"The opposite of love is lust, in between just
business.” ~Bagus, Sept 18th, 2024
Aku sempat menemukan Tuhan di tahun ini, meski setelah itu
iman naik turun lagi, tapi setidaknya, ini adalah capaian puncakku pada 2024. Namun
mempertahankan Tuhan untuk terus ada di hati dan tindakanmu ternyata hal
tersusah yang pernah aku alami. Jujur, aku masih banyak kalahnya dengan berbagai
tantangan yang diberikan-Nya. Padahal, nikmat iman itu bisa terlihat dari dua
hal: ringan menjalankan perintah-Nya dan mau menjauhi larangan-Nya. Lainnya,
bahagia melakukan apa yang diperintahkan Allah, dan sabar terhadap musibah yang
diberikan.
2024 ini tahun yang complicated. Aku akan coba mengingat
apa saja yang telah kulakukan setahun ini, beserta suka, duka, dan makna apa
yang bisa kutarik. Mungkin tidak akan sistematis, tapi di beberapa bagian aku
menulis ini sambil menangis. Gak tahu menangis sedih atau bahagia, tapi mitosnya,
kalau air mata jatuh di sebelah kiri duluan berarti itu air mata sedih, kalau
dari kanan duluan berarti air mata bahagia.
|
Bukber EF 2024 di Plaza Tower Jl. MH Thamrin
|
Tahun ini aku juga mencoba untuk melanjutkan cita-cita
bersekolah keluar negeri. Dari awal tahun hingga akhir tahun aku coba untuk menyibukkan
diri ikut les bahasa Inggris dan IELTS di sana dan di sini. Hingga pada tanggal
18 November 2024 lalu, aku ikut tes IELTS di Bandung dan mendapatkan skor 6
(B2), sedikit lagi Ya Allah untuk dapat 6,5. Dan mencari sekolah S2 dengan skor
IELTS yang pas-pasan seperti ini di Inggris sulit.
Aku ingat kembali bagaimana perjuangan belajar Bahasa
Inggris, dimulai pertama kali dari kelas 1 SMP, kemudian SMA, dilanjutkan
kuliah, lanjut kursus English First (EF) hampir dua tahun sama cuti-cutinya
sampai aku dapat sertifikat C1/C2, dengan tes akhir kasi presentasi tentang pengalaman
spiritualku mengunjungi kuburan di diskusi “Finding Spirituality Through Coming to The
Cemeteries”. Usaha lain, aku ikut les IELTS di tiga lembaga sekaligus,
masih ditambah baca jurnal, nonton serial/film Inggris, tulis blog berbahasa
Inggris, dll, dlsb. Ternyata itu tak cukup, bahasa yang punya konsep kayak
belajar renang dan naik sepeda ini memang benar: gak guna kalau gak
dipraktikkan.
Tantangan yang lebih sulit juga sengaja kuambil tahun ini,
aku ikut les Bahasa Jepang di Evergreen, Pasar Baru, Jakarta Pusat, selama enam
bulan. Cerita perjalanan les ini tiap minggunya sudah kuceritakan dalam postingan
blog berjudul “Pengalaman Les Bahasa Jepang di Evergreen Jakarta”, aku
menulisnya hingga empat seri. Sebagai refleksi, belajar Bahasa Jepang sama
sekali tidak mudah, harus menghafal hiragana sampai katakana, dan yang paling
sulit menghafal kosakata Jepang, belum lagi aturan tata bahasa (grammar)
yang konsepnya beda sekali dengan Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Teman sekelasku hanya lima orang, di pertemuan kelas
terakhir hanya sisa tiga orang, dan aku perempuan sendiri. Di tes terakhir aku
gagal. Nilai tesku menyedihkan, meski ada yang lebih menyedihkan, tapi ada juga
yang lulus. Jika dikatakan ketidaklulusanku takdir, sepertinya tidak, karena
aku belum berusaha maksimal. Aku mengikuti les ini seolah hanya seperti mengisi
waktu senggang saja dan tidak benar-benar memiliki niat yang kuat. Aku pernah
membicarakan soal takdir bersama seorang kawan, takdir itu hanya kalau kita
sudah berusaha maksimal dan Tuhan tidak mengizinkan, kalau belum berusaha
maksimal tapi disebut takdir, itu sepertinya gak tepat. Satu yang aku sadari setelah mengikuti les ini, tanpa tujuan
yang jelas, aku seperti memaksakan diri.
|
Menulislah |
Di tahun ini, aku tidak ingin menyoroti peristiwa, aku ingin
menyoroti subjek, ingin meng-
highlight beberapa nama orang yang
menemaniku tumbuh. Tanpa mereka, hidupku di tahun ini barangkali akan sama saja
dengan tahun-tahun datar lainnya, mereka orang-orang yang membuatku bersyukur
kenapa aku hidup dan ada di dunia.
Sebelum kamu membaca bagian ini, satu permintaanku,
khususnya relasi yang berhubungan dengan lawan jenis, tolong jangan
disangkutpautkan dengan relasi sempit soal percintaan, atau romantisme tidak
mutu, atau cinta-cintaan melulu, stop, bukan. Aku menceritakan mereka dalam
terma kasih sayang yang tulus, persahabatan, persaudaraan, yang mungkin bisa
dikatakan unconditional dibandingkan dengan relasi-relasi yang kujalin
dengan orang-orang di luar mereka. Bersama mereka aku tak butuh validasi, inspirasi,
dan motivasi. Adanya mereka saja sudah cukup.
1. Ahmad Bagus Nur Akbar
|
Bagus terima kasih
|
Bagus sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Pokoknya kalau
ada yang nyakiti adikku Bagus, dia nyakiti aku juga! Pertama kali aku bertemu
dengannya di Arena sekitar 7-8 tahunan yang lalu, Bagus adalah sosok yang
sangat-sangat berbeda dari yang sekarang. Dia dulu anaknya rebel, saat ini
tenang, teduh, dan yang tak pernah hilang, kualitas kebijaksanaan dia yang
meningkat.
Peran Bagus di tahun ini sangat besar bagi hidupku karena
dialah manusia yang mempertemukanku dengan Tuhan yang selama ini kucari. Kalau
Letto pernah membuat lagu berjudul “Lubang di Hati”, dan lubang itu tak bisa
diisi oleh siapa pun kecuali Yang Maha Esa, maka isi dari lubang itu bisa
kutemukan tahun ini. Baguslah yang memberikanku jalan, kendaraan, dan tujuan
sekaligus sampai aku bisa kesana.
Bagus membawaku pada Advaita Vedanta, dia aktif mengirimiku
materi-materi PDF terkait mengenal diri sendiri, menjawab pertanyaan who am
I?, memfasilitasi kegelisahan-kegelisahanku berkaitan dengan hidup, dan
jalan-jalan spiritual yang perlu aku lewati biar sampai pada Aku yang sejati.
Dari Bagus aku jadi kenal dengan Sri Ramakrishna, Swami Vivekananda, Swami
Sarvapriyananda, Swami Probudhhananda, juga murid-murid Bhagavan yang lain.
Tak hanya di spiritualitas, Bagus juga membantuku sekira
hampir sebulan menemaniku belajar IELTS terutama speaking dan writing
sampai aku dengan semua ketidakyakinanku sendiri sampai akhirnya bisa dapat 6.
Dia adalah guru yang sabar, belajar bersama Bagus tidak berputar-putar
sebagaimana pengalamanku belajar di les-lesan IELTS lain. Bahkan dia masih mau
mengajariku meski dia dalam kondisi sakit, tak enak badan, dan masih di luar kota.
Pas retret Vedanta di rumah Tante Chika, aku sempat melihat
Bagus menangis, tangis dia untuk Tuhan begitu tulus sampai padaku. Aku sangat
terharu.
Aku bertemu Bagus terakhir kali di Taman Surapati, Menteng,
saat dia mau pamit akan meninggalkan Indonesia dan hendak bekerja di Australia.
Malam itu Bagus membawakanku buah, anggur dan pisang. Kami ngobrol soal
persiapannya, dia akan berangkat ke Melbourne dari Bali. Dia bercerita sudah nemuin
teman online di Australia, calon rumah tinggal yang pemiliknya orang Indonesia,
tingginya gaji di Australia, mendorongku ke Australia untuk liburan juga
kapan-kapan, serta mimpi-mimpi masa depan soal sekolah, beasiswa, menjadi scholar,
dll.
Bagus sekarang sudah di Australia sana. Kabar terakhir yang
kudapat, dia bekerja di perkebunan. Syukurlah di perkebunan, tidak di bagian
penjagalan hewan yang tentu membutuhkan mental yang lebih besar. Aku selalu
berdoa untuk kebaikan Bagus di mana pun dia berada.
2. Shraddha Ma, Tante Chika, dan Keluarga Besar Vedanta
|
Di tengah Shraddha Ma dan Tante Chika
|
Shraddha Ma dan Tante Chika adalah dua perempuan panutanku
di banyak sisi. Mereka dua pribadi yang hangat, ramah, penuh kasih sayang,
lembut, cerdas, adem, cantik, elegan, dan yang paling penting, memiliki akar
ke-Tuhan-an yang kuat. Pertama kali bertemu Shraddha Ma, di acara SSRF
(Spiritual Science Research Foundation). Waktu itu beliau memakai pakaian warna
putih, masa sebelum menjadi monk, aku melihat beliau benar-benar sosok ibu yang
teduh, yang mengingatkanku pada Dewi Kwan Im.
Juga Tante Chika yang kasihnya begitu nampak. Setiap kali
Tante Chika ada acara seperti nyanyi, entah kenapa aku ingin datang. Seperti
pas dari Palembang lalu, aku sempat-sempatkan habis landing di Soetta
(yang makin kece dengan vertical garden-nya), lalu tiba ke kos, dan
langsung ke Taman Peruri karena Tante Chika dkk akan melakukan konser di acara reuniannya
orang-orang ITB semua angkatan. Sayangnya pas aku sampai sana, Tante Chika main
tepat waktu dan aku tak sempat melihatnya menyanyi, hiks. Tapi senang di sana
bisa ketemu Tante Chika, Diva (anak Tante Chika), dan suami Tante Chika. Beliau
membelikanku somay juga di foodstall.
Cerita sedikit, pas menghadiri acara reunian alumni ITB dari
angkatan tertua sampai baru itu, entah kenapa aku seperti terlempar dalam dunia
lain kayak di film Michele Yeoh, “Everything Everywhere All at Once”. Di mataku,
gaya, wajah, dandanan, dan life style mereka seperti “orang-orang
beneran”. Ngerti kan maksudku, dalam peribahasa Jawa itu ada ungkapan “dadi
wong”, nah, alumni ITB yang kulihat malam itu seperti itu. Lalu aku
tiba-tiba curiga pada masa laluku dan kenapa aku bisa sampai kesini, aku
berpikir, “Gw curiga, di masa lalu gw emang anak ITB, wkwk.” Ini kayaknya efek
aku terlalu meninggikan ITB, salah satu kampus crush masa SMA pas ingin jadi
matematikawan, meski gak perlu juga sih.
Banyak petunjuk kenapa aku bisa menyimpulkan demikian, ini
gak perlu kujabarkan, takutnya cocokologi saja, ya, memang, buat naikin
semangat ke diri sendiri saja tentang pendidikan. Salah satu petunjuk yang
jelas sih, aku sering banget ke Bandung, dan tiap ke Bandung pasti ingin main
ke ITB. Pernah sekali keliling ITB gak jelas, di acara wisuda lagi, Ya Allah,
kek anak ilang beneran. Yang lucu pas ada pertanyaan di antara konser-konser
alumni ITB yang menakjubkan itu (kebanyakan lagu yang dinyanyikan groovy gitu),
pertanyaannya sederhana tapi nylekit dan lucu, “Siapa yang gak jadi sama anak
ITB?” Kok bisa-bisanya lho aku tertawa, ingat masa lalu sambil mbatin, “Iya lagiiii...”
Kembali ke sosok, selain Shraddha Ma dan Tante Chika,
keluarga besar Vedanta juga sangat berarti bagi perkembangan spiritualku, dari
Pak Purwanto Sudibyo, Ustadz Hasan, juga Mbak Novi.
3. Budi Agung Wicaksono
|
Ngopi di Jaksel
|
Aku ingin memulai cerita tentang Cakson dengan sebuah dunia
yang kuidealkan, dunia di mana aku bisa bersepeda dengan orang yang mau
mengimbangi kecepatanku, menemaniku selambat apa pun aku, menikmati udara sore
bersama di jalan dengan sepeda kesayangan kami, mendorongku untuk terus maju
saat berada ditanjakkan tinggi, setelah bersepeda, kita makan dan ngobrol
berjam-jam tentang apa saja. Intinya satu, aku butuh sahabat yang seperti ini.
Tak perlu sempurna, cukup dia ada dan menerima, itu sudah cukup. Gambaran
inilah yang kutangkap dari diri Cakson.
Pada Minggu, 29 Desember 2024 lalu, aku dan Cakson sepedahan
bareng di kompleks perumahannya di Pamulang Permai, Tangerang Selatan. Sore itu dia menunjukkanku landscape jalan
dan bangunan yang ada di kompleksnya, sampai ke tugu sederhana yang menelan
anggaran hingga berapa miliar, sampai kafe yang dikelola oleh duo suami-istri Endah
n Rhesa. Pas lihat Universitas Pamulang, aku jadi ingat kolegaku di Islam
Bergerak yang tahun ini menikah di gedung serbaguna universitas tersebut.
Tak direncanakan pula, aku mengajak Cakson main ke rumah pemimpin
redaksi Islam Bergerak, Mbak Rizki dan keluarga di kompleks perumahan Bukit
Pamulang Indah (BPI) yang tak jauh dari kompleks Pamulang Permai. Karena kebetulan,
Mbak Rizki sedang liburan Ph.D dari National University of Singapore (NUS).
Rumah beliau sedang direnovasi bagian depannya ketika kami datang. Aku melihat
Mas Angga, suami Mbak Rizki sedang berjalan di depan, aku memanggilnya, dan
kami bertamu.
Sore itu Mas Angga sedang melakukan pekerjaan domestik, merawat
anak-anak beliau yang masih kecil. Jujur aku salut sama Mbak Rizki dan Mas
Angga, meski di tengah himpitan pekerjaan domestik, mengurus rumah, dan memiliki
banyak anak yang tak bisa dibilang kecil untuk standar keluarga sekarang, home
schooling anak-anak sendiri, tapi masih punya semangat tinggi buat sekolah
dan belajar. Energi mereka untuk membaca, menulis, dan menuntut ilmu kayak gak
habis-habis. Tahun depan Mas Angga nyusul Mbak Rizki di NUS untuk Ph.D jurusan
Studi Kewilayahan Asia Tenggara dengan mengajak anak-anak yang masih kecil
seperti Iskra dan Zetkin. Saat bertamu itu, kami juga ngobrol terkait nama
anak-anak beliau yang Rusia sekali, haha. Lalu dijelaskanlah sejarahnya.
Sebagai sosok yang introvert dan gak bisa cepat bergaul
dengan orang baru, aku cukup amazed dengan skill Cakson yang
mudah berbaur dengan orang baru. Kayaknya mudah banget buat Cakson bisa
langsung ngobrol kayak teman sendiri sama Mas Angga dan Mbak Rizki. Dia bisa
sampai membongkar kenapa dulu Mbak Rizki tertarik sama kajian human
violence, kenapa neliti Aceh, Palestina, apa yang membuat Mbak Rizki
bertahan, sampai pengalaman Mas Angga yang tak diketahui banyak orang seperti
pernah menjadi wasit level B, suka basket, pernah kecil di Sumba, besar di Jogja, cerita tentang sejarah Masjid Jenderal Sudirman dengan acara Pak Fahrudin Faiz yang sukses itu, sampai gibah
Pamulang dulu dan Pamulang sekarang. Bagian unlocked-unlocked kayak
gini, Cakson bisa diandalkan.
Hal lain dari Cakson yang aku pelajari adalah soal loyalitas
yang diajarkan oleh ibunya. Ini diperlihatkan sesederhana, ibunya akan menemani
Cakson untuk solat berjamaah meskipun ibunya sudah solat, dan itu dilakukan kepada
semua anaknya, sehingga anaknya bisa solat berjamaah.
4. Muhammad Arwani
|
Piknik di Stasiun Cibinong, wkwk
|
Persahabatan yang kami bentuk bertiga, aku, Cakson, dan
Arwani terjadi tanpa sengaja dan semacam natural saja. Jika dalam Avatar,
barangkali aku bisa mengasosiasikan kalau Arwani ini elemen api, Cakson elemen air,
dan aku elemen udara. Atau kalau asosiasi di dunia komika, Arwani ini Pandji,
Cakson ini Adri, dan aku ini Coki (penengah). Kami bertiga sering cekcok
argumen, yang paling kentara bagaimana seringnya Arwani dan Cakson sama-sama
tidak bersepakat akan banyak isu sosial tertentu, gagasan filsafat tertentu,
sampai ke selera seni tertentu.
Mereka seperti air dan api (lagu Naif dong?) atau Tom and
Jerry haha. Sebagai elemen udara, aku bisa masuk ke api dan ke air. Kalau
mereka bertikai, aku hanya ingin jadi penengah mereka saja. Aku juga belajar, justru
dari perbedaan itu kita bisa saling belajar, dan sadar, persahabatan itu gak
sekadar mengiyakan semua yang sahabat lu bilang, tapi juga mengkritisinya.
Saat aku main ke Tegal untuk wisata antropologi dan sejarah
di liburan Mauludan Nabi, aku saat itu tak sadar jika Arwani juga tinggal di
Tegal. Di Tegal, aku ketemu Arwani dan kami ngopi dari Magrib sampai sekitar
pukul 10-an, di Fore Tegal. Semua hal kami obrolkan, dan dari obrolan itulah,
aku lebih banyak mengenal Arwani dengan lebih dalam dari penampakan dia yang
hanya nampak dari luar. Kami ngobrol banyak hal terutama soal film, musik,
buku, keluarga, masa kecil, dan yang paling kuingat adalah obrolan soal nama.
Dia bercerita jika namanya berasal dari salah seorang tokoh
agama yang dihormati di Kudus, Jawa Tengah. Dulu dia sebal ketika ada orang asing
yang gak mau menyebut namanya karena diasosiasikan dengan ustadz besar
tersebut, dan perbuatan orang itu entah bagaimana caranya menyinggung Arwani. Dia
juga tertarik dengan namaku, kata dia namaku unik dan mudah diingat, “Isma
Swastiningrum” ada campuran nama Arab, Sanskerta, Hindu, dan Jawanya. Kata dia,
aku tak perlu ngambil nama pena lain, karena nama itu sudah bagus. Aku lalu
bercerita tentang asal-usul namaku dari cerita yang sekilas-sekilas Bapak
ceritakan. Namaku sebenarnya adalah kumpulan dari nama-nama mantannya Bapak,
itu cerita singkatnya. Dan Swasti adalah mantan Bapak dari Bali. Bapak juga
pernah bilang, doa di balik namaku adalah, seperti arti kata Ningrum yang
dipakai oleh golongan ningrat, Bapak ingin nasibku juga bisa sebaik itu.
Aku tertawa mendengar cerita-cerita Arwani, juga sedih
dengan cerita tentang ibunya, bapaknya, saudara-saudara kandungnya. Cerita pula tentang kerinduan akan ibu, ijazah sarjananya yang dia bakar di depan keluarga. Selain itu
juga kemarahan-kemarahan dia akan hidup, akan orang-orang, dan kalau dia sudah
sebegitu lelahnya, dia akan bertanya, “Iki urip sido diteruske gak yo?” Iya,
dari obrolan kami di Slentang-Slenting, grup omon-omon yang kami buat bertiga,
kami pernah membahas terkait kesepian, dan dia sampai di satu titik, pernah
ingin bunuh diri saja.
Aku mengenal Arwani tentu sejak masuk organisasi KMPD
(Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi) dulu, di mana dia adalah salah satu
tetuanya sebelum angkatanku. Aku tahu sepak terjang Arwani dari pemikiran
sampai kisah asmaranya. Dari pengalamannya pula, kurasa dia pernah ngalami
posisi kena cancel culture oleh orang-orang di sekitarnya, dia dijauhi
dan dicap memberi contoh tak baik. Sejauh ini Arwani hebat masih sanggup bertahan. Makin kesini aku juga lebih paham dengan semua kesinisan yang dia rasakan, atau keoptimisan dia terkait buku-buku bacaan.
Sepanjang aku mengenal Arwani, sebagaimana Cakson, dia
adalah sahabat yang loyal dengan orang-orang yang dekat dengannya. Arwani tak
akan segan-segan memberikan apa pun yang dia punya karena anaknya tidak pelit, memberikan tempat untuk
teman-temannya, perjalanan jauh baginya tak sepenting pertemuan dengan
sahabat-sahabatnya, dia juga meski kadang sangat keras kepala dan tak mau
argumennya diintervensi, juga punya sisi-sisi halus dan rapuhnya sendiri.
5. Yeva Serbia
Sosok ini satu-satunya dari golongan hewan yang ingin
kuberikan ucapan terima kasih. Aku menemukannya tak berdaya di jalanan menuju
kosku. Tubuhnya sangat kurus, kuning, perutnya kempes seperti dilindas, tubuhnya
bau, anusnya mengeluarkan cairan, wajahnya dikerumuni semut. Perasaanku begitu emosional menyelamatkan
nyawanya, kuhubungi beberapa teman, lalu aku membawanya sampai ke dua rumah sakit hewan, dan dia tak sanggup
tertolong setelah hampir 24 jam kemudian.
Aku menyaksikan detik-detik kucing jantan ini mengalami
sakaratul maut, hingga kugotong jenazahnya mencari tanah pemakaman di Jakarta yang
tak ramah pada hewan. Aku saat itu membayangkan bagaimana jika dia manusia? Merasakan
kesakitannya, panasnya, kejangnya, hatiku lumer.
Kucing liar ini tak punya nama, dan aku melekatkan nama
padanya, Yeva Serbia, artinya “yang memberi kehidupan”. Aku membawa jenazah
Yeva ke pemakaman Karet Bivak, dan aku mendapatkan izin Yeva bisa dimakamkan di
sana. Dia satu pemakaman dengan Pramodeya Ananta Toer, Chairil Anwar, MH
Thamrin, Ismail Marzuki, dan Fatmawati.
Yev, aku senang bisa mengenalmu, damai selalu di alam sana
ya Yev 🩷
KEGAGALAN-KEGAGALAN
Kegagalan-kegagalan yang kudaftar ini adalah kegagalan-kegagalan
secara teknis, karena secara filosofis, bisa jadi kegagalan-kegagalan ini
berarti lain. Ini beberapa yang kuingat:
- Ibadah wajibku banyak bolongnya.
- Aku tidak lolos beasiswa Cheveing 2024.
- Gagal mencapai standar nilai IELTS yang kutargetkan.
- Gagal seleksi CPNS BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia), kalah di peringkatan SKD.
- Minta maaf sama Fai yang belum bisa nyelesain buku terkait pekerja Jakarta.
- Minta maaf sama netizen/follower IG karena challenge #60daysofindonesianisscholars belum selesai.
- Meditasiku belum bisa rutin.
- Banyak lagi, tapi yang konkrit-konkrit dan kuingat baru ini.
CAPAIAN-CAPAIAN
Capaian pertama yang aku syukuri, karena salah satu mimpi
masa kecilku terwujud adalah, aku telah berhasil menerbitkan buku “Kaki Lima”
dalam wujud buku cetak yang bisa kupegang. Semua berhasil berkat bantuan dari
Ichi Publishing Bandung. Menyenangkannya pula, dalam lauching buku itu aku
tak sendiri. Aku mengajak dua kawanku lain yang menerbitkan buku pula di tahun ini,
mereka adalah Jevi Adhi Nugraha dengan bukunya “Menanam Hantu di Bukit Batu”.
Jevi dulu temanku di Sanggar Nuun dan aktif menulis tentang Gunungkidul.
|
Launching dan diskusi tiga buku
|
Kedua, Khumaid Akhyat Sulkhan dengan buku berjudul “Kronik
Pembunuhan Selma”. Sulkhan ini temannya Ofek, kami kenal di acara klub buku Simulakra
yang bahas materi-materi soal Marxisme. Saat ini dia jadi dosen di UII Jogja. Tiga buku kami ndilallah disatukan oleh
benang merah yang sama: Jogja dengan semua kompleksitasnya. Acara peluncuran
buku dibantu oleh kawan-kawan pengurus LPM Arena dan Sanggar Nuun. Terima kasih
banyak untuk mereka.
|
Tumpengan dan syukuran buku sama Jevi dan Sulkhan
|
Tak hanya di Jogja, diskusi buku “Kaki Lima” juga diadakan
di Warung Kopi Monolog Pejalan, di Karanganyar, Solo. Dibantu oleh Mas Sidiq,
Mas Okki, Mas Rudi, dan Mbak Nabila, alhamdulillah pula acara ini berjalan
dengan lancar, dengan banyak masukan, ide, gagasan berharga yang sempat kutulis
dan kurekam.
|
Di Monolog Pejalan
|
Tahun ini, barangkali secara perjalanan dan wisata tak
sebanyak di tahun lalu. Perjalanan penting tahun ini ketika aku ke Pulau
Nusakambangan dan ke pertapaan Jambe Limo serta Jambe Pitu di Cilacap. Ini jadi
pengalaman seumur hidup yang akan selalu kuingat. Bagaimana rasanya tinggal di tengah-tengah
perbukitan dan hutan, di sampingnya ada ruang mistis dengan patung Punakawan
dan Nyi Roro Kidul. Aku juga bertemu dengan bapak yang sedang semedi, memberi
saya banyak petuah hidup dan spitirualitas.
|
Di Cilacap
|
Tahun ini aku juga dinas dua kali ke Palembang, melakukan
perjalanan ke Pulau Kemaro, menyusuri Sungai Musi dengan kapal di sebuah perahu
kayu kecil sendirian, jalan-jalan di Kota Palembang, main ke Universitas
Sriwijaya, sampai ke makam raja-raja Palembang. Aku juga berkunjung ke Jogja
lagi selain launching buku, perjalananku adalah untuk ke makam Romo Mangun dan
Pak Kuntowijoyo, lalu mengunjungi Mas Eka, Mbak Tami, Mbak Nastiti, Cuk Nisa,
hingga ibu kos Bu Sri Supraptan Ningsih yang saat itu baru saja punya dua cucu kembar, Bima dan
Binar.
|
Bareng Mbak Nastiti nonton pameran di JNM
|
Malamnya sempat nonton pameran di Jogja National Museum (JNM), lalu nonton Silampukau juga di acara pameran besar buku yang
dikoordinatori oleh Om Dodo. Sempat ke Semarang juga buat nyekar Eyang
Soegijapranata, nangis total di sana semacam pengakuan dosa, dan rasanya begitu
plong. Juga sempat ke Bandung berkali-kali pas launching albumnya Kang
Mukti-Mukti dari edisi pertama sampai tiga, dan serasa Bandung ini kayak sangat
dekat.
|
Lauching album Mukti Mukti #3 di Gedung Indonesia Menggugat Bandung
|
|
Rampah Rasa Bandung
|
Aku sempat pulang juga ke Cepu, khususnya pas adik keduaku
Trian wisuda dari STAI Al-Muhammad Cepu. Wisuda dilaksanakan di Gedung Soos,
dekat sama Smansa Cepu. Setelah wisuda, dengan menyewa mobil, aku mengajak ibu,
bapak, dan adik-adik ke Blora, wisata dan makan di Waduk Tempuran Blora. Aku
senang juga tahun ini bisa bantu Bapak melakukan renovasi rumah dari uang yang
aku tabung selama kerja di Jakarta. Meski sejujurnya masih sedih karena ibu
belum sembuh dan masih sakit, kenapa ibu kuat sekali, Ya Allah, sembuhkan
ibuku, aamiin.
|
Waduk Tempuran
|
|
Kuliner Waduk Tempuran
|
Tahun ini juga jadi tahun terakhir aku bekerja jadi penulis
lepasnya Remotivi. Saat dapat pertemuan Zoom untuk mengakhiri kontrakku, aku