“Dalam
hiruk pikuk kota, atau tenang desa, sektor yang tidak mendapat jaminan
ini seperti hutan belantara. Gelap, luas, menakutkan, dan membahayakan.
Namun mau tidak mau harus tetap dilewati oleh pencari kayu hutan yang
menggantungkan hidupd dalamnya”
Siang itu, pukul 13:15 WIB, perempuan dengan sepeda jengki hitam dan
keranjang merah yang diikatkan pada boncengan sepeda miliknya itu
mendatangi tiap rumah di kampungnya. Perempuan itu bernama Inji. Dengan
setelan kaus oblong lengan pendek, celana hitam panjang serta kerudung
yang menutup gelungan rambutnya, ia berkeliling kampung menjajakan
dagangnya: jamu, risol, donat, dan kirog .
Sebelum memutuskan berjualan keliling kampung,
Inji sewaktu pernah merantau ke Ibu Kota. Di sana, perempuan dengan perawakan
kurus itu sempat bekerja di sebuah pabrik plastik selama satu tahun, sebelum
akhirnya pabrik tempatnya bekerja bangkrut. Sialnya, Inji menjadi salah satu
orang yang masuk dalam daftar pekerja yang harus dirumahkan. Dua minggu
setelahnya, ia memutuskan bekerja sebagai pelayan di sebuah warung makan dekat
kosnya.
Inji adalah satu dari sekian banyak orang yang terpaksa memilih
sektor informal sebagai jalan akhir dari upaya bertahan hidup. Badan
Pusat Satistika (BPS) 2018 menunjukkan 74 juta jiwa di negara ini
bekerja di sektor Informal, lebih banyak 18,7 juta jiwa ketimbang yang
bekerja di sektor formal.
Entah, Inji tahu atau tidak risiko dalam
sektor informal, intinya, ia harus siap tak dapat jaminan hukum ataupun
perlindungan dari negara. Sebab, negara tempat ia hidup, sampai kini belum mau
menyambut baik seruan terhadap upaya perlindungan sektor informal. Bahkan, di
UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003, tidak ada hukum khusus yang mengatur
tentang sektor informal.
Itu mengingatkan saya pada sebuah diskusi daring
dari LPM Arena yang membahas sektor informal ditengah wabah COVID-19, Sabtu 16
Mei 2020.
Peneliti sektor informal, Isma Swastiningrum, menyampaikan,
“Kalau bicara tentang sektor informal, itu ibarat kita masuk ke dalam hutan
belantara atau lautan luas yang memimpikan sebuah pulau.” Sektor informal itu
luas, mencangkup banyak hal dari berbagai bidang. Namun, sektor informal pun
menakutkan karena bahaya dan resiko dari pekerjaannya bisa kapanpun menimpa
tanpa jaminan kesehatan, kesejahteraan dan hukum dari pemerintah. Ini seperti
bahaya hewan buas di belantara atau hiu ganas di tengah lautan—tak ada jaminan
keselamatan.
Lalu, saya membayangkan Inji sama seperti cerita dalam album Dosa,Kota, dan Kenangan karya Silampukau. Khususnya dalam lagu berjudul “Lagu rantau sambat omah”, yang mengutuki waktu dan kota. Waktu
memang jahanam. Kota kelewat kejam dan pekerjaan menyita harapan.
Hari-hari berulang, diriku kian hilang, himpitan hutang, tagihan awal
bulan. Oh demi Tuhan atau demi setan. Sumpah aku ingin rumah untuk
pulang.
Pikiran saya terbayang pada kehidupan kota
yang keras: bekerja siang malam, kelelahan, bising kendaraan dan entah cukup
atau tidak gajinya untuk makan dan membayar kontrakan. Mungkin, begitu nasib
Inji di Ibu Kota. Meski mungkin gaji cukup, tapi tak ada sisa untuk ditabung.
Itu artinya, kita hanya menghabiskan tenaganya untuk makan dan buang kotoran
saja di Ibu Kota yang panas, keras dan kejam.
Dengan jumlah penduduk yang bertambah setiap
tahunnya, mereka yang tidak terserap dalam sektor formal rela bekerja apa saja,
entah menjadi pelayan warung seperti Inji, penambal ban, penonton bayaran,
ataupun pekerja seks dengan gaji yang tak seberapa dan kehidupan yang
disibukkan dengan melunasi cicilan. Hal tersebut akhirnya membawa mereka
manapaki jalan informal sebagai pilihan terakhir menjaga organ pencernaan tetap
berfungsi.
“Sektor informal lahir dari ketidaksiapan
pemerintah menyediakan lapangan formal dan sektor informal dicirikan dengan
pendidikan yang rendah, teknologi yang digunakan sederhana, melibatkan
keluarga, dan serikat pekerjaan sangat minim atau bahkan tidak ada,” jelas
Isma.
