Discussion of "Stories from The Region", with the speakers Ario Mendoza (The Philippines), Damhuri Muhammad, and Zedeck Siew (Malaysian) at Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki (TIM), on Nov 30th:
Peta penulis Asia Tenggara sangat penting. Ada inventory penulis dan instansinya. Di Asia Tenggara kurang cukup. Sebelum menonjol ke dunia, udahkah kita lihat dan tahu penulis di sekitar kita. Kita harus menulis sekitar dulu, kalau langsung loncat ke Eropa dan Amerika itu aneh.
Majalah yang mengutamakan dunia kontemporer sangat mengejar nama besar, karena ada asuransi kualitas. Masalahnya, inisiatif dari pinggiran ini tak tersampaikan.
Sebenarnya kenapa kita tak tahu sekitar kita? Karena sejarah, misal Indonesia lebih dekat dengan Belanda, Filipina dan Malaysia lebih dekat dengan UK. Pengalaman hidup di bawah kedidaktoran dan ekonomi masih sama. Sebelas dua belas dengan kondisi sastra Amerika Latin, dan Asia Tenggara bisa melakukan itu. Padahal kita sudah disorot, bandul sekarang di Asia. Eropa udah selesai. Nobel saja dari Asia. Jangan minder sebagai orang Asia, yang ada optimisme. Kita bisa bangun sastra Asia Tenggara.
Asia Tenggara punya banyak mitos.
Penerjemahan itu negosiasi. Gak hanya seputar jembatan kebudayaan, tapi juga bentuk argumen dan reklaim sesuatu. Proses penerjemahan mengklaim argumen tertentu. Ada detail dan nuansa tertentu yang tak bisa diterjemahkan. Misal "Anak Semua Bangsa", sebagai pembaca Filipina, detail penting bagi mereka. Kalau menerjemahkan dalam puzzle itu lihat celah-celahnya, tapi pembaca lihat gambaran besarnya.
Damhuri: Saya ingin menonjol di panggung Asia Tenggara, karena kalau berbasis negara, kita tampak kecil, misal cuma nyebut Indonesia saja, mereka lebih tahu Bali. Saya nulis di beberapa platform di Thailand, Singapura, dan Amerika Serikat. Ini hasil dari networking saya dengan penulis-penulis Asia Tenggara. Mereka ingin karyanya bisa menonjol di dunia. Mereka memetakan sastra barat yang gak ramah dengan penulis Asia, termasuk info tentang workshop baik yang berbayar dan tidak.
Evi: Dengan memperbanyak platform yang mengedepankan South East Asia. Gak ada anak-anak yang pengen belajar bahasa Asia Tenggara, lebih suka belajar bahasa Eropa. Buat platform generasi muda yang belajar bahasa Asia Tenggara, memperkenalkan sastra yang satu region.
Ada sebuah komunitas yang anggotanya Asia Tenggara, yang penting, di reading book club itu bisa bikin seni bersama.
Apa yang kira-kira bisa direkomendasikan? Saya ingin menekankan, tidak dapat tidak, kita harus bisa menulis dalam bahasa Inggris, topiknya tentang Malaysia, Manila, Indonesia, dll. Saling mengenal bahasa Asia Tenggara penting, tapi improve writing skill itu penting. Guru bahasa Inggris (Sunlingtu) di Mekong Review. Intinya, penulis-penulis Asia Tenggara tak pernah berhenti berproses, siapa yang acceptance dan rejection, honor besar itu juga memotivasi (3000 dollar di The New Yorker). Tidak merasa inferior di imperium sastra Barat)
The discussion of "Writing in a Burning World: Do Words Still Matter" with Irwan Ahmett (INA) and Kristian Sendon Cordoro (The Philippines):
Kristian bicara tentang buku "Savage Mind: Art Books Cinema", yang bicara tentang iklim, kemungkinan tempat, multirasionalitas, keberagaman, khususnya yang ada di Filipina. Filipina sendiri sama dengan Indonesia yang punya banyak pulau. Ketika dia di Heidelberg, dia menemukan sebuah tubuh antromorfis, ketika dia ingin menanam, dia menghubungkan dengan logo.
Dia menunjukkan rumah di negaranya, di Kota Naga, dia tertarik dengan bunga yang ada di rumah itu dan dia memutuskan itu tempatnya.
Pertama kali dia ke Indonesia, dia menemui ide, kota tanpa buku bukanlah kota. Hingga 2018, tempat itu berubah. Tidak hanya tentang toko buku, tapi juga menjadi tempat komunitas dan galeri (di bawahnya ada septic tank wkwk). Di tempat itu juga ada bar, motonya "drink now, read latter." Tapi sayangnya, keadaan berubahberubah ketika badai (typhoon) terjadi.
Menurut Kris, "writing as an act of witnessing." Dia juga membicarakan tentang buku Daryl Delgado berjudul "Remains". Setiap pencerita adalah seorang survivor. Dia juga menulis puisi, " The Day a Storm with My Mother's Name Came", dia membacakannya pula dengan bahasa Filipina.
Menyangkut pertanyaan di tema, iya, dia menjawab jika kata masih bermakna. Untuk mendapatkan perspektif yang baru dll. Dia juga cerita tentang tiga kucingnya Kaya (ginger), Kaju (monster), and Innova (yang ditemukan di bawah mobil Innova). Pertanyaan di tema juga bisa dijawab dari, coba lihat mata kucing. Kita gak hanya hidup dengan manusia, tapi juga yang mengelilinginya. Kris juga percaya Tuhan ada.
Mas Iwang kemudian menampilkan sebuah video tentang sebuah bencana gempa bumi dan saat hujan. Dalam video itu ada hape, tengkorak, aliran sungai, batu-batu, hasil erupsi, Anak-anak yang menari du depan api, bahan baku yang menimbulkan destruksi. Bagaimana tanah saat ini berubah jadi monokultur. Di tengah imajinasi tentang developmentalis, tumbuhan dan hewan sudah tak lagi menemani imajinasi kita. Video ini menampilkan bagaimana hewan dan tumbuhan mati. Juga bagaimana sampah terbakar dengan baunya. Tentang erupsi, kekeringan, dan Mas Iwang menenggelamkan dirinya di bawah lumpur. Juga narasi tentang pilpres 2024, lalu bagaimana masyarakat menyelamatkan diri di atas kapal yang bocor hingga akhrinya tenggelam. Ada pula ritual warga di pesisir, konstruksi pembangunan apartemen super mega di pesisir, semuanya menunjukkan bagaimana manusia menciptakan bencana.
Mas Iwang mengatakan, ini katanya waktu yang tepat jadi egois dan useless. Di periode ini utnuk buat performance tidak mudah tapi banyak ide di berbagai platform. Bersama dengan Tita Salina, dia mengerjakan seni bersama. Saat ini lensa yang digunakan lebih brutal, seni adalah sarana menyuarakan hati manusia.
Di Gunung Merapi, Mas Iwang menemukan bagaimana gunung itu dalam dua jam bisa berganti warna hingga ratusan kali. Tapi kita tak tahu juga Tuhan apa yang telah melihat kita.
Kris menambahkan, bagaimana masyarakat Filipina hidup bersama dengan gunung berapi juga gempa. Bagaimana perempuan juga terbunuh di bencana tersebut, dia menemukan kisah cinta di baliknya. Hal itu kemudian dia alih wahanakan ke bentuk seni lain seperti puisi. Erupsi memantik imajinasinya, dan itu menjadi buku, yang berhubungan pula dengan bagaimana revolusi terjadi di Filipina.
Mas Iwang melanjutkan, bagaimana manusia tumbuh di tubuh perempuan dan ketika lahir, dunianya sudah sangat berbeda.
Skala destruksi sekarang tak bisa diskalakan bahkan. Masyarakat juga takut menjadi beda, sehingga kita sangat butuh orang yang butuh bertindak berbeda, tak hanya ikut kerumunan. Tapi dia merasa skeptis tentang ini.
Hari ini juga telah lahir seorang revolusioner di Filipina, ada harapan. Revolusi berhubungan dengan kosmik juga, fenomena kosmologis.
Discussion of "Relentless Battles: How to Never Surrender" with Kateryna Kalytko (Ukraine) and Farwiza Farhan (INA):
Keputusan yang saya buat sekarang menentukan besok. Ini tempat di mana aku hidup, tidur, dan kerja. Kita butuh refleksi, kita butuh transformasi bagaimana kita bergerak. Bagaimana kita menantang diri kita sendiri, menantang sistem, dan penulis bisa mengubah sistem itu. Farwiza menanyakan dari lecture dari Raisa Kamila, gimana Sumpah Pemuda bisa terjadi? Ada penulis di sana.
Soal Ukraina, terus berjuang. Bagaimana kita mengubah diri kita, dengan kemanusiaan sebagai konsen kita, dengan berbagai bantuan dari organisasi internasional. Kita menulis ulang dan membuat dialog, bagaimana hal-hal krusial di dunia bisa terjadi.
Ada banyak distraksi di dunia, seperti hal-hal yang kita lakukan pada minoritas. Ada lapisan-lapisan di mana ada seseorang yang menyalakan lilin. Seperti apa yang terjadi di Aceh, kita butuh dialog, ini sangat-sangat penting.
Kateryna mengatakan, generasinya saat ini menjadi bagian penting yang bertanggung jawab dengan apa yang terjadi sekarang. Kita punya masyarakat sipil yang kuat. Dia juga menjadi bagian dari intelektual publik, dengan cara mengubah diri sendiri dulu, sesederhana apa pun itu.
Wiza mengatakan, yang menginspirasinya untuk melakukan sesuatu, untuk tidak melakukan apa-apa itu lebih susah daripada melakukan sesuatu. Dan kita semua punya partisipasi di sana.
Kateryna menyampaikan, secara umum dia menyukai manusia (dalam artian umum). Kita menjadi mandiri dan secara internasional seharusnya terlindungi.
Ada pertanyaan, kenapa dunia tak berubah, meski ada banyak aktivis dan NGO melakukan perlawanan? Kateryna menjawab, sistem dunia sekarang sangat kapitalistik, baik di tingkat individual maupun kelompok. Sehingga kita butuh untuk berubah.
Wiza menambahkan, NGO telah lama melakukan banyak hal sebenarnya, seperti Greenpeace, kalau tak ada dia, mungkin akan lebih banyak PLTN yang didirikan. Aksi menjadi antidote dari semua itu.
Pertanyaan selanjutnya: Bagaimana coping burn out yang terjadi sebagai aktivis? Wiza menjawab, keluarga yang mensupport, aktivis juga manusia, khususnya suami yang mengingatkannya ketika "scattered things" terjadi. Kateryna menjawab, lingkungan dialah yang menyuportnya.
Minggu ini berjalan dengan lancar, entah kenapa aku cepat sekali menangkap pelajaran bahasa Jepang, pada hari ini kepercayaan diriku meningkat. Aku senang sekali. Meskipun hari ini yang masuk kelas hanya tiga orang, Raffi-san gak masuk, entahlah, tidak ada kabar.
Les Minggu XI - 21 Agustus 2024
Hari ini berjalan dengan lancar juga. Dan sepertinya fix kalau Boim-san tak melanjutkan kelasnya karena udah lebih dari tiga kali dia gak masuk. Raffi-san mulai masuk lagi. Pelajaran hari ini tentang penggunaan kata sifat di dalam bahasa Jepang, lumayan pusing tapi kupikir bisa dipelajari.
Les Minggu XII - 28 Agustus 2024
Pelajaran tanggal 28 Agustus
Hari ini kami mempelajari kata sifat bentuk kedua. Makin kesini, aku mulai kehilangan semangat belajar bahasa Jepang yang udah kubangun di awal. Barangkali karena motivasiku tak sekuat itu jadi belajarnya kian berkurang jauh. Dulu hampir tiap hari meski cuma sebentar, aku bisa memanfaatkan waktu untuk belajar bahasa Jepang, hampir sebulanan ini entahlah semangat itu tererosi dengan banyak. Sedihnya, aku tak begitu menikmatinya sebagai belajar dan kebutuhan, tapi sebatas pelaksanaan kewajiban. Aku cukup sedih dengan kondisiku ini. Tak ada yang salah dengan guru, teman-teman, dan di luar diriku, yang menjadi masalah ada di dalam diriku.
Apalagi tadi pagi (3/9) aku berefleksi: menjaga semangat di awal itu untuk tetap konsisten sampai garis finished itu ternyata sesusah ini. Aku juga diingatkan oleh postingan Facebook, "Allah itu mencintai yang sedikit tapi konsisten, daripada sehari banyak tapi gak jelas selanjut2nya." Aku menyadari jika pola belajarku adalah pola belajar Bandung Bondowoso, sehari jadi, dan itu tak akan baik, tak direstui alam sebagaimana Bandung tak diterima oleh calonnya. Aku seperti butuh pembimbing untuk ngingetin aku. Aku teringat di China ada bisnis orang yang suka ngingetin target orang lain. Mungkin aku perlu hal serupa. Aku hanya berdoa, semoga besok dan sampai akhir aku selesai les bahasa Jepang ini, aku bisa menyelesaikannya dengan baik, dengan apa pun hasilnya.
Les Minggu XIII - 4 September 2024
Les hari Rabu ini hanya didatangi oleh dua orang saja, aku dan Steven-san, Raffi-san dan Aulia-san tidak masuk. Waktu terasa begitu panjang, tapi bagiku juga terasa lebih fokus. Sebab murid hanya dua, aku merasa lebih banyak konsentrasi yang bisa kuserap. Boleh dibilang, sepertinya aku tak ada masalah apakah murid yang datang banyak atau tidak, walau misal aku sendirian yang datang, sepertinya aku tak masalah. Aku menduga, hari ini hari sibuk, jalanan macet, apalagi Paus Fransiskus dari Vatikan juga datang. Tak biasanya juga Sensei Jovan telat, kata dia jalanan lagi macet. Oiya, hari ini kami belajar terkait "kata kerja" dalam bahasa Jepang. Lumayan bikin pusing, tapi ya dijalani aja ya, hehe.
Les Minggu XIV - 11 September 2024
Belajar Kata Kerja tingkat kesekian
Aku kerenggosan di bulan ketiga belajar bahasa Jepang ini dengan motivasi sebatas senang-senang, wkwk. Teman sekelas ada yang udah gugur juga gak lanjut les--selain Boim-san yang udah tak ada kabar hingga sekarang, Raffi-san juga gak masuk lagi dua hari berturut-turut, untuk Aulia-san masih datang karena minggu lalu dia sakit. Tadi sore aku merasa kerenggosan sangat, pola belajar rutinku udah berantakan memasuki bulan kedua, tapi aku ambil tekad untuk terus belajar. Senseiku baik dan sabar, itu udah bisa jadi motivasi dan teman yang lebih dari cukup. Selebihnya, aku hanya pengen ngrasain berkahnya belajar bahasa.
わたしはできます! ありがとうございます せんせい とともだちです。
Les Minggu XV - 18 September 2024
Hari ini kami selesai belajar terkait kata kerja dalam bahasa Jepang. Hanya ada tiga murid yang datang, dan sepertinya Raffi-san tak melanjutkan lesnya lagi. Aku tak tahu alasannya apa. Hari ini rasanya masih berat karena aku cukup ketinggalan banyak, aku tak belajar sedikit demi sedikit lagi. Namun fakta lain, sensei Jovan ngobrol sebentar dengan Aulia-san, bahwa untuk dapat JLPT 5 itu susah karena kuotanya sedikit dan daftarnya harus rebutan. Aulia-san ingin ikut LPK. Sensei bilang, yang ikut les di sini emang beragam motivasinya, ada yang buat kerja, atau cuma iseng-iseng juga ada. Aku juga baru tahu fakta kalau Boim-san dulu pernah ikut les di Evergreen, tapi gak lanjut, untuk kedua kalinya juga dia tak selesai, mungkin dia tak sempat. Dan, menurut sensei, yang kelas malam lebih enak daripada siang. Siang panas.
Les Minggu XVI - 25 September 2024
Bahas buku bacaan sampai selesai jadwalnya, tapi hari ini aku tak masuk karena ada dinas ke Balikpapan. Dan tanpa disangka-sangka, hari ini pun tidak ada yang masuk sama sekali, Aulia-san gak datang karena hujan datang tanpa henti. Sementara itu, aku tak tahu kabar Steven-san.
Les Minggu XVII - 2 Oktober 2024
Akhirnya, pembahasan buku sampai selesai terjadi hari ini, dan yang datang dan tersisa hanya ada dua: aku dan Aulia-san. Cukup lancar btw, aku senang. Sejak pagi di kantor aku dedikasikan khusus untuk mengartikan berbagai bahasa dan kosakata di buku paket yang disediakan oleh Evergreen. Rasanya cukup releasing atau cukup healing juga membaca dan menulis hiragana. Aku juga berdoa, "Ya Allah, apa pun yang terjadi, izinkan aku belajar sampai batas waktunya selesai. Aamiin." Aku telah sejauh ini, harus bisa, iya kan?
Les Minggu XVIII - 9 Oktober 2024
Alhamdulillah udah sejauh ini
Hari ini latihan ujian selama kurang lebih dua jam, kemudian sejam berikutnya adalah pembahasan. Syukurlah hari ini Steven-san sudah masuk lagi, aku akan sangat sedih jika dia juga memilih untuk mengundurkan diri. Sebenarnya aku tak bisa menjawab soal-soal tersebut, kebanyakan aku tak bisa, dan jika ditinggal sendirian, barangkali aku tak punya ide akan mengisinya dengan apa: sementara vocabulary ku masih melarat dan pengusaan grammar ku masih mberangkang. Tapi setidaknya aku telah melalui hari yang berat ini dan aku senang: aku menikmati kepusingan-kepusingan dan kesulitan-kesulitan yang kupilih sendiri. Ganbatte, Isma! Remember the reason why you are here.
Les Minggu XIX - 16 Oktober 2024
Hari ini ujian, terutama berkenaan dengan kata sifat dan kata kerja. Beberapa hari kemudian hasil tes keluar, ya, seperti yang kuperkirakan, aku tak lulus. Dari tiga siswa yang tersisa, hanya Steven yang lulus. Dia mendapatkan nilai 64, aku dapat 28 (it's bad, but it's okay), lalu Aulia dapat 12. Ya, sejauh itu kemampuan kami kalau dilihat-lihat. Bukan senseinya yang salah, emang kami yang emang gak serajin itu dalam belajar. Jovan-sensei menurutku guru yang sabar, sangat sabar, dia juga baik. Tapi ya karena bahasa itu praktik, dan itu yang aku ada jurang jauh. Yang bahkan sudah berusaha dikasi jemabtan sama sensei pun, kalau aku gak mau belajar melewati jembatan itu, ya gak akan sampai.
Les Minggu XX - 23 Oktober 2024
Ikut kelas terakhir di kelas baru yang gurunya bukan Jovan-sensei, tapi sensei lain. Berkebalikan dengan kelasku yang awalnya empat cowok dan satu cewek; di kelas ini 4 cewek dan 1 cowok, tapi senseinya masih cowok, jadi energi maskulin dan feminim-nya gak terlalu timpang. Sensei di kelas ini masih muda, kelahiran 92; Jovan-sensei juga masih muda, tapi aku gak tahu dia kelahiran berapa.
Berbeda karakter dengan Jovan-sensi yang introvert, sensei satu ini lebih ekstrover. Beliau juga suka cerita-cerita terkait hal humanis macam pengalamannya dalam mengajar, kehidupan di umurnya sekarang yang tak selincah ketika umur 20-an, para pendiri Evergreen dan orang-orang yang berjasa di tempat tersebut.
Di kelas beliau, speaking-nya kuakui lebih baik, karena dia nge-drill siswanya buat ngomong Japanese. Bahkan aku ngerasa deg-degan dengan tunjuk menunjuk yang dilakukan oleh si sensei ketika menjawab soal. Terus, karakter siswi-siswanya juga beda jauh coy, mereka rata-rata ekstrover, suka banget ngomong dan sangat ekspresif kalau dibandingkan dengan kelasku, yang kebalikannya (introver, gak suka ngomong, dan gak ekspresif).
Di kelas ini aku merasa jadi anak paling begok sendiri, wkwk. Tapi anehnya, aku ngrasa gak ada takut-takutnya (biasanya orang kalau gak bisa takut ya, apalagi di lingkungan baru dengan orang-orang baru). Dan aku gak mikirin apa pun pendapat sensei atau teman baru lain di kelas itu, karena murni niatku adalah belajar, gak ngejar nilai, skill ini tambahan aja. Ya, setidaknya aku pernah mencoba :D
Les Minggu XXI - 30 Oktober 2024
Sisi paling kiri Jovan-sensei, sisi paling kanan sensei di kelas 23 Oktober
Aku tak pergunakan kelas terakhirku karena udah di level energi apatis, haha. Ya, to be honest, belajar bahasa Jepang itu gak mudah. Gak cuma nulis, baca, ngomong; tapi juga mengingat. Aku kadang kagum sama kemampuan mengingat Jovan-sensei yang bahkan dia bisa mengingat kosa kata tertentu (misal kata kerja atau kata sifat) ada di halaman berapa, kolom berapa, baris berapa, ih, parah sih. Aku jadi belajar kalau kemampuan mengingat memang harus aku latih. Bahasa adalah jalan buat latihan itu.
Terakhir, aku pengen makasi banyak sama Jovan-sensei khususnya, yang udah transfer ilmu Jepangnya, yang udah ngajar dengan sabar, yang udah memberikan teladan. Juga buat kawan-kawan sekelas, baik yang bertahan sampai akhir atau pun tidak: Raffi-san, Aulia-san, Steven-san, dan Boim-san. Semoga di mana pun kalian, kalian sukses dengan jalan kalian masing-masing. Terima kasih pernah menjadi kawan di pos perjumpaan hidup selama di Evergreen. Doaku, semoga Evergreen seperti nama dan filosofinya, hijau sepanjang waktu dengan kebaikan dan konsistensinya. Arigatou ghozaimasu!
Orang-orang atau kawan-kawan dekat tahu, aku suka dengan Ada Band. Aku menyukai mereka sejak SD, mungkin kelas lima/enam sekitar tahun 2003, kala itu TV di rumahku masih hitam putih, Bapak juga sepertinya pakai ACCU karena rumah kami belum dialiri listrik (meski tetangga sudah). Saat itu malam-malam, aku yang tengah tidur di tikar bersama dua adikku (waktu itu adik terakhirku belum lahir); kami tidur di depan TV. Entah kenapa bayangan suasana itu masih jelas di pikiranku, juga di rumah kami yang berkayu.
Aku tak ingat lagu pertama apa yang membuatku suka dengan Ada Band, semua lagu yang saat itu kudengar malam itu masuk semua di telingaku. Entah kenapa lagu-lagu Ada Band begitu halus, indah, melidius, dan enak didengar. Kalau lagu-lagu mereka serupa makanan, tentu mereka akan jadi menu di inti pertama yang akan kuhabiskan. Dan di antara personil Ada Band yang kulihat, dari Om Dika, Om Marshal, dan Om Krishna, aku paling suka sama vokalisnya, Kak Donnie. Ya, dulu aku memanggilnya Kak, haha. (Aku menangis menulis ini, hehe).
Pencapaian dari mimpi anak-anak 21 tahun yang lalu.
Kak Donnie barangkali orang pertama yang mengajariku soal toleransi. Mungkin kamu menganggap jika toleransi itu sesuatu yang terberi (take it for granted), tapi kupikir tak semudah itu, perlu proses panjang dan main yang jauh agar seseorang bisa menerima perbedaan. Di otak SD-ku yang masih naif kala itu, aku cukup sensitif dengan perbedaan terutama soal perbedaan agama. Aku sering menyayangkan ketika bertemu dengan orang lain yang agamanya tidak seperti agamaku, dan orang itu ya kok Mas Donnie.
Dia beragama Kristen. Bukan hanya Kristen KTP, dia adalah umat Kristen yang taat. Itu terlihat eksplisit pula dari asesoris yang dia kenakan, seperti kalung, tindik telinga, atau mungkin gelang ada tanda salibnya (kurang Kristen apa?!). Dulu aku sempat sedikit sedih. Tapi setelah dewasa, hidup di berbagai kota, bertemu dengan banyak orang dengan banyak latar belakang, range toleransiku jadi seluas dan sefleksibel itu. Bahkan, aku berani bilang, toleransiku udah beyond, bukan label lagi yang kulihat, tapi pada esensi di belakangnya. Misal, ketika seseorang beragama (entah apa pun agamanya), aku melihat baik tidaknya dari hubungan dia dengan Tuhan, hubungan dia dengan orang-orang di sekitarnya, dan hubungannya dengan diri sendiri. Itu hal dasar yang pokok dalam menganalisis tingkat keber-agama-an seseorang.
Honestly, aku belajar religiusitas dalam hati pertama kali dari Donnie Sibarani yang berbeda keyakinan denganku. Lagu-lagu Ada Band itu meski kesannya sebagian mellow-mellow gitu, kalau diniatkan dengan benar, itu lagu-lagu religius. Coba dengar lagu "Kau Auraku", "Surga Cinta", "Hitam dan Putih", "Nyawa Hidupku","Langit Tujuh Bidadari", sampai "Haruskah Ku Mati" itu bisa dimaknai secara transenden.
Dan, kau tahu kawan, Kak Donnie konsisten dengan hal itu sejak aku mengenalnya pertama kali sampai sekarang. Dia anak Tuhan yang loyal. Bahkan, aku pernah baca di sebuah website dan Podcast, Kak Donnie memilih keluar dari Ada Band dan menjadi penyanyi solo karena dia ingin fokus menyanyikan lagu-lagu gereja. Dia ingin lebih banyak melayani gereja. Aku terharu sekali. Dia juga udah bikin album rohani.
Di awal, aku tak bisa memungkiri, aku kecewa Kak Donnie keluar, karena nyawa Ada Band adalah Kak Donnie. Semua masterpiece Ada Band ada di vokal Kak Donnie. Meski aku bisa paham sejak awal berdirinya Ada Band hingga sekarang sering berganti vokalis, tapi tetap track record prestasi terbaik ada pada formasi ketika berempat: Kak Donnie, Kak Dika, Kak Marshal, dan Kak Krishna. Gak ada yang menggantikan mereka berempat di hatiku.
Lof
Ada Band ketika dipegang oleh empat orang ini adalah duniaku. Tanpa mereka mewarnai masa kecilku, barangkali aku akan gila. Mereka adalah pencarianku berkaitan dengan idola yang kutemukan secara otentik. Aku menyukai mereka bukan karena intervensi dari teman, keluarga, artis, atau lainnya, tapi dari pencarianku sendiri. Ini proses penting kayak ketemu jodoh coy. Ada Band berjodoh denganku karena murni dari intuisi dan kecerendunganku sendiri. Di mana aku merasa cocok dan klik, bahkan tanpa alasan.
Aku mau sedikit cerita, pas SD temanku berkisar teman-teman di sekeliling rumah yang beberapa juga teman sekelas di SD. Pas SMP, aku gak punya teman, ya, boleh dibilang literally gak punya teman sama sekali sehingga waktuku lebih banyak kugunakan untuk ke perpustakaan. Pelarianku yang lain adalah "Ada Band". Jadi, aku koleksi berbagai pernak-pernik tentang Ada Band. Album pertama Ada Band yang kubeli adalah Romantic Rhapsody, yang cover-nya merah, kubeli kaset bajakannya di pasar induk Kota Cepu, Blora, Jateng. Aku menyetelnya kala Bapak pergi, karena kaset-kaset yang disetel Bapak lebih sering lagu-lagu lama.
Koleksi lainku adalah pin yang bergambar Ada Band, aku lupa itu beli di mana. Kayaknya di Toko Pink, yang jual asesoris dan banyak pernak-pernik lucu macam DIY kalau di kawasan urban sekarang. Pin itu kubawa kemana-mana gaes. Hal loyal lain, aku selalu mantengin acara, semisal Ada Band tampil di TV. Sebab zaman dulu gak secanggih sekarang, yang kita bisa lihat update kabar di sosial media, dulu tuh manual infonya dari iklan di TV, atau iklan baris di acara-acara tertentu. Tiap kali Ada Band perform, gak peduli jam berapa, mau jam 1 malam/dini hari pun pasti aku jabani--saking cintanya.
Aku juga cukup curious sama komunitas pecinta Ada Band yang disebut ArmADA, ini bukan band Armada ya, beda lagi. Kak Donnie dkk pernah buat lagu judulnya "ArmADA Masa Depan" yang diperuntukkan khusus untuk para fansnya. Dulu sempat searching mereka di internet, dan ternyata di sebagian daerah punya komunitasnya sendiri, misal ArmADA Jakarta, ArmADA Semarang, ArmADA Surabaya, dll. Namanya fans kan ya, punya kisah yang unik masing-masing.
Sehat terus Kak Donnie
Hubunganku dengan Ada Band mulai longgar barangkali ketika SMA, ketika idolaku berubah ke penulis Andrea Hirata. Aku udah gak lagi mengikuti perkembangan Ada Band setelah itu. Aku masih mendengarkan mereka juga, meski hanya sesekali. Hingga puncak berita yang kudengar, aku tak menyangka Kak Donnie keluar dari Ada Band tahun 2017. Ini masa ketika aku ada di kuliahan. Rasanya tiba-tiba kosong, dan aku gak bisa komentar apa-apa. Tapi, di titik itu, aku menerima keputusan itu, dan aku juga ikhlas. Ada Band juga pernah audisi vokalis, meski entah kenapa hasil audisi gak jadi lanjut, dan sekarang vokalisnya jadi Naga (Eks Lyla Band).
Dulu, sekitar 21 tahun yang lalu, aku pernah berdoa dengan sangat keras, serius, dan sungguh-sungguh, agar aku bisa dipertemukan dengan Ada Band, khususnya dengan Kak Donnie Sibarani. Doa itu terwujud pada tanggal 9 Maret 2023, ada konser “Symphonesia: Musik Indonesia Lintas Era” di TIM Jakarta, salah satu pengisinya Kak Donnie; dan diorkestrai oleh Erwin Gutawa. Aku senang sekali bisa datang dan menceritakan pengalamanku ini di link berikut: I Have Been Waiting for 20 Years To See My Idol When I was a Child. Rasanya tentu saja, senang, senang, dan senang.
Sebahagia dan seterharu itu gw, wkwk
Hari ini, Kamis, 21 November 2024, aku punya kesempatan lagi untuk bertemu dengan Donnie Sibarani, dengan kondisi yang lebih baik dan lebih dekat. Beliau nyanyi di depanku persis tanpa penghalang, jarak antara panggung dan kursi hanya beberapa meter saja. Sangat jelas, serasa mau nangis.
Pas aku dinas ke Sorong, Papua, beberapa bulan lalu, sebenarnya di sebuah event, penyelenggara ngundang Kak Donnie juga seingatku, yang pas acara itu dihadiri Wapres Ma'ruf Amin dan MC-nya ngundang Daniel Mananta. Pertemuan kali ini karena ada acara kantor terkait internalisasi program BerAKHLAK di Hotel Grand Sahid Jakarta. Malam sebelumnya sempat nginep di Grand Sahid juga, setelah makan malam dari hotel yang anehnya, sekarang aku mulai punya intuisi untuk menjauhi daging tertentu (vegetarian kontekstual biar tak merepotkan, dan tubuh rasanya kayak otomatis menyesuaikan). Gak nyangka kalau bintang tamunya Kak Donnie, kaget pas lihat rundown acara dari Wamendagri.
Di akhir acara, Kak Donnie tampil. Dia pakai blezer hitam keabu-abuan dengan nuansa blink. Lagu pertama yang dia bawakan berjudul "Masih", kemudian lanjut lagu "Jadikan Aku Raja", "Yang Terbaik Bagimu", "Manusia Bodoh", "Karena Wanita Ingin Dimengerti", hingga terakhir, lagu yang bukan milik Ada Band, tapi aku lupa judulnya, lagunya cukup populer juga. Kak Donnie tampil dari depan panggung utama, terus lanjut muter ke penonton, menyapa penonton sampai bagian belakang.
Still adore you
Pas nyanyi, Kak Donnie diajak foto bareng. Sayangnya, ketika aku minta tolong motoin ke orang, gak begitu jelas. Tapi aku berhasil berjabat tangan dengan Kak Donnie, Ya Allah, kek berjabat tangan kayak kakak sendiri, wkwk. Di akhir, aku kembali minta foto bareng sambil minta tanda tangan. Aku bilang ke dia, "Aku fans Ada Band sejak SD." Terus Kak Donnie bilang, "Oh ya? Pernah ketemu sebelumnya?" Aku bilang, "Pernah sekali di TIM." Dijawab, "Oh... Namanya siapa?" Aku bilang, "Isma." Terus ditulis di buku itu: To ISMA, dengan tanda tangan Kak Donnie.
TTD Donnie Sibarani
Sebenarnya fenomena fans ini menarik ya buat dikulik. Kayak macam fandom
gitu, aku sejujurnya gak menyalahkan orang mempunyai fans dengan idola
mereka masing-masing, mau dari Korea, Jepang, atau negara-negara lain.
Karena dari pengalamanku jadi fans Ada Band lumayan lama, sosok tertentu emang
mengisi kebutuhan kita akan suatu emosi yang kadang sulit didapat
dari orang-orang terdekat misal, kayak keluarga. Misal perasaan
menyayangi, mengagumi, dan kebutuhan untuk memperhatikan. Yang aku
kurang suka jika itu udah berlebihan dan membahayakan si idolanya aja
sih, kalau wajar-wajar kek saya ini kayaknya gak buruk-buruk amat, haha.
Meski diksi "idola" udah gak berlaku di saya lagi, karena idola top
saya tetap Tuhan, pertama dan selamanya. Kisah ini untuk mengapreasi
sejarah hidup sendiri, dan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya untuk
Ada Band. Semoga selalu sehat dan sukses untuk Kak Donnie dan Ada Band.
"Kalau mbak gak setuju, gausah ditanggapi dan gaperlu ikut sedih juga. Tiap orang punya perspectives-nya masing-masing. Menurut dia sangat bermanfaat share seperti itu, menurut mbak sangat bermanfaat kalau bermeditasi. Gabisa saling menilai, kita hidup di dunia perspective kita masing-masing. Apa yang membuat mbak lebih damai, lebih dekat dengan Tuhan, lebih memurnikan jiwa lanjutkan. Sisanya tolak seperti racun." Bagus NA
“Saya tak perlu mencari apa-apa lagi di luar diri saya,
semua yang saya butuhkan ada di dalam diri saya. Saya hanya perlu
merealisasikannya saja.”
Sekali lagi, menulis terkait Vedanta selalu bisa membuat
saya menangis. Saya tidak tahu mengapa menangis, hanya yang saya rasakan, saya
dikelilingi oleh orang yang penuh kasih, penuh sayang, punya banyak welas asih,
sehingga saya merasa cukup, menerima diri apa adanya, dan dalam tangis itu
sesungguhnya saya berbahagia. Saya tidak tahu psikologi saya sekarang tanpa
Vedanta, barangkali akan lebih tersesat ke pemikiran sana-sini, lebih merasa kesepian,
lebih keras mengutuk diri. Vedanta bagi saya adalah cahaya yang membawa saya
dari gelap ke terang.
Sebagaimana sesi sharing yang saya katakan tanggal 9
November 2024 lalu, saya merasa dharma saya adalah menulis. Dalam menulis, saya
tidak membebani diri saya dengan harapan-harapan, hanya satu pinta saya ke
Tuhan: menulis apa adanya dari semua yang saya tangkap dari indra-indra, rasa,
dan pikiran. Doa saya, semoga tulisan ini bisa memberi cahaya dan mendekatkan
diri kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Peserta retret Vedanta di Bogor
Setelah retret terakhir dengan Shraddha Ma dan Tim IVS di
Taman Rempoa 20-21 Juli 2024 lalu, IVS Indonesia melakukan retret kembali
selama lima hari, 2 hari di Bogor (9-10 November 2024) dan 3 hari di Bandung
(11-13 November 2024, di Batik Kumeli dan di rumah Ayas). Tulisan ini akan membahas retret yang saya ikuti di
Bogor, di rumah Ibu Rika Salmons di Jalan Bincarung Kota Bogor. Yang tiga hari
ingin sekali mengikutinya, tapi apa daya karena pekerjaan.
Hari 1: Semua Hal Sudah Berada di Dalam Diri
Jumat malam, meski masih ada beberapa deadline, saya
memilih untuk tidur lebih awal karena besok subuh, teman saya bernama Muhammad
Arwani dari Banyuwangi yang beberapa tahun ini tinggal di Tegal untuk mengurus
pesantren akan tiba di Stasiun Senen Jakarta sekitar pukul 4 pagi. Teman saya
yang lain bernama Agung Budi Wicaksono atau Cakson yang tinggal di Tangerang
Selatan juga terinformasi akan ikut retret. Awalnya, kami bertiga dipertemukan
saat kuliah di UIN Jogja dan organisasi ekstrakurikuler kampus. Mereka berdua
jurusan Filsafat 2012, kakak angkatan Bagus meski agak jauh tahunnya. Kami
berteman karena suka berdiskusi tentang banyak hal, suka menganalisis fenomena
keseharian, dan dipersatukan oleh humor-humor yang sama.
Ketemu di Stasiun Manggarai
Saya, Arwani, dan Cakson janjian bertemu di Stasiun
Manggarai. Sebab Cakson pada Jumat malam ada kegiatan, dia bilang akan datang
telat, dan kami memahaminya. Sekitar pukul 9 pagi kami bertemu dan melanjutkan
perjalanan bersama ke Bogor menggunakan KRL. Sayangnya, kami salah naik kereta
yang mengarah ke Stasiun Nambo, harusnya kami berhenti di Citayam, tapi malah
bablas sampai Stasiun Cibinong, haha. Kami menertawai kebodohan kami sendiri,
yang kami sebut sebagai “bodologi”. Salah kereta ini membuat kami yang awalnya
memang telat jadi semakin telat. Hari itu Bogor juga ramai dan lumayan macet.
Kami pun akhirnya sampai di Rumah Ibu Rika di Jalan
Bincarung, tak jauh dari SMP 5 Bogor, yang di depannya ada Taman Heulang, Tanah
Sereal. Taman yang teduh. Rumah Bu Rika berwarna krem, terlihat rimbun karena
tanaman-tanaman. Arwani berkomentar, dari luar rumah ini terlihat sederhana,
tapi setelah masuk ke dalam sangat luas, besar, bertingkat, dan arsitekturnya
juga menarik. Di belakang ada taman kecil, lalu dua sisinya ada ruang-ruang
lain. Dapur ada di sisi dalam dan luar rumah, di tengah ruang ada gebyok ukir
jati khas rumah-rumah Joglo.
Setelah absen, kami pun masuk ke dalam rumah yang sudah
dipenuhi orang, saya tak tahu tepatnya berapa, tapi ada sekitar 60-an orang. Di
sana, saya melihat Shraddha Ma, Swami Probuddhananda, dan Tim IVS. Saya melihat
dari jauh Shraddha Ma menyapa saya dengan anggukan. Kami sampai jam 11 lebih
hampir menuju Dzuhur. Saat itu masih mendengar Swamiji berceramah sedikit,
kemudian lanjut meditasi duduk, dan makan siang. Makan siang kali itu dengan
menu: urap, terong goreng, sayur, gorengan, sayur, rujak, risoles. Setelah
makan, kami pun solat.
Materi sesi siang
Acara dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh Swamiji
dengan Shraddha Ma sebagai penerjemah. Inti yang disampaikan Swamiji: cinta
adalah bahasa internasional. Cinta kasihlah yang membawa kita kesini. Swamiji
mengajak tetap pada kesadaran murni, sehingga hati bersinar. Semua yang ada di
dunia, semua energi, pengetahuan, akan membawa pada penderitaan, dan untuk
bebas dari penderitaan, kita harus melepaskan “ignorance”
(ketidaktahuan) kita melalui pengetahuan dan praktik (practice). Puncak
pengetahuan sejati adalah kau bersatu dengan yang sejati. Kamulah kemurnian
itu.
“With practice, you know who you are. You need to
practice it,” tegas Swamiji.
Dengan melakukan praktik “sadhana” maka akan membawa kita
fokus. Lakukan praktik dengan kekuatan, pikirkan dengan kuat. Lakukan tanpa
pamrih, karena pada dasarnya, apa pun yang kita lakukan selalu untuk diri kita
sendiri, bukan untuk orang lain. Semakin tanpa pamrih, seseorang akan mengalami
pemekaran hati.
Banyak manusia berpikir jika melakukan apa yang disukai bisa
membuat bahagia, meski jika itu bukan dari Yang Murni, padahal hal ini akan
membawa pada sedikit ketenangan. Orang juga cenderung mencari kedamaian dan
kebahagiaan di luar diri, padahal damai sejati sudah ada di dalam diri. Masalah lain, kita sering terlalu bergantung
pada orang, tak pernah pada diri sendiri. Tidak melukai (ahimsa) diri sendiri
dan orang lain.
“The goal of life is to feel God. God is here, now...
Do everything with sincerity,” tambah Swamiji.
Pesan dari Swami Probuddhananda juga diterjemahkan oleh
Ustad Hasan, bahwa kita butuh praktik untuk mencapai ketenangan dan kedamaian.
Dalam bahasa Islam, “Innallaha ma’ana” (Allah bersama kita). PR besarnya
adalah praktik (practice). Orang yang dekat dengan Tuhan pasti
pemberani. Praktik kedua: mencintai Tuhan dan orang lain. Praktik ketiga:
Belajar terkait pengetahuan yang membebaskan kita. Pengetahuan bahwa “I am
divine” (saya adalah Sang Sejati).
Kita juga perlu belajar kemandirian dengan tindakan swadaya,
melatih tubuh dan pikiran jadi kokoh, yang selalu hadir dalam diri kita adalah
Tuhan. Tujuan hidup paling primer: merasakan kehadiran Tuhan sekarang juga.
Fokus berarti merasakan diri kita hadir dalam kesadaran-Nya, dengan ketulusan
hati, apa adanya, dan diniatkan tujuan kita untuk Tuhan. Lakukan ahimsa (jangan
melukai siapa pun), bahkan ketika dilukai pun jangan balik menyakiti. Hal ini
sebagaimana telah dicontohkan oleh Yesus, ditampar pipi kiri, dia memberi pipi
kanan. Terakhir, bersikap rendah hati dan menyebarkan cinta kasih.
Retret hari 1, dari IG Tante Chika
Usai materi dari Swamiji dan penjelasan catatan kaki dari
Ustad Hasan, sesi berikutnya adalah tanya jawab. Berikut beberapa tanya jawab
yang sempat saya catat:
Pak Haidir: Pikiran dan hati itu kan energi yang
bukan dari kita, itu bagaimana mengatur dan mengontrolnya?
Swamiji: Karakteristik dari pikiran adalah
membagi-bagi, suka membagi-bagi, sehingga banyak dari pikiran kita berantakan
kemana-mana (sedetik kita mikirin rumah, detik lain memikirkan teman, detik
lain memikirkan tugas, detik lain memikirkan ayah/ibu/anak, dlsb, padahal ini
semua tak nyata). Untuk itu, kita butuh untuk mengontrolnya. Swamiji menekankan
bahwa kita harus melatih pikiran (train the mind) sebagaimana seorang
pawang ular yang bisa membuat ular menari karena dilatih. Maka manusia juga
harus bisa melatih pikirannya sebagaimana yang dikehendaki. Bawa pikiran ke
satu arah, cara sederhana dengan chanting atau dzikir, kalau di konteks
India ada mantra-mantra dengan bahasa Sansekerta. Ketika pikiran fokus pada
satu titik, maka pikiran akan berada di bawah kendalimu.
“You should be the master of your mind. Everything is
God. You have to experience that it is God.”
Lihat laut, dlll, kita tidak sadar. Kenapa kita tak sadar
itu Tuhan. Karena kita hanya mau melihat yang ingin kita lihat saja. Bagaimana
kita tahu dia baik, karena pikiran yang bilang. Padahal belum tentu. Kebenaran
yang kita lihat itu kebenaran dari pikiran kita. Vedanta mengilustrasikan ini
melalui kisah tambang dan ular. Ketika tambang berada di tempat gelap, kita
menganggap itu ular, dan kita ingin berlari. Lalu, orang itu memanggil orang
sekampung untuk membuktikan bahwa itu ular, padahal bukan, itu tali tambang.
Mbak Icha: "How can we train our minds not to become consumed by meaning?" (Bagaimana membuat pikiran tidak memberikan
interpretasi/arti?)
Swamiji: Engkau berusaha mengontrol pikiran dengan
cara memberi makna. Sebenarnya antara pertanyaan dan jawaban adalah satu.
Jawaban selalu ada dalam pertanyaan. Karena kau tak bisa menerima, maka engkau
akan bertanya. Keep the question as a desire to God. Semakin
menginginkan Tuhan, Tuhan akan semakin datang. Latih menempatkan satu pikiran
dengan satu keinginan, dan satu keinginan ini adalah keinginan tentang Tuhan,
sehingga Tuhan bisa termanifestasi.
Shraddha Ma menambahkan, ketika sedang terjadi mendung dan
hujan turun, itu bukan karena matahari tak ada, tapi karena memang sedang
tertutup oleh awan, atau saatnya belum tepat. Ketika seseorang tidak bisa
menyingkirkan awan gelap ini atau mengalami kebingungan, maka realisasi tidak
akan terjadi.
Mbak Tri: Bagaimana mengatasi rasa sakit, terutama
setelah melahirkan, merasakan kesakitan?
Swamiji: (Beliau bertanya pada Mbak Tri, posisi yang
nyaman seperti apa? Mbak Tri menjawab, duduk sambil bersandar). Swamiji
melanjutkan, cari posisi yang nyaman terlebih dahulu. Lalu, tembak rasa
sakitnya dengan memberikan oksigen padanya melalui nafas; lalu keluarkan,
hembuskan rasa sakit itu. “Take a breath to ease your pain.” Nafas ke
tempat yang sakit, sambil fokus. Bu Rika juga menambahkan pengalamannya, ketika
dia sakit kepala, kemudian ada yang menyarankan untuk memberikan oksigen pada
rasa sakit itu lewat nafas, kemudian sakit kepalanya menjadi lebih baik.
Bu Itoh: Iman itu kan turun naik, bagaimana agar
tetap stabil dan kita tidak menyerah dalam membina diri?
Swamiji: Practice. Ya, tidak ada jalan lain
selain praktik. Jika perlu, tambah kuantitasnya sebelum mencapai kualitas,
misal dengan melakukan meditasi selama berjam-jam. Lakukan dengan disiplin dan
tegas, sebagaimana dicontohkan oleh Bhagavan.
Peace
Oneness
Berikutnya adalah sesi sharing. Beberapa orang
mengungkapkan perasaan dan pengalamannya mengikuti retret di hari pertama, di
antaranya yang saya ingat: Bu Angela lewat retret ini lebih memperdalam dirinya
sendiri. Bu Dewi menanyakan kembali pada Swamiji bagaimana menghadapi orang
yang egonya tinggi, Swamiji menjawab, “Accept with love. Love cures
everything.” Kemudian giliran Aulia yang menceritakan pengalamannya dengan
bahasa Inggris jika dia lebih berlapang dada ketika ada kejadian terjadi di
luar kontrolnya, semisal terkait sifat teman-teman di kantornya.
Lalu, Bu Cona mengatakan saat ini dia belajar hidup dengan
berkesadaran. Awalnya, dia ingin gak terlalu agamais, tipe-tipe perempuan
mandiri, yang “lo jual, gue beli” dan gak peduli dengan pandangan yang lain,
lebih setia pada prinsipnya sendiri. Yang manarik, Bu Cona mengatakan jika
solat itu 24 jam, lima hari sekali itu cuma pengingat (reminder).
Sekarang ia tengah berfokus pada perjalanan pulang. Bu Cona ini juga yang
membawa teman-temannya yang lain, seperti Bu Tina.
Testimoni berikutnya dari Bu Amy (dosen), di perkuliahan
telah belajar terkait tarekat dan tasawuf, membentuk kesadaran lewat pemahaman.
Tugas berikutnya adalah bagaimana meningkatkan kesadaran pada kesadaran yang
murni. Lalu, ada juga sharing pengalaman dari Pak Dadu dan istri terkait
lincahnya pikiran, per jam bisa ribuan pikiran silih berganti dan perlu
dimurnikan lagi. Sharing pengalaman terakhir dari Mas Jamal, dengan
suara yang menyentuh hati, dia mengatakan jika dirinya sangat bahagia mengikuti
retret, ada vibrasi cahaya yang luar biasa dia rasakan.
Saya mengucapkan banyak terima kasih
Pada sesi sharing tersebut, Shraddha Ma juga memberi
saya kesempatan untuk bercerita. Jujur, dari awal saya mengikuti retret hingga
retret saat ini, saya sangat bahagia. Saya yang cenderung kuat di logika,
sering mengabaikan suara perasaan. Bahkan sempat juga curhat ke Shraddha Ma,
bagaimana bisa menyeimbangkan antara pikiran dan perasaan? Shraddha Ma
mengatakan bisa lewat musik. Akhirnya saya menyetel lagu-lagu rohani dari Opick
feat Gito Rollies, salah satu lagu yang menyentuh saya adalah lagu berjudul
“Cukup Bagiku (Allah)”. Di lagu itu ada lirik, “hasbi rabbi jalallah, mafi
qalbi ilallah, alalhadi solawah, lailahaillalah”, yang berarti tidak ada
hal lain di hatiku kecuali Allah.
Semenjak mengenal Vedanta juga, saya merasa saya tak
menemukan masalah lagi, hal-hal yang saya hadapi tak saya anggap sebagai
masalah, tapi sebagai tantangan. Sedikit yang bisa menyakiti saya, bahkan
cenderung tak ada. Jika dulu, saya mudah merasa kesepian, sekarang tidak lagi.
Cukup bagiku Allah, dan kesepian saya hilang. Shraddha Ma juga bilang ke saya,
“Jadikan Allah sebagai satu-satunya kekasih Isma.” Ya, itu yang tengah saya
lakukan dan coba praktikkan hingga sekarang. Lewat Vedanta pula, sebagaimana
yang dialami Bagus, saya kehilangan banyak minat akan banyak hal, terutama hal-hal
duniawi.
Bukti sederhananya adalah hari Rabu kemarin ketika main
ke Gramedia, jika dulu saya sering impulsif beli buku ini itu, ATK ini itu, atau
asesoris akademik lain, entah kenapa tiba-tiba saya merasakan semua barang yang
dijual begitu kosong, entah mengapa saya tak ingin beli apa-apa lagi. Satu-satunya
rak buku yang saya datangi tiba-tiba adalah soal spiritualitas, tapi melihat
judul-judulnya, saya tak begitu yakin dengan penulis-penulisnya, apakah dia
benar-benar telah menemukan dan merealisasikan Tuhan ke dirinya sendiri atau
belum. Karena kebimbangan itu pun, saya tak jadi membelinya. Saya lebih yakin
membaca lebih dalam lagi Al-Quran dan arti yang dikandungnya. Juga meneladani
lagi Rasulullah Muhamamd SAW, bukan sebagai subjek, tetapi sebagai sebuah laku.
Rasul bukan sebagai kata benda (noun) tapi kata kerja (verb),
seperti yang ditulis Bagus dalam skripsinya.
Saya merasa, Vedanta telah banyak menyingkap tabir-tabir tak
berguna dalam hidup saya; membuat hidup saya lebih ringkas, ringan, gampang,
terang, tenang, dan (mudah-mudahan) lebih bermanfaat bagi diri sendiri dan
orang lain.
Dalam sesi sharing itu, dua teman saya, Cakson, dan
Arwani juga membagikan pengalamannya. Cakson mengatakan dia bingung akan
melakukan apa di retret ini, dia lebih suka menggunakan nalar daripada perasaan,
materi-materi yang diajarkan di retret ini seperti mengulang kembali
pelajaran-pelajaran di kelas filsafat awal. Sementara Arwani, dia mengatakan
senang mengikuti retret ini, persoalannya terkait karakter yang kadang suka
meledak-ledak coba dia olah lagi, materi-materi juga mengingatkannya untuk jadi
manusia yang lebih baik lagi. Sejak awal, saya memang tak ada ekspektasi apa
pun selain memberikan jalan pada Cakson dan Arwani, selebihnya adalah urusan mereka
dan Tuhan.
Meditasi nidra
Merilekskan tubuh
Di sesi hari pertama ini, di penghujung retret ada meditasi
nidra. Tante Chika juga membawakan lagu beliau yang saya sukai, “Padamu
Kubersimpuh” (Tante..., aku sudah hafal lagumu lho, hehe). Disusul juga dengan
lagu John Lennon berjudul “Imagine”. Juga Mars Vedanta, I am The
Light of My Soul....
Pada hari pertama ini, saya pribadi ingin berterima kasih
pada Ibu Rika yang telah mengizinkan saya dan dua teman saya untuk menginap.
Terima kasih pula untuk kebaikan dan keramahannya, sehat selalu untuk Bu Rika
sekeluarga. Semoga Tuhan selalu memberkahi.
Hari 2: Vedanta Sebagai Pengetahuan Tertinggi
Pada hari kedua, saya bangun Subuh untuk siap-siap ke
Jakarta, karena ada upacara peringatan Hari Pahlawan 10 November di kantor. Ya,
setelah bertahun-tahun gak ikut upacara, saya ikut upacara lagi. Pulang-pergi
Bincarung-Kantor memakan waktu sekitar 3 jam, sementara upacara sekitar
setengah jam. Di hari Minggu itu, KRL sedang ramai-ramainya, pas berangkat saya
masih dapat tempat duduk karena datang setelah subuh, tapi pas pulang, berdiri
rapat dengan banyak orang, suasana KRL yang seperti pindang pun terjadi. Saya
tiba kembali ke rumah Ibu Rika sekitar jam 11 siang. Saya masih bisa sedikit
mendengar pengetahuan-pengetahuan yang dibagikan oleh Swami Probuddhananda.
Saat itu Swamiji bertanya terkait apa tujuan hidup dan
bagaimana meraihnya? Dunia ini banyak distraksi, banyak suara, semua ganggu
kita. Ganggu kedamaian kita. Kita terbiasa ketika mendapat kesulitan dari luar,
pelariannya juga sering mengambil dari luar. Ketika solusi gak datang, kita
sering menyerah, padahal kalau bicara dunia, kadang tuh gak pernah ada solusi
final. Vedanta di sini mengajak kita untuk melihat problemnya? Pikiran tak
pernah habis, berapa banyak pikiranmu kemarin? Pikiran selalu memproduksi nafsu
(desire). Keinginan itu menciptakan energi. Pikiran bilang, apa pun
harus aku lakukan, mau ini, mau itu, lakukan. Keinginan selalu ada, selalu
lahir, lahir, dan lahir.
Tubuh, pikiran, emosi, spiritual, yang selalu ke eksternal
itu karena seseorang mendasarkan pikirannya pada hasrat. Kita tak punya apa-apa
selain nafsu-nafsu kita keluar. Kita tak punya kekuatan, helpless. Jika
ingin meraih kekuatan, blissfull, seseorang pertama perlu menjaga jarak
dengan nafsu (desire). Nafsu yang telah menjadi teman yang begitu kita
cintai, perlu kita lihat sebagai lawan yang mengkhianati. Pikiran tidak nyata,
jangan ikuti dia lagi. Kebenaran sejati selalu tetap, seperti cinta anak ke
ibu. Selain cinta pada Tuhan, cinta yang tak berubah itu cinta ibu. Kita perlu
latihan menjaga jarak. Kita penyaksi; observe the mind. The observer of mind.
Swamiji mengilustrasikan pikiran ini seperti anak kecil yang
berlari di dalam ruangan, yang bertindak seenaknya, menabrak sana-sini dan
membuat ruangan jadi berantakan. Kita tak bisa mengontrolnya selain
membiarkannya. Kita hanya perlu bilang ke anak itu, “Do what you want to do,
I only just see you. I’m watching you.” Pikiran akan selalu menarik
perhatian kita, ketika tertarik, kita sering tak sadar. Kita jadi “powerless”
dan mengikutinya, padahal tinggal mengawasinya saja.
Materi dari Swamiji hari-2
Sesi berikutnya adalah tanya-jawab, Bu Rika bertanya terkait
penjelasan lebih lanjut dari mengobservasi pikiran. Ketika solat semisal,
pikirannya tidak di solat, tidak pada Allah, tetapi melompat dari memikirkan
makan malam, memikirkan kedatangan anaknya, dan pikiran lain.
Swamiji menjawab, kita perlu pagar, batas, borderline,
boundaries, atau istilah Vedanta-nya membuat diskriminasi (discrimantion)
mana yang murni dan tidak murni. Ketika kamu gak mengganggu pikiran, kamu juga
tak akan diganggu. Lihat pikrian dari jauh, dia akan pergi, dan jadi damai.
Katakan pada pikiran, “Saya tidak tertarik padamu, saya hanya lihat kamu.” Say
to yourself: I am strong, I am good. Kita punya kekuatan tak terbatas (infinite
power), realisasikan itu. Sama kondisinya seperti kita sedih, apa yang kita
lakukan? Melarikan diri dari kesedihan. Di dunia ini nothing is permanent.
Ketika kita bahagia, lukanya ada di belakang pintu (yin-yang). Swamiji
bertanya, waktu yang paling gelap itu kapan? Dia bilang sebelum subuh, tapi
kita paham jika pagi akan datang. Ketakutan adalah kegelapan. Ketika melihat
alasan di belakanganya, tidak ada alasan yang jelas.
“Try not to be attached, love is God. Love gives me
happiness. [In worldly condition] we are not actually loving it, but it’s
attachment. Don’t be attached to anything/anyone.”
Pertanyaan lain dari Pak Yulianto, yang jauh-jauh dari Jambi
ke Bogor untuk mengikuti retret Vedanta. Dia naik bus seharian. Lewat Shraddha
Ma, Pak Yul bertanya, “Bagaimana menghadapi orang kesurupan?” Lalu dijawab oleh
Swamiji, orang yang kesurupan tak berdaya. Di India ada tujuh tahap setelah
mati, dan lancar tidaknya tahap ini tergantung karma. Misal ketika meninggal
karena bunuh diri, maka energi/karmanya jadi jelek, tidak ke atas, tapi tinggal
di atmosfer. Arwah yang tak bisa naik ini punya desire, dan masuk ke
tubuh orang-orang yang lemah, yang pikirannya gelap. Orang lemah narik energi
gelap itu. Bagaimana memperkuat diri? Dengan mengingat Tuhan, chanting,
dzikir, baca kitab suci. Dan untuk konteks ini, doakan orang yang kesurupan
itu.
Lalu, ada pertanyaan terkait Law of Attraction (LoA).
Si ibu ini bilang, dia diajarkan untuk jadi orang sukses. Lalu dibayangkanlah
di pikirannya punya rumah di PIK, lalu naruh foto, dan membiarkan semesta
bekerja. Tapi si ibu merasa jika larinya malah ke nafsu, dia bertanya, bolehkah
membayangkan rumah/mobil mewah (LoA) seperti itu?
Swamiji menjawab, LoA sekarang menjadi sesuatu yang umum.
Namun, LoA yang disebutkan si ibu belumlah hal yang sejati. Kalau kita
memvisualisasikan Allah, maka yang kita dapat juga Allah. Di Hindu ada konsep terkait
dengan kehidupan manusia atau disebut juga catur purusa artha: karma (perbuatan
baik/buruk), artha (kemakmuran ekonomi), kama (kesenangan, cinta, nilai-nilai
psikologis), dan moksa (bebas dari penderitaan). Meraih moksa ini yang tidak
mudah.
Sesi berikutnya adalah makan siang. Kami makan siang dengan makanan
khas Bogor, tauge goreng sama mie kuning gitu (mie glosor dari Bogor). Setelah
makan dan istirahat, sesi selanjutnya diisi oleh materi dari Kang Abu Marlo.
Materi dari Kang Abu Marlo
Siang itu, Kang Abu mengatakan bahwa dirinya tidak hendak convicing
anything, tapi lebih ke menambahkan catatan kaki. Dia meminta peserta
retret untuk mengosongkan gelas, lalu membuka hati dan pikiran. Kang Abu
menjelaskan, Vedanta adalah ilmu pengetahuan tertinggi (Ved: pengetahuan, Anta:
cutting edge, the highest). Di dunia ini banyak orang yang tak sampai ke
pengetahuan tertinggi karena sering meributkan perbedaan, misal soal kata milad
dan natal yang berarti kelahiran. Untuk itu seseorang perlu main jauh agar tahu
banyak perspektif.
Vedanta ini seperti jalan langsung (jalan tol) sebagaimana
yang disebut dalam surat Al-Fatihah. Dalam Islam ada tingkatan syariat,
thariqat, dan hakikat. Kalau diibaratkan seseorang sedang mengupas mangga, maka
kulit mangga adalah syariatnya, cara mengupas mangga adalah thariqatnya, dan
tahu rasanya mangga dan tidak ada keraguan di sana adalah hakikatnya. Untuk
mencapai hakikat seseorang mesti bersatu, semisal seperti makan nasi. Orang tak
bisa kenyang jika hanya mengimajinasikan nasi, dia harus menyatu dengan
memakannya.
Kembali pada pengertian agama yang paling dasar, a berarti
tidak, gama berarti kacau, secara sederhana agama adalah jalan agar tidak
kacau, atau jalan keteraturan.
Kang Abu menerangkan
Di dalam Vedanta, konsep SELF jadi hal penting, bahwa semua
yang kita butuhkan ada di dalam, bukan di luar. Atau dalam konsep Islam: ketika
kamu kenal dengan dirimu, kamu akan mengenal Tuhanmu. Vedanta bicara tujuan,
caranya bisa dari jalan berbagai agama; seperti tujuan berolahraga adalah
sehat, olahraganya bisa macam: lari, sepeda, badminton, renang, dll, kalau
olahraga satu menyalahkan olahraga yang lain ini aneh. Banyak orang yang bilang
jika “tujuan” itu bisa diraih “nanti” (mau menuju sehingga menciptakan jarak,
ada ruang dan waktu), padahal tujuan itu bukan sesuatu yang linier, tapi
inheren di dalam diri, bukan saat nanti, tapi “setiap saat”.
Kang Abu bertanya, siapa orang yang paling sering kamu ajak
bicara? Tak lain adalah SELF, diri sendiri, dan yang paling peduli dengan diri
sendiri adalah SELF pula. Vedanta mengajari kita untuk mengenal diri sendiri, sebab
kebanyakan orang yang terlalu melihat ke luar, usil ke orang lain. Seseorang
yang memfokuskan dirinya keluar akan kehilangan informasi yang di dalam. Diri
perlu diajak ngobrol pertanyaan-pertanyaan seperti, siapa aku? (Who am I?).
Kang Abu mengajak untuk menutup mata dan menanyakan sejenak pertanyaan itu.
Beberapa di antaranya akan menjawab who am I dengan jawaban nama. Tapi
ketika nama itu diperdalam lagi, siapa yang ada di belakang nama? Nama itu
siapa? Apakah nama itu benar-benar kita? Kita akan menemukan jawaban lain.
Untuk mengenali diri sendiri pula, Kang Abu mengajak kita
untuk menengok orang-orang di kanan dan kiri. Kebanyakan akan melihat wajah
(dia imut, cantik, ganteng, dll, atau timbul pula impresi yang berbeda-beda
seperti senang hingga kesal). Kang Abu bertanya, kenapa antara orang satu
dengan yang lain menciptakan perasaan yang berbeda?
Hal yang menarik bagi saya pribadi adalah bagaimana Kang Abu
menjelaskan konsep abstrak semisal Tuhan ke dalam contoh sederhana yang logis.
Begini, jika diibaratkan papan itu Allah, maka gambar-gambar yang ditulis di
dalam papan itu juga ada di dalam semesta Allah. Ketika papan itu tidak ada,
maka gambar-gambar (lingkaran, kotak, segitiga—yang punya bentuk dan batas) juga
tidak ada. Termasuk dia mencontohkan terkait kolong papan tulis, kolong papan tulis
tidak akan ada ketika papan tidak ada. “Kita semua hanya kolongnya Tuhan. Kita
ada karena keberadaan Allah. Allah itu sang Realitas,” jelasnya. Dalam bahasa
Sanskerta, “Tat Twam Asi” aku adalah itu, ia adalah kamu, segala makhluk sama.
Selfie bersama
Sebagaimana manusia, dia punya batasan dan bentuk, yang
kemudian menghasilkan nama. Ketika semua nama dilepas dari keberadaan, maka
hanya akan tinggal satu papan tulis. Perumpamaan lain adalah pohon yang
memiliki akar, batang, daun, buah, semua bagian ini tak bisa dilepaskan dari
pohon. Akar tidak akan ada jika pohon tidak ada. Ibarat lain seperti ombak dan
laut, ombak selalu berada di dalam laut (ada ombak Islam, ombak Hindu, ombak
kepercayaan lain, tapi ada di dalam lautan yang sama). Ketika mengetahui fakta
ini, seseorang tidak akan tega untuk menjelekkan orang lain, karena kita berada
pada papan yang sama. Ketika menyakiti orang lain, sejatinya juga kita
menyakiti diri kita sendiri. Itu kenapa setelah solat kita diminta untuk tengok
kanan dan tengok kiri, agar bisa damai di kanan dan kiri, mendamaikan semua.
Sayangnya, manusia hanya melihat bentuk dan nama, lupa pada
semesta besar. Orang juga sibuk berkelahi terkait lingkaran, kotak, dan
segitiga; padahal semuanya tampil di satu hal: papan tulis. Dengan logika
seperti ini, maka logis jika Tuhan tak pernah terpisah dari diri kita, dia
melingkupi kita. Menanyakan Tuhan berada di mana sama halnya dengan bertanya
pada ikan, air ada di mana? Atau bertanya pada segitiga, di mana letak papan
tulis. Dalam bahasa Al-Quran, ini telah digambarkan di dalam QS Al-Baqarah:
115, "Kemana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah". Tuhan dalam
bahasa Quran lainnya juga lebih dekat daripada urat nadi diri sendiri.
Diri kita yang sejati bisa dilihat dari tampilan, dan
tampilan itu mempunyai sumber yang berasal dari ruh, kesadaran, dan Tuhan.
Sejatinya, kesadaran setiap orang adalah sama, yang berbeda adalah yang
menutupinya, atau cover-nya, hijabnya, atau auratnya. Dalam bahasa IT,
hijab ini disebut juga dengan “program”. Manusia itu berasal dari satu sumber,
yang membedakan adalah programnya. Program bisa dilihat dari nama-nama yang
dilekatkan pada kita, program juga bisa menjelma agama. Program ini berasal
dari pengalaman. Program yang sulit diubah adalah program yang telah mengental
lama.
Kenapa di dalam meditasi mata ditutup? Tujuannya untuk
melepaskan program. Ketika mata ditutup, maka hati dan pikiran akan lebih
fokus. Kalau mata masih melihat, potensi melihat drama kehidupan juga luas. Ini
yang harus disadari: kesadaran tak lapuk oleh apa pun. Tuhan selalu ada di
dalam dirimu, kamu saja yang gak sadar. Sama seperti dengan sumber layar
bioskop, drama yang ditampilkan bisa berubah-ubah tapi berasal dari satu layar.
Drama hidup ini diibaratkan Kang Abu seperti pembelajaran ketemu tamu, dan tamu
yang paling penting adalah pasangan dan anak (keduanya jadi karma terbesar).
Ilmu dari puncak ilmu ini juga bisa sia-sia jika hanya
berhenti di pengetahuan alias tidak dilatih. Oleh sebab itu, Kang Abu
mengingatkan ada 15 cara, eh, 30 cara untuk meraihnya: satu berlatih, dua
kembali ke nomor satu, tiga kembali ke nomor satu, begitu seterusnya.
Sesi dilanjutkan dengan tanya jawab dengan Kang Abu.
Mbak Icha menanyakan, “Tips mengenali program yang
menghalangi kita?” Kang Abu menjawab: (1) Program paling bahaya itu sombong,
yang sudah dilakukan oleh setan. Ketika sombong ada di dalam diri, itu sudah
otomatis programnya keos. Program lama juga bisa berbentuk berhala-berhala. (2)
Stop membuat kesimpulan dalam hidup. Dunia tidak berhenti di kata “harus”.
Misal terkait pernikahan, kemudian bercerai, seseorang dengan mudah
menyimpulkan jika dirinya gagal, padahal hidup masih terus berlanjut. Kalau
diibaratkan pertandingan sepak bola, di menit ke-30 sudah nyerah, padahal masih
ada 60 menit yang belum terjadi. Orang juga sering memberi titik dalam hidupnya
sendiri, padahal hidup penuh koma, hidup itu dinamis.
Retret hari-2
Pertanyaan lain (saya tidak hafal nama yang bertanya),
terkait orang yang suka marah, itu bagaimana? Kang Abu menjelaskan, marah itu
adalah output dari ketidaktahuan. Bukan kurang iman, tapi kurang
pengetahuan. Dia mendorong agar jangan berhenti belajar, sering-sering
mengosongkan gelas dengan cara mengaplikasikannya, nanti akan ketemu yang baru
lagi. Karena kalau kebanyakan pengetahuan tanpa praktik juga susah. Semakin
banyak data akan semakin banyak pilihan. Sedangkan kalau dipresentase
kesuksesan seseorang, IQ (intelek) menyumbang 4%, EQ (perilaku) 46%, dan
sisanya 50% (kesadaran) adalah SQ.
Pertanyaan lain terkait cara melatih spiritualitas pada anak,
baik anak di dalam rumah maupun di sekolah. Kang Abu menanggapi, sebagai
guru/orangtua, seseorang harus memberi teladan terlebih dahulu, karena anak
pada umur 0-7 tahun bisa dikatakan 100% akan meniru. “Gak ada orang yang
berubah karena wejangan, tapi karena contoh,” tegas Kang Abu.
Pertanyaan berikutnya, dari seorang ibu yang tinggal di
Jakarta. Si ibu bercerita terkait pengalamannya melakukan meditasi untuk
merilis kemarahan (dicontohkan psikologi orang Jakarta yang kesenggol sedikit
sering emosi), marah dirilis melalui kekuatan Tuhan, diminta biarkan Allah
bekerja. Namun si ibu ragu, benarkan cara itu? Efektifkah? Bukankah itu di sisi
lain kita juga menyuruh Tuhan? “Kenapa saya nyuruh-nyuruh Allah? Saya kemana
saja?” tanyanya. Dan para peserta saling tertawa mendengar cerita si ibu.
Kang Abu menjawab, marah bukanlah fitrah. Orang bisa marah
karena marah itu dilatih. Marah itu skill (yang bisa ditulis di CV, haha,
bercanda). Marah lawannya adalah sabar, sabar juga termasuk skill,
kenapa bisa sabar? Karena sekali lagi, dilatih/latihan/practice.
Seberapa lama melatihnya? Tergantung seberapa lama kita memprogram skill
itu. Kang Abu mencontohkan, ada seseorang yang selama 40 tahun hidupnya
mengumpulkan lemak di badan dari makanan-makanan, tapi dia ingin kilat selama
10 tahun jadi sixpack, ya susah, karena memprogramnya jauh lebih lama.
Jadinya tidak bisa cepet.
Ibu Itoh kembali bertanya, kita mesti ke kesadaran/ruh, tapi
gejolak jiwa selalu ada. Kadang di atas garis, tapi juga kadang di bawah garis.
Bagaimana biar konsisten di jalan Laillahaillah?
Kang Abu berkomentar, sekali lagi, dalam hidup gak ada kata
HARUS. Jangan mencari yang ideal, misal ketika meditasi berharap nemu cahaya
yang ungu ke-pinkpink-an, tidak, hidup itu mengalir, gak harus nunggu jiwa
bersih baru meditasi, yang dibutuhkan adalah jiwa yang tenang. Selain itu tidak
ada perasaan yang salah, yang ada adalah responsnya yang salah. Jangan pula
menolak perasaan yang ada. Sesuatu yang kita tolak akan datang lebih kuat.
Semisal, rasa kesal sedang menghampiri kita, energi kesal ini bisa dibagi ke
dalam dua respons: untuk melempar gelas atau mencuci kamar mandi. Patah hati
juga sama, responsnya bisa konstruktif, bisa destruktif. Kalau di tangan Taylor
Swift, patah hatinya bisa jadi lirik lagu. Atau patah hati ini bisa disalurkan
pula lewat status yang tak karuan, padahal yang membacanya pun kebanyakan tak
peduli. Emosi patah hati pun bisa jadi energi. Rasa kesal juga bisa diatasi
dengan bergerak. Itu kenapa olahraga di sini penting, karena olahraga bisa
menstabilkan akal, pikiran, dan semangat. “Rajin olahraga berarti juga
memperbaiki akhlak,” kata Kang Abu.
Pulang dari retret Bogor, masih sempat ketemu Bagus
Sesi retret hari kedua ini ditutup dengan kata penutupan
dari Bu Rika. Bu Rika berkata: “Alhamdulillah retret selesai. Terima kasih
untuk Swamiji, Shraddha Ma, Tim IVS telah merealisasikan retret di Bogor.
Semoga bisa memperkuat tujuan kita mencapai ‘The One’, jadi bagian
Allah, bukan mencari di luar, tapi di dalam kita bersama-Nya.”
Oiya, di hari terakhir ini saya juga senang sekali bisa membeli buku karya Swamiji yang berjudul "With Love Swami Probuddhananda", dapat tanda tangan beliau juga.
Buku Swamiji
Pelajaran dari Retret Bandung, 13 November 2024
Saat retret di Bandung, tepatnya di rumah Ayas, saya sempat
mengikuti retret via Zoom. Beberapa materi dan sharing yang saya dengar
terkait dengan cerita dari Pak Waller, karena miknya di awal kecil, jadi tidak
begitu saya dengar. Dilanjutkan dengan Uni Elma, yang mengatakan jika dengan
meditasi, bisa membuatnya instropeksi diri, semisal, kenapa bisa marah? Uni
juga bisa merasakan fokus dengan cepat melalui meditasi. Lalu lanjut Bu Yulia,
yang berbagi pengalaman ketika memandikan nenek yang saya temui ketika retret
di rumah Aulia, beliau wafat. Bu Yulia bercerita saat memandikan, jenazah
benar-benar tenang (ada mitos ketika orang meninggal jadi kaku ketika
dimandikan). Dari sana Bu Yulia banyak belajar agar nanti bisa kembali ke Yang
Maha Kuasa dengan husnul khotimah. Bu Yulia juga mendedikasikan waktu
setidaknya satu jam untuk meditasi setiap hari.
Pak Waller, Uni Elma, Bu Yulia
Sharing berikutnya dari dua teman Ayas. Salah satunya
bernama Lumbung Krisnadi Alam, yang mengenal Shraddha Ma pertama kali dari channel
Ngaji Roso. Awalnya dia ingin ikut retret ke Bogor, tapi dia sedang
mendaki, “Ya sudah, belum jodoh,” katanya. Krisna mengaku jika dirinya tipikal
orang yang tidak suka ada orang yang menyalahkan/membenarkan. Kalau dia bertemu
orang seperti itu langsung gak sreg. Kebetulan dia juga orang Bali, beragama
Hindu, dan merasa klop dengan Vedanta. Sejak kecil Krisna punya level kesadaran
tersendiri. Dia merasa tenang. Dia mengaku tak bekerja, katanya tak ada hal
lain yang dicari, uang dia sudah ada, meski tak banyak. Di Bali pola pikirnya
ini bisa dianggap gila. Shraddha Ma mengatakan jika itu tak salah. Setiap orang
memiliki karma yang berbeda, dan lahir pada kesadaran di level tertentu. Kesadaran
seseorang tak bisa dilihat dari usia, meski Krisna masih muda (usia 26), ini
adalah karma baik Krisna.
Teman-teman Ayas
Dunia ini adalah sekolah yang panjang. Berkaitan dengan
kerja, Shraddha Ma bertanya, siapa yang sebenarnya bekerja? Banyak orang yang
mengklaim, “akulah yang melakukan kerja”. Padahal kekuatan itu dari Tuhan.
Pergunakan waktu dengan baik. Ketika seseorang sudah berada di level spiritual
tertentu, harta beda tak perlu dicari lagi.
Membina diri
Ayas juga berbagi pengalaman, retret yang dilaksanakan di
rumahnya juga menjadi kebanggaan tersendiri bisa kedatangan Tim IVS. Sejak
mengenal IVS sekitar enam bulan yang lalu, dia merasa jatuh cinta dengan
orang-orangnya, yang sejuk, teduh. Dia juga meluangkan waktu setiap hari untuk
meditasi. Meditasi dari berbagai penjuru. “Bukan pilihan lagi, tapi kebutuhan,”
kata Ayas. Pertemuannya dengan IVS juga menghilangkan banyak pertanyaan di
kepalanya, sehingga tak ada yang harus ditanyakan lagi. Shraddha Ma
menambahkan, pikiran cenderung akan berkurang melalui meditasi. Hal-hal kotor
pun akan meredup sendiri dengan meditasi.
Retret di rumah Ayas
Yang membahagiakan pula, dapat kabar dari Rina (anak Bu
Nunung) sudah kembali sehat dan ikut retret di Bandung. Rina baru saja dirawat
di rumah sakit, sekarang Rina sudah ceria lagi. “Sangat berasa sekali pas habis
sakit, perubahan lebih sabar dan bahagia,” ujarnya. Bu Nunung juga mengatakan,
diberikan rasa damai dan sabar yang luar biasa. Sabar menurutnya bukan di
mulut, tapi di hati. Dia menerapkan untuk rajin meditasi di mana pun, kapan
pun.
Terakhir, ditutup dengan penebalan materi dari Ustad Hasan.
Menurutnya, Krisna adalah anomali, masih muda tapi sudah tak ingin apa-apa,
merasa cukup. Sementara di luar masih banyak orang mengejar dunia. Kita
instrumen Tuhan. “I am not the doer.” Hidup seperti bunga lotus. Apapun
semuanya dari Tuhan.