Jumat, 25 Juli 2025

Catatan Film "Zindagi Na Milegi Dobara" (2011)

Prolog 

Kemarin aku ke UI, berharap bisa menyelesaikan permintaan LoA untuk daftar LPDP program Magister. Aku izin kerja setengah hari. Aku berangkat dari Stasiun Juanda ke Stasiun UI di pagi hari. Aku terpaksa datang karena sekitar Mei setelah ujian SIMAK, borang yang kukirim tak mendapatkan respons, hingga Juni tak ada balasan, hingga Juli masih menunggu dengan sia-sia. Aku juga menghubungi pihak Humas universitas dan fakultas via, tapi tak ada tanggapan yang konkret dan memuaskan. Sesampainya sana, kesabaranku kembali diuji. Aku seperti diputar-putar dengan pertolongan dari satpam atau penjaga di sana yang tak memuaskan. Dari gedung rektorat, aku diarahkan ke Gedung PMB, dari PMB aku diarahkan lagi ke ULT di Gedung PPMT. Sementara jarak antara satu gedung ke gedung lain cukup lumayan. 

Pas sampai di layanan terpadu di PPMT, petugasnya hanya bilang akan segera bantu proses, karena yang memproses petugas di PMB. Petugas PPMT gelondongan menyerahkan urusan selanjutnya ke PMB, sementara PMB ketika didatangi hanya melayani teknisnya saja, dan tetap diarahkan lagi ke PPMT. Aku hanya diberikan janji saja, tanpa ada jaminan dapat LoA. Dalihnya banyak permohonan serupa dan harus antri. Bahkan ketika masa pendaftaran beasiswa itu hampir habis, dan aku tak berkesempatan untuk mendaftar, barangkali mereka juga tak peduli. Aku diberi nomor orang PMB, sesegera mungkin aku mengetikkan pesan, tapi setelah 24 jam juga tak ada tanda-tanda pesanku dibalas. Aku pun mempertanyakan, di media sosial Instagram yang katanya Humas UI dan PMB-nya itu, yang udah dapat penghargaan pelayanannya semengecewakan seperti ini? Aku prihatin. 

Kejengkelan ini aku yakin tak hanya aku yang merasakan, karena selain aku juga ada banyak yang punya kasus serupa. Segala urusan administrasi dengan gaya seperti ini selalu membuatku muak. Mereka tak bertanggung jawab ketika dengan sengaja memutus harapan orang lain demi meraih pendidikan tinggi dengan kerja-kerja administrasi yang tidak becus. UI kampus besar, tapi pelayanan administrasinya sungguh mengecewakan. Kalau pun saya tidak masuk UI karena ketidakpedulian petugas administrasi yang seperti itu, aku udah bodoh amat. Masih banyak kampus yang punya sistem administrasi yang lebih baik, yang lebih menghargai calon mahasiswa baru untuk bergabung jadi keluarga besar, yang lebih satset terhadap layanan publik yang dibutuhkan. 

Film

Ya, dengan konteks seperti di ataslah yang membuat hariku jadi abu-abu. Sesampainya di kantor, aku lemas. Aku tak berminat melakukan banyak hal, hingga akhirnya aku memutuskan untuk menonton film India yang sudah parkir di file laptopku. Moshi-moshi, judul film itu "Zindagri Na Milegi Dobara" (आप केवल एक बार जीते हैं) atau bahasa Indonesianya, Kamu Hanya Hidup Sekali, You Only Life Once (YOLO). Film ini cukup memberikan hiburan yang menyenangkan. Aku sedang tak ingin mengulas alurnya, tapi intinya terkait perjalanan three musketeers (Arjun, Imran, dan Kabir) yang menghabiskan liburan masa bujangnya di Spanyol. Mereka berkeliling dan mencoba berbagai tantangan untuk menaklukan rasa takut dan traumanya akan hidup. Beberapa poin yang kusuka dari film ini dan menjadi refleksiku:

  •  Aku suka dengan tokoh para perempuan di film ini, baik Laila, Nuria, maupun Natasha adalah tipe-tipe perempuan yang bebas. Mereka juga cerdas, independen, dan pekerja keras. Terlebih Laila, dia tipe perempuan yang tak memedulikan standar moral yang terkungkung dalam dunia domestik. Laila mendobraknya, sesederhana dia dengan motor gedenya mengejar laju mobil three musketeers hanya untuk mencium Arjun yang akan meninggalkan kota tempat dia bekerja. Natasha juga tipe independen dan pekerja keras, meskipun masih ada sifat kanak-kanak seperti ingin mengontrol Kabir. Nuria juga tipe perempuan yang ekspresif, serupa Imran, dia juga sangat percaya diri dengan apa yang dimilikinya. Perempuan dalam film ini sangat berdaya dan otonom. Dia tak sekadar objek cinta, tapi juga bahkan bisa membimbing pria dengan skill, pengetahuan, dan pengalaman yang dimiliki.
  •  Setiap kita punya sudut pandang sendiri dalam menilai sesuatu. Kebenaran dan kepalsuan kadang sekabur itu, dan yang mememangkan bagiku di antara keduanya adalah kejujuran. Seperti saat ayah Imran, Pak Salman Habib dengan alasannya meninggalkan Imran saat kecil bersama ibu karena perbedaan prinsip hidup. Salman memutuskan pindah ke Spanyol, hidup menikah lagi dan tanpa anak. Salman ingin kehidupan yang bebas dengan menjadi seniman, sementara ibu Imran ingin sesuatu yang stabil. Keduanya tidak bertemu dan mereka pun berpisah. Semakin dewasa, aku semakin memahami keputusan besar seperti ini.
  • Saat muda, kita berambisi untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya. Juga membuat ambisi-ambisi besar seperti pensiun di usia 40 tahun mungkin, tapi seperti kata Laila ke Arjun, apakah kita bisa hidup sampai umur 40 tahun? Tidak ada orang yang menjamin, maka kawan, nikmatilah hari ini. Laila benar-benar memahami prinsip ini dengan baik. Sejak kecil dia sudah punya cita-cita jadi penyelam di laut dalam dan jadi pemandu scuba diving. Di laut dalam dia merupakan moment serupa meditasi, menghening. Ini berbanding terbalik dengan Arjun yang hidupnya serupa robot dan harus kerja, kerja, dan kerja. Aku suka dengan bagian ketika Arjun dan Laila tidur di bawah hamparan langit dan bintang pada malam hari. Juga saat Arjun tidur di mobil terbuka lalu mengamati langit dan pohon-pohon.
  • Seorang sahabat dekat yang seperti saudara akan bisa memahamimu dengan lebih baik. Seperti Arjun dan Imran yang merasa jika Kabir dan Natasha sebenarnya tidak menemukan chemistry, tapi dipaksakan untuk menikah. Ya, meskipun perjodohan mereka sebenarnya konyol. Kabir ingin memberikan kado cincin ke mamanya yang sedang ulang tahun dengan terlebih dulu ditunjukkan ke Natasha. Namun, Natasha sudah terburu berteriak menganggap Kabir melamarnya. Saat tantangan akhir di Spanyol, ketika mereka harus kejar-kejaran dengan Banteng (running of the bulls in Pamplona). Ketika dia selamat, janji Kabir adalah berani berkata kepada Natasha jika dia tidak mencintainya, dan menunda pernikahan ini atau membatalkannya. Meskipun undangan dan persiapan pernikahan sudah dilakukan, tapi yang menikah bukan orangtua atau keluarga besar, yang utama adalah pengantin itu sendiri.
  • Berani mengalahkan rasa takut. Arjun takut dengan air, Imran takut pada ayah dan ketinggian, Kabir takut pada pernikahan dan pertunangannya dengan Natasha. Semua akhirnya bisa mereka lalui dengan keberanian. Sebab film ini, aku jadi punya mimpi baru, aku ingin mencoba skydiving suatu hari nanti. Bisa berenang di udara terlihat keren sekali di film ini, seperti ada kebebasan yang purna. Aku paham ini olahraga mahal, semahal perjalanan mereka di Spanyol. Namun, mimpi mencoba terjun payung ini patut diperjuangkan. 
  • Aku juga menyukai arsitektur rumah yang disewa three musketeers atau hotel-hotel antik mereka. Juga perjalanan mereka yang mengagumkan di jalanan-jalanan dekat pantai menuju Seville. Kota Tua di Spanyol yang menarik dikunjungi, aku ingin mengunjunginya juga suatu hari. Atau juga pesta lempar-lemparan tomat di Spanyol, btw, aku suka makan tomat.
  • Aku suka dengan premis "semua manusia di dunia ini dasarnya sama", saat adegan three musketeer mengerjai orang-orang asing di toilet pria, di jalan, sampai di bar (yang terakhir berujung pada penjara). Tindakan seperti ini memang mengganggu dan bikin risi, tapi ada POV lain yang juga valid, hasrat manusia untuk bersenang-senang dengan mengerjai sesama. 
  • Persahabatan ketiga sahabat ini sangat realistis. Mereka bukan yang sok baik semuanya, tapi juga ada konflik dan pertengkaran yang justru bisa jadi sarana untuk memperkuat relasi pershabatan. Apalagi, Imran yang penulis, penyair, dan sastrawan itu hobi menulis puisi dan diary di bukunya untuk mengungkapkan berbagai pikiran dan perasaan terkait hidup dan sahabat-sahabatnya. 
  • Kritikku secara personal, liburan ala film ini hanya bisa di kalangan oleh kalangan kelas menengah atas yang punya privilege. Butuh kesanggupan finansial yang sangat mapan. Imran yang miskin cukup terbantu dengan Arjun dan Kabir, tapi tetap saja, ini bukan perjalanan murah yang semua orang bisa. Gaya yang global dan sekuler juga membuatku pribadi menemukan moment "agak gimana gitu", misalnya terkait kegiatan affairs yang tak sesuai dengan budaya Timur. 

Epilog 

Secara keseluruhan, film ini mengajarkan kita untuk "menikmati hidup saat ini". Kamu bisa menemukan berbagai resonansi emosional dan belajar terkait filosofi kehidupan yang mempengaruhi penontonnya. Jujur, aku tidak bosan ketika menonton film ini. It is worth every minute. Kayak, film ini akan mengajakmu untuk merefleksikan hidupmu, bukan tentang pekerjaan dan ambisi, tapi keberanian hidup. Dengan visual yang memukau, setting dalam film ini emang bukan gimmick visual saja. Ketika kamu nonton film ini, aku jadi punya POV baru dalam cara pandangku terkait liburan, healing, dan hidup; perjalanan mengajari kita untuk jujur terhadap diri sendiri, melepaskan ketakutan, dan liburan bukan berarti hanya sekadar kabur dari masalah--yang akhir ini aku sering merasakannya, haha. 

Judul: Zindagi Na Milegi Dobara | Sutradara: Zoya Akhtar | Tahun rilis: 2011 | Durasi: 2 jam 33 menit | Pemain: Farhan Akhtar, Abhay Deol, Hrithik Roshan, Katrina Kaif, Kalki Koechlin, Ariadna Cabrol 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar