Yesterday, Mas Irfan Jalan Pulang talked about this short story, that inspired him to write the song "Kepada Ytc". It's about how can the couple that love each other to seperate with a good way. But, every lyric has their different interpretation, Mas Danto Sisir Tanah interpreted "Kepada Ytc" song related with Papuan conflict. Although as literal from the lyric talked egoist side from person who fall in love, "Bagaimana mungkin dua orang yang saling mencintai bisa mengakhiri cerita dengan baik-baik? bagaimana mungkin aku mendoakanmu agar kau temukan seorang yang lebih baik dariku? dan bahagia selamanya?" Then, I read this short story, in personal ways, this is the best short story from AS Laksana that I've ever read.
https://pekanbaca.blogspot.com/2015/02/perpisahan-baik-baik.html
Perpisahan Baik-Baik oleh AS Laksana
RUMAH makan langganan kami terlalu riuh sore itu dan kami
hanya berdiri di ambang pintunya mengamati keriuhan di dalam rumah
makan. Seorang pelayan mendatangi kami, mengatakan ada dua orang
merayakan ulang tahun dan salah satu membawa anak-anak panti asuhan.
"Semua orang berulang tahun hari ini," kata Robi. "Untung Mama di
Semarang. Kalau ia di sini, pasti dibawanya juga anak-anak panti asuhan
kemari."
"Mama berulang tahun hari ini?" tanyaku.
"Ya."
Sebenarnya masih ada tempat duduk kosong yang bisa
kami tempati, tetapi Robi menginginkan suasana yang lebih tenang untuk
bercakap-cakap. Maka, kami beralih ke rumah makan lain di seberang jalan
yang lebih sepi pengunjung dan memilih tempat duduk di dekat jendela.
Kami duduk berhadap-hadapan di meja untuk dua orang dan aku menghindari
bertatap mata dengannya. Aku tahu apa yang ia ingin bicarakan. Kami
sudah berkali-kali membicarakannya setahun belakangan dan topik itu
terasa kian menyakitkan dalam tiga bulan menjelang ia berangkat.
Pelayan rumah makan datang ke meja kami, menyodorkan daftar menu, dan
kemudian berdiri di samping meja menunggui kami memutuskan pilihan.
"Ada ikan hiu, Ratri, mau coba?" tanya Robi. Suaranya terdengar sedih.
Aku menggeleng.
"Konon penting mencoba hal-hal baru, termasuk dalam soal makanan."
"Maaf, Pak," kata pelayan, "Hiunya kosong. Itu menu pesanan."
"Maksudnya?" tanya Robi.
"Kalau mau, Bapak bisa pesan sehari atau dua hari sebelumnya."
Robi kembali menekuni daftar menu, lama sekali, kubayangkan seperti malaikat meneliti daftar kesalahan orang yang baru mati.
"Kau pernah melihat film ikan hiu, Rob?" tanyaku. "Bayi-bayi ikan hiu
sudah harus bertarung dan saling memangsa sejak di dalam rahim
induknya."
"Menarik, aku malah baru dengar itu sekarang," kata Robi. Matanya tetap di daftar menu.
"Sebetulnya menyedihkan," kataku.
"Kupikir telur-telur hiu menetas di luar rahim induknya."
"Itu telur itik."
"Maksudku seperti ikan badut di film Nemo. Induknya menaruh telur di semak-semak dasar laut dan mereka menetas di luar."
"Hiu tidak begitu. Jadi, dari sekian bayi di dalam rahim, yang keluar
hanya yang berhasil memenangi pertarungan. Kau tega memakannya setelah
ia berhasil mempertahankan nyawa dan selamat dari pertarungan?"
Robi mengeluarkan gumam, seperti hendak menjawab tetapi tidak jadi, dan,
setelah diam sebentar, ia lantas menyebutkan menu yang ia pilih. Aku
memesan menu yang sama agar mudah saja. Pelayan mencatat dan kemudian
meninggalkan kami dan aku mengarahkan mataku ke jalanan. Dua remaja
lelaki dan perempuan melintas di trotoar, bergandeng tangan, seperti dua
figuran numpang lewat di layar film. Di belakang mereka segerombol
remaja berjambul, persis kawanan kasuari.
Beberapa tahun lalu, saat kami belum lama berpacaran, pernah kami
melihat serombongan anak muda dengan penampilan seperti itu di
alun-alun, berjambul juga, dan Robi tiba-tiba mengajukan pertanyaan
iseng, "Kau bisa menebak apa cita-cita mereka?" dan aku menjawab
sekenanya, "Menjadi ustad, mungkin. Ada pelawak yang rambutnya persis
mereka, tidak lucu sebagai pelawak, dan sekarang ia menjadi ustad."
Sekarang kami kehilangan kelakar dan mungkin tampak sebagai dua orang
yang sama-sama tertekan. Kucabut beberapa lembar kertas tisu dari
tempatnya. Permukaan meja terasa agak basah dan lengket dan aku
mengelapnya dengan kertas tisu itu. Telingaku menangkap suara jalanan,
dengung kipas di langit-langit, bunyi peluit dan aba-aba tukang parkir,
dan akhirnya suara Robi. Ia terdengar lebih murung ketimbang saat
menawarkan menu ikan hiu, seolah-olah ini hari terakhir kami hidup di
muka bumi.
"Jadi kita tak akan pernah menjadi suami istri, Ratri?" tanyanya.
Aku tahu ia akan membicarakan hal ini dan aku tidak ingin membicarakannya.
"Bisa kita membicarakan hal lain, Rob?" kataku. Mataku tetap melihat jalanan.
"Tentang apa misalnya?"
"Apa saja, tapi kumohon jangan bicarakan urusan itu sekarang."
"Baiklah, tapi aku tak punya topik lain. Kau saja yang memilih topik pembicaraan."
"Rob...."
"Ya?"
"Apakah kita tidak bisa selamanya menjadi sepasang kekasih?"
"Maksudmu?"
"Apakah kita harus menjadi suami istri?"
"Tidak, jika kau tak menghendakinya."
"Tapi kau menghendakinya."
"Ya."
"Dan kau sudah tahu apa yang kupikirkan."
"Ya, tapi aku tak paham."
"Karena kau tidak mau paham."
"Mungkin. Tapi kau juga tidak mau memahamiku, bukan?"
"Aku hanya tidak ingin membicarakan hal itu sekarang"
"Dan kapan kau ingin membicarakannya?"
"Pada saatnya, tapi tidak sekarang."
"Kita sudah berhubungan tujuh tahun, Ratri, dan lusa aku harus pergi."
"Aku tahu."
"Tahun lalu, ketika aku tahu bakal ditempatkan di Venezuela, kubayangkan
kita akan berangkat bersama-sama. Ternyata tidak bisa. Lalu kupikir aku
akan berangkat lebih dulu dan kau menyusul bulan berikutnya."
"Aku tak bisa meninggalkan pekerjaanku, Rob, kau tahu."
"O, jadi karena urusan pekerjaan?"
"Rob...."
"Ya?"
"Kenapa kau tidak meninggalkan aku sejak waktu itu?"
"Sejak waktu itu?"
"Ya, sejak—'*
"Sejak kau masuk rumah sakit? Aku tak pernah memikirkan hal itu."
"Aku tak akan sakit hati jika kau melakukannya. Maksudku, aku tak akan menyalahkanmu."
"Baiklah."
"Apa maksudmu baiklah?"
"Mencoba memahamimu."
"Terima kasih."
"Jadi, sekarang aku tak akan mengajukan permintaan apa-apa lagi kepadamu. Dan itu berarti hubungan kita berakhir."
"Berarti kita tidak bisa hanya menjadi sepasang kekasih?"
"Tentu bisa, Ratri. Bisa sekali. Dan sepasang kekasih bisa menikah dan tetap menjadi sepasang kekasih selamanya"
Aku melihat sesuatu yang berbeda di dalam benakku dan kepalaku menggeleng-geleng begitu saja, cukup lama.
"Kau hanya melihat hal yang menakutkan tentang pernikahan, Ratri, dan
kau memelihara ketakutanmu, dan kau tidak mempercayai aku. Kau juga tak
mau percaya bahwa Mama bisa menerimamu."
"Aku minta maaf, Rob."
"Lucu juga bahwa kita harus berakhir seperti ini, pada hari ini, pada tanggal ini. Kau tahu sekarang tanggal berapa?"
"Dua belas."
"Dua belas Mei, hari kita jadian."
"Oya? Kau mencatatnya?"
"Aku mengingatnya, sebab sama dengan hari ulang tahun Mama."
"Kau tak pernah memberi tahu itu."
"Barusan sudah kuberi tahu."
"Sebelum ini maksudku."
"Mungkin karena aku malu. Atau sungkan dianggap anak mami, apa-apa harus
selalu dikaitkan dengan Mama. Tapi sekarang kau sudah tahu bahwa sejak
hari ini aku punya tiga hal yang kukenang pada tiap dua belas Mei: ulang
tahun Mama, hari kita jadian, dan hari kita bubaran."
"Kau marah padaku?"
"Tidak"
"Aku minta maaf."
"Tak ada masalah. Setidaknya ada kepastian tentang akhir hubungan kita."
"Aku..." suaraku tersendat. "Kau tahu betul apa yang selalu mengganggu pikiranku."
"Bisa kita bicara topik lain saja, Ratri? Sekarang aku yang minta."
"Rob...."
"Ya?"
"Boleh kutelepon Mama?"
la diam beberapa saat. Aku mendengar tarikan napasnya.
"Kupikir tak usah" katanya, "Biar aku saja yang menyampaikan soal kita."
"Aku mau mengucapkan selamat ulang tahun," kataku.
"Tak usah, lah."
"Oh, oke! Oke!"
"Atau nanti saja setelah kita di rumah masing-masing."
"Tak usah, lah."
Sunyi lagi. Robi mengangkat ponselnya dan menekan-nekan tombol dan kemudian menempelkannya ke telinga kanan.
"Halo, Ma... Sedang apa? ... Ya, ya, sudah, semuanya sudah beres. Besok
pagi aku pulang dulu, pesawat paling pagi, lumayan ada waktu sebelum
lusa. Sebentar, Ma, sebentar, ada yang mau bicara."
Ia menyodorkan ponselnya kepadaku; tanganku agak tersendat menerimanya, juga suaraku:
"Halo, Ma. Ini Ratri. Selamat ulang tahun, semoga panjang umur, selalu sehat, selalu cantik, dan semakin dicintai oleh Papa."
Ia menanyakan apakah persiapan Robi benar-benar sudah beres semua.
"Sering teledor anak itu," katanya. Dan seterusnya dan seterusnya dan
pikiranku buyar.
"Ya, Ma, ini Robi mau bicara lagi."
***
TERAKHIR aku pulang ke Semarang tiga bulan lalu, mengambil cuti hari
Jumat karena Kamis tanggal merah. Mama sedang duduk di teras membaca
buku cerita dan anak bungsu Mbak Warni duduk menyimak di sebelahnya.
Anak itu, usianya hamper lima tahun, berlari menyongsongku saat aku
turun dari taksi, meraih tanganku dan menciumnya. Kukatakan kepadanya
aku membawa oleh-oleh special untuknya dan untuk kedua kakaknya. "Mau
tahu?" tanyaku.
Ia memandangiku.
"Kukira baru besokkau datang, Robi," kata Mama. "Kau bilang Kamis, bukan?"
"Sekarang ini Kamis, Ma," kataku.
"Benarkah? Bukannya Rabu sekarang?"
"Ragil," kataku pada si bocah, "coba kasih tahu Eyang sekarang hari Kamis, bukan Rabu."
"Sekarang hari Kamis, Eyang. Bukan Rabu!" teriaknya.
"He, sudah pintar kau. Sudah pantas punya adik," kata Mama. "Robi, kau sudah tahu empat bulan lagi Ragil akan punya adik?"
Mbak Warni sudah bekerja di rumah ini sejak aku kanak-kanak,
menggantikan pembantu sebelumnya yang berhenti bekerja karena menikah.
Kurasa umurnya tak beda jauh dari umurku. Aku kelas empat ketika Mbak
Warni mulai bekerja; rambutnya panjang dan tubuhnya sebesar anak kelas
enam, namun ia tidak bersekolah. Aku menyukainya, sama seperti aku
menyukai Nuning, teman sekelasku yang rumahnya berseberangan dengan
gedung sekolah dan aku suka bersepeda melintasi depan rumahnya. Kadang
Nuning ada di depan rumah, sedang menyapu pekarangan, dan aku ingin
menghentikan sepedaku dan menyapanya dan mengajaknya bercakap-cakap.
Namun aku tidak melakukannya dan aku akan menyesal kenapa tidak
melakukannya. Pada malam harinya, ketika sulit memejamkan mata karena
perasaan menyesal itu, aku berjanji pada diri sendiri bahwa besok, jika
aku bersepeda di depan rumahnya dan Nuning sedang menyapu pekarangan,
aku akan berhenti dan bercakap-cakap dengannya. Dan aku tak pernah
berhenti di depan rumahnya. Sampai kami lulus, dan aku sudah berulang
kali naik sepeda di depan rumahnya, tak pernah satu kali pun aku
melakukan apa yang kupikir seharusnya kulakukan.
Sesekali, saat aku merasa tidak mengantuk sampai larut malam, Mbak Warni
menemaniku di kamar sampai aku tidur. Ia kenal semua jenis hantu yang
ada di kampungnya dan tahu apa saja yang telah dilakukan oleh
hantu-hantu itu terhadap para tetangganya. Ia menikah dengan pengantar
susu langganan kami pada saat aku mulai masuk kuliah dan meminta izin
kepada Mama untuk berhenti bekerja dan Mama menolak permintaannya. "Biar
suamimu tinggal di sini," kata Mama. "Jadi kalian tak perlu keluar
biaya sewa rumah."
Mereka pasangan yang subur. Anak pertama mereka lahir dua tahun setelah
hari pernikahan, dua tahun berikutnya anak kedua, dua tahun berikutnya
lagi si Ragil, satu-satunya lelaki dari tiga bersaudara, yang ternyata
bukan anak bungsu meskipun telanjur diberi nama Ragil. Mama menyayangi
mereka dan malam itu, ketika aku membawa secangkir kopi dari dapur
menuju teras, kulihat ia sedang duduk di ruang tengah bersama Ragil dan
kedua kakaknya, membacakan salah satu dari lima buku cerita yang baru
saja kubawa untuk mereka.
Kopi di cangkirku sudah dingin ketika Mama mendatangiku di teras dan duduk di sebelahku.
"Sudah selesai mendongengnya, Ma?" tanyaku.
"Sudah tidur mereka," katanya.
"Papa belum pulang?"
"Bertemu teman-teman lamanya. Kalau mereka sudah bertemu, pasti sampai larut malam."
Tak ada lagi yang terlintas di kepalaku untuk ditanyakan. Lalu aku hanya
menunggu ia memulai percakapan tentang Ratri. Aku tahu itu yang ia
ingin bicarakan denganku.
"Kau sudah memikirkan risikonya, Robi?" tanyanya.
"Ya. kami tidak akan punya anak. Itu yang Mama maksudkan risiko?" tanyaku.
"Keluarga ini tidak bakalan punya penerus."
"Lalu?"
"Aku hanya mengingatkan, kau anak tunggal di rumah ini. Jika kau menikah
dan istrimu tidak bisa melahirkan anak, maka putus sudah riwayat
keluarga kita."
"Aku tidak meminta jadi anak tunggal, Mama."
"Sama, Robi. Aku juga tidak meminta jadi anak tunggal. Papamu juga tidak
meminta jadi anak tunggal. Tapi kenyataannya kita semua anak tunggal."
"Mama tidak setuju aku menikahi Ratri?"
Mama seperti tidak mendengar pertanyaanku. Ia terus bicara dan suaranya terdengar seperti orang melamun.
"Dulu, ketika kami baru menikah, papamu pernah berkhayal punya anak
sepuluh. Kubilang kepadanya, "Kau pikir kau menikahi kucing? Aku mau
tiga saja. Kalau kau mau sepuluh, sisanya kau yang harus melahirkan." Ia
bilang, "Baiklah, nanti anak keempat dan seterusnya aku yang
melahirkan. Asal kau tak malu ke mana-mana menggandeng suami yang hamil
tua"
"Tidak," kataku. "Aku tidak akan malu. Aku akan menyampaikan kepada
siapa saja bahwa aku mempunyai suami teladan, ia bisa menangani segala
urusan termasuk hamil dan melahirkan."
"Dan ia tetap tidak mau kalah. Katanya, "Kalau aku bisa melahirkan sendiri, aku mau melahirkan dua puluh anak."
"Ma.."
"Robi, bagaimanapun, nanti kau akan merindukan kehadiran bayi di dalam
rumah tanggamu, yang akan kalian asuh sampai dewasa, sampai kelak ia
membangun rumah tangganya sendiri, dan pada saatnya ia juga punya anak,
dan seterusnya seperti itu, dan begitulah riwayat keluarga dilanjutkan
oleh anak cucu yang lahir nanti."
"Mama, sekarang ini urusannya antara aku dan Ratri. Aku mencintainya dan memutuskan menikah dengannya"
"Baiklah kalau begitu. Jika keluarga ini ditakdirkan berakhir, aku akan
menerimanya dengan lapang hati. Paling-paling aku hanya perlu minta maaf
kepada leluhur bahwa garis keturunan kita berakhir."
"Kenapa berkata begitu, Mama?"
"Tidak apa-apa, Robi. Ini salahku juga. Aku hanya bisa melahirkan satu anak."
"Katakan saja Mama tidak setuju aku menikah dengan Ratri, aku akan menuruti kemauan Mama."
Tidak, Rob. Kau menikah dengan pilihanmu. Mungkin rumah tanggamu nanti
bahagia, mungkin tidak bahagia, tetapi kau menikah dengan pilihanmu. Aku
tidak mau seumur hidup disalahkan karena kau mengikuti kemauanku dan
rumah tanggamu tidak bahagia."
Kami mengakhiri percakapan sekitar pukul setengah sebelas, setelah mulut
kami masing-masing menjadi bisu. Pukul dua dinihari aku keluar dari
kamar menuju dapur, mengambil cangkir di rak piring dekat wastafel,
menuang air putih ke cangkir tersebut dan meneguknya sampai habis. Mama
juga keluar dari kamarnya, melakukan hal yang sama denganku, mengambil
cangkir dan menuang air putih di cangkir tersebut, menelan sebutir obat
sakit kepala, dan mendorongnya dengan air putih di cangkirnya.
"Mama tidak bisa menerima Ratri?" tanyaku.
Mama menggeleng.
"Aku tidak punya masalah dengannya. Ratri gadis yang menyenangkan, aku menyayanginya dan kau mencintainya."
"Kalau Mama tidak setuju...."
"Aku setuju."
Dadaku sesak sekali. Pagi itu aku ingin menjadi kanak-kanak yang
menangis di dadanya dan menemukan kedamaian pada degup jantungnya.
***
LANGIT berwarna jingga di luar, tetapi di dalam rumah makan aku merasa
semuanya berwarna kelabu. Kami berpacaran tujuh tahun dan ia akan
berangkat ke Venezuela dan kami mengakhiri hubungan dua hari sebelum ia
berangkat.
"Rob."
"Ya?"
"Tlidak apa-apa jika lusa aku tidak mengantarmu ke bandara?"
"Tidak apa-apa."
"Aku ada acara di kantor."
"Tidak apa-apa, Ratri. Dan kau tidak memerlukan alasan apa pun untuk itu."
"Kau tahu aku tidak menginginkan seperti ini."
"Aku tahu."
Kuteguk habis sisa minuman di gelasku.
"Mau pesan minuman lagi?" tanyanya.
Aku menggeleng.
Robi memanggil pelayan. "Tolong dihitung, Mbak," katanya. Pelayan itu
balik ke kasir dan datang lagi ke meja kami membawa secarik kertas dalam
nampan kecil. Robi mengambil kertas itu dan menarik dompet dari saku
celana dan menaruh kembali kertas itu di nampan kecil bersama beberapa
lembar uang kertas yang ia ambil dari dompetnya.
Kami tidak banyak bicara sepanjang jalan pulang, sampai mobilnya
berhenti di depan pintu pagar rumahku. Aku turun dan memberinya lambaian
tangan. Kami menyelesaikan tujuh tahun cinta kami hanya dengan lambaian
tangan. Aku bahkan lupa untuk sekadar berbasa-basi menawarinya mampir
dulu. Ia melanjutkan jalan. Aku masuk ke dalam rumah dengan kepala
rusuh, dengan kenyataan bahwa hubungan kami berakhir baik-baik. Itu
tidak masuk akal: bagaimana mungkin dua orang yang saling mencintai bisa
mengakhiri hubungan secara baik-baik?
Kenangan demi kenangan bermunculan tak terbendung dan menyiksaku hingga
dinihari. Tujuh tahun begitu singkat dan hal-hal yang menyenangkan di
masa lalu berubah menjadi ingatan yang memedihkan.
"Coba kau berdiri sebentar, Ratri," katanya suatu hari.
Aku berdiri dan ia meletakkan tangannya pada kursi yang kududuki.
"Panas," katanya. "Itu berarti kau akan punya banyak anak."
"Sok tahu," kataku.
"Menurut penelitian begitu. Dan itu berarti kita berjodoh. Aku ingin
punya anak dua puluh biji dan mamaku juga menginginkan cucu dua puluh
biji."
"Kalau begitu kau harus menikah dengan ayam. Dalam dua tahun kau bisa melahirkan Kurawa."
Itu percakapan ketika kami baru berpacaran beberapa bulan. Aku tak ingin
mengingat percakapan itu, tetapi ia muncul begitu saja di kepalaku. Aku
tak ingin memikirkan Robi, sebab aku bahkan tidak tahu apa doaku
untuknya setelah kami berpisah. Aku tahu bahwa mestinya aku berharap ia
bisa menemukan perempuan yang lebih baik dariku. Namun itu harapan yang
akan menyakiti perasaanku sendiri. Aku telah menolak ajakannya dan kami
berpisah, tetapi aku ingin ia tahu bahwa tak ada perempuan yang
mencintainya lebih dari aku mencintainya. ***