Hal-hal tidak masuk akal untuk hidup di kota dengan gaji yang hanya
habis untuk makan, membawa Inji kembali ke desa asalnya. Kini, usianya
masih sekitar 30-an. Meskipun uang yang didapat dari hasil jualan
kelilingnya tidak seberapa, setidaknya ia masih bisa menghirup udara
segar di pagi hari, atau sekedar melihat hijaunya sawah di depan
rumahnya. Sesuatu yang mungkin tidak akan ia dapatkan di kota dengan
tembok beton, jalan aspal, dan udara panas para pengamba uang
metropolitan.
Namun, nasib memang tidak selalu mengabarkan
kebahagiaan. Beberapa hari terahir, semenjak virus corona menyebar dari daerah
Wuhan, sebuah kota metropolitan di Tiongkok pada Desember 2019 menjadikan
barang dagangan Inji tak laku banyak dan cenderung sisa.
Memang, sejak menyebar pertama kali di
Indonesia pada awal Maret 2020, Corona membuat semua sektor tidak berjalan
normal. Termasuk di dalamnya sektor informal. Pedagang keliling seperti Inji
yang ketika ada kerumunan adalah berkah, sekarang kerumunan-kerumunan itu tak
ada karena anjuran berdiam diri di rumah. Dan itu berarti, Inji kehilangan pelanggan
dan tempat ia berjualan.
Isma menjelaskan bahwa munculnya COVID-19
tidak lepas dari sistem kapitalisme global. Terutama, mereka yang berada di
sektor agribisnis dengan ambisinya menguasai lumbung pangan. Karena ambisi
terebut, deforestasi dan perampasan lahan secara masif berlaku
dimana-mana. Dan hal tersebut yang menyebabkan degradasi lingkungan. Terlebih,
sistem pemerintah yang menganut paham neoliberal menambah parah proses
tersebut. Pemerintah membantu pengusaha dengan aturan dan kebijakannya dalam
proses-proses tersebut. Patogen atau virus yang hidupnya terpecil, menjadi
kehilangan rumahnya dan menyerbu ternak dan manusia.
“Ibaratnya kaya harimau kehilangan hutan, ini
virus kehilangan inang,” kata Isma ketika melalui WhatsApp ketika dimintai
keterangan mengenai covid-19, kapitalisme, dan teater pandemi.
Dunia memang dibuat kocar kacir oleh teror virus tersebut. Sektor
pariwisata sepi, manufaktur anjlok, aktivitas sosial dibatasi, dan
ekonomi baik skala besar ataupun kecil, mengalami defisit pendapatan.
Dan lagi-lagi, sektor informal turut terkena dampak besar. Penerapan
Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) berpengaruh pada penghasilan
yang biasanya dihasilkan di jalan-jalan atau kerumunan orang.
Pemerintah menerapkan beberapa kebijakan guna menghadapi virus ini. Namun, yang harus
ditekankan adalah mengenai pendistibusiannya yang seharusnya tepat sasaran.
Pemerintah harus jeli melihat, apakah benar bantuan tersebut tersalurkan kepada
pihak yang membutuhkan, atau tidak. “Kebijaksanaan pemerintah sangat diharapkan
disaat situasi seperti ini,” kata Isma.
Mereka yang tadinya bagaikan berada di hutan
belantara, sekarang hampir jatuh diapit dua jurang di tengah hutan belantara
tersebut. Sama-sama beresiko, entah ia mau berdiam diri di rumah seperti
anjuran dari pemerintah dan terpaksa tidak makan atau bekerja di jalanan dan berisiko
mati terserang virus.
Karena keberadaan serikat sektor informal yang
minim, maka yang dapat diandalkan adalah solidaritas antar pekerja informal.
Solidaritas yang akan bahu membahu membantu sesama. Isma menutup diskusi daring
dengan mengutip perkataan Rumi “Musik yang paling haram adalah suara sendok
ketika engkau makan sedang tetanggamu
yang kelapaan mendengarkannya.”
Inji pun menutup tempat risoles dagangannya, kembali mengemasnya dan
menaruh di keranjang merah sepedanya. Ia berlalu meninggalkan halaman
rumah pembeli itu, dan lanjut berkeliling. Entah apa yang dikatakan
dalam hatinya. Mungkin, ia masih mengutuk keadaan yang tidak pernah
berpihak.
Ditulis
oleh Atikah, anggota magang Arena. Hasil diskusi “Sektor Informal”
bersama Isma Swastiningrum, pengamat buruh informal. Diedit Zaim Yunus.
Sumber: LPM Arena