lippman, What the Dead Know
Bentley Little, Dispatch
Bernard Malamud, The Fixer
Yann Martel, Life of Pi
Cormac McCarthy, No Country for Old Men
Ian McEwan, Atonement
James Meek, The People’s Act of Love
Audrey Niffenegger, Her Fearful Symmetry
Patrick O’Brian, The Aubrey/Maturin Novels
Stewart O’Nan, The Good Wife
Joyce Carol Oates, We Were the Mulvaneys
George Pelecanos, Hard Revolution
George Pelecanos, The Turnaround
Tom Perrotta, The Abstinence Teacher
Jodi Picoult, Nineteen Minutes
DBC Pierre, Vernon Little God
Annie Proulx, Fine Just the Way It Is
Michael Robotham, Shatter
Philip Roth, American Pastoral
Philip Roth, The Plot Against America
Salman Rushdie, Midnight’s Children
Richard Russo, Bridge of Sighs
Richard Russo, Empire Falls
Dan Simmons, Drood
Dan Simmons, The Terror
Curtis Sittenfeld, American Wife
Tom Rob Smith, Child 44
Scott Snyder, Voodoo Heart
Neil Stephenson, Quicksilver
Donna Tartt, The Little Friend
Leo Tolstoy, War and Peace
Joseph Wambaugh, Hollywood Station
Robert Warren Penn, All the King’s Men
Sarah Waters, The Little Stranger
Mark Winegardner, Crooked River Burning
Mark Winegardner, The Godfather Review
David Wroblewski, The Story of Edgar Sawtelle
Richard Yates, Revolutionary Road
Kamis, 05 Agustus 2021
Significant One
Someone ever told me: "bro, i have a life advice for you: dont ever make ur friend bcome ur significant one. sometime u need a place or time to be alone. and sometimes ur significant one cant understand it." Okay, thanks btw, I will note it in my mind.
1 Agustus 2021
Rabu, 04 Agustus 2021
IKEA
Mau nyatet apa yang bisa kuteladani dari Bapak Ingvar Kamprad, pendiri IKEA:
"Time is your most important resource. You can do so much in ten minutes. Ten minutes; once gone is gone for good.""To design a desk which may cost $1,000 is easy for a furniture designer but to design a functional and good desk which shall cost only $50 can only be done by the very best."
"A better everyday life means getting away from status and conventions -- being freer and more at ease as human beings."
"I'm a bit tight with money, but so what? I look at the money I'm about to spend on myself and ask myself if IKEA's customers can afford it... I could regularly travel first class, but having money in abundance doesn't seem like a good reason to waste it.. If there is such a thing as good leadership, it is to give a good example. I have to do so for all the IKEA employees."
"Simple routine have a greater impact. It is not just to cut costs that we avoid luxury hotels. We do not need fancy cars, posh titles, tailor made uniforms or other status symbols."
"I'm stingy and I'm proud of the reputation."
...IKEA people......
Ada lima filosofi bisnis IKEA:
1. Bentuk (form): produk tak sekedar indah, tapi juga menjadikannya hidup dan menyenangkan.
2. Fungsi (function): produk yang mudah dan banyak manfaat.
3. Kualitas (quality): produk yang bertahan lama, tidak bolak-balik beli.
4. Keberlanjutan (sustainability): produkmengubah hidup jadi mudah di rumah.
5. Murah (low cost): produk bersaing harga.
"...menjembatani kesulitan dengan kemauan dan ketekunan." (Sumber: Detik)
"Ingvar pun terus mencoba berbagai kegiatan, dari menjual ikan hingga membuat dan menjual kartu Natal. Ini adalah sekolah kehidupan yang sebenarnya, Ingvar tidak terlatih untuk melakukan bisnis, juga tidak membaca buku untuk berdagang." (Sumber: Detik)
"Ingvar Kamprad tahu bahwa tokonya menawarkan segala hal yang penting bagi pelanggan di mana mereka bisa mendapatkan sensasi visual dan sentuhan dan kesenangan nyata berada di sana." (Sumber: Detik)
Minggu, 01 Agustus 2021
My Neighbor Totoro (1988): Visi Kesederhanaan yang Kuat
Ini tontonan keluarga kelas wahid yang sepatutnya ditonton. Kisah keluarga yang begitu manis, ayah yang begitu baik, ibu yang begitu kuat, dan anak-anak yang begitu lucu-lucu. Aku suka film ini. Mereka bagiku adalah prototipe keluarga yang ideal, tak lebai, dan tak terlalu mengglorifikasi keluarga tapi justru rasa kekeluargaannya lebih sampai, beda memang kalau kamu nonton film Indonesia NKCTHI misal. Dinamika kakak-adik antara Satsuki dan Mei inilah yang menjadi benang merah cerita.
Tokoh Sastuki (10th), kakak yang bertanggungjawab dengan adiknya Mei (4th), adik yang sangat aktif, kreatif, dan suka mengeksplorasi lingkungannya; mereka berdua tokoh-tokoh yang begitu mudah untuk disukai. Apalagi kalau keduanya berteriak, lucu, haha. Setelah kepindahan di rumah hantu, haha, ya, bisa dibilang begitu, di sebuah perdesaan di Jepang, ngingetin aku sama sawah-sawah di Magelang, wkwk. Membuat matamu segar.
Mei suatu hari tersesat di pondoknya Totoro, aku gak tahu ini makhluk atau hantu jenis apa, yang jelas dia serupa boneka besar berbulu banyak yang peluk-able. Hei, bukankah di Jepang ada pulau khusus yang dinamakan pulau hantu ya? Di mana banyak legenda hantu di kota itu, hmmm. Totoro ini memang ikonik sih, dia itu wajahnya serupa kucing, tapi posturnya serupa panda bertangan dan berkaki pendek, dengan warna abu-abu campuran krem. Makanan Totoro sepertinya biji-bijian, macam biji pohon oak. Saat malam Totoro membunyikan sulingnya di atas pohon.
Dan di balik film ini ternyata terinspirasi dari kisah kreatornya, Hayao
Miyazaki. Dia memiliki ibu yang sakit di rumah sakit, sebagaimana ibu
Mei dan Satsuki. Dan kau juga dengar bagaimana musiknya kan, bagaimana
film ini bisa mengalih mediakan suara alam ke suara film.
Di My Neighbor Totoro aku rasanya benar-benar belajar banyak. Bahwa membantu orang lain itu gak serumit itu lho, bahwa perjuangan dan perhatian itu bisa dilakukan dari hal yang sederhana dan keseharian. Semisal ketika Mei dan Satsuki menjemput ayah pas hujan di halte. Atau ketika sang ayah mengajak Mei dan Satsuki bersepeda. Di film ini juga tidak ada penjahat sebagaimana kau menemukan berbagai tokoh antagonis lainnya di banyak film. Semua manusia di film ini diceritakan dan dikarakterkan dengan wajar.
Strawberry Surprise (2014): Hidup Serupa Stawberry
Buku Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma jadi vokal poin literatur dalam film ini. Film yang diangkat dari novelnya Mbak Desi Puspitasari dengan judul yang sama. Dan selalu, akting Reza Rahardian yang bertindak sebagai Timur (oh namanya Timur!) tak pernah mengecewakan. Premis film ini kalau boleh kurangkum seperti ini: Aggi mencari cinta sejati tetapi dia tak tahu apa yang dia mau, sehingga dia secara tak sadar menguji Timur hingga akhirnya mereka menikah.
Sebagaimana dikatakan film, hidup seperti strawberry. Kita tak tahu strawberry rasa apa yang kita makan, kita mungkin berharap akan menemukan strawberry yang manis, tapi justru asam, pahit, hingga busuk yang kita temukan. Dan di suatu kondisi, mau tidak mau harus kita telan. Juga yang penting: Dalam hidup, kamu haru tahu apa yang kamu telan.
Strawberry Surprise |
Dan film ini tentu sangat dekat karena mengambil latar Jogjakarta dengan semua landmark-nya. Aduh, jadi penasaran lokasi jembatan dan sungai yang dipakai di film itu di mana yaa, haha. Tapi yang pasti, galeri yang dipakai adalah basecamp-nya Kelas Pagi Yogyakarta. Fresh art therapy spot. Gaes, film ini ngasi kamu ide tempat-tempat di Jogja yang asyik buat nge-date, wkwk.
Film ini ringan dan menghibur sebagaimana kamu makan strawberry. Banyak hal-hal segar, sebagaimana straberry. Juga pelajaran terkait relasi antara perempuan dan laki-laki. Cinta memang sebegitu bodohnya, hingga orang mengikuti yang dicintai meski yang dicintai tak memberi respons yang seimbang. Cukup sedih semisal aku ada di posisi Indah (Olivia Jensen), ketika Timur main band, Indah ikut main band. Ketika Timur pindah kerja, Indah ikut pindah di tempat yang sama.
Ya ampun, itu bikin capek sekali, semoga aku tak melakukan hal bodoh semacam itu. Cukuplah Indah menjadi pelajaran. Well, well, well, dikatakan pula kalau cinta itu ada tiga jenis: cinta yang kita semua inginkan, cinta yang datang dan pergi, cinta yang sejati. Indah cukup goblok untuk tinggal di kategori cinta nomer dua. Tak bisa diharapkan.
Tapi ada yang lebih bodoh, memiliki pacar yang serupa Wisnu, yang bilang ke pacarnya sendiri begini: "Apasih yang bisa kamu banggain dari hidup kamu? Karya, apa, karya kamu biasa aja. Tampang kamu, kamu cuma cewek yang merasa paling cantik di dunia." Kalau jadi Aggi (Acha Septriasa), aku sepakat mengatakan mulut Wisnu memang busuk. Udah ngatur-ngatur, gak sabaran, judge-nya tingkat poison dan toxic.
Tapi ya begitulah, banyak perempuan hakikatnya sama: takut ditinggal. Anggi takut ditinggal Timur setelah dia pacaran kanan, pacaran kiri, pacaran tengah. Dan dia tahu belum ada yang sebaik Timur. Tapi Aggi gak tahu apa yang dia mau, dan itu parah banget. Dia seret Timur ke sana, dia seret Timur ke sini, tapi Aggi gak tahu mau ke mana. Dia gak berani ambil risiko. Mbak Anita cukup bijak: "Timur tidak akan pernah sekali seperti mereka (mantan-mantan Anggi yang brengsek-brengsek-pen)."
Tentu Timurlah protagonis di film ini. "Gak, sebenarnya yang kamu takutin itu apa?" Pertanyaan itu nempel banget di kepalaku. Trus disusul suatu resolusi: "Lebih penting komitmen kamu sih. Ya udah, makan ya makan aja. Apa yang ditakutin?" Oke, kakak Timur, noted!!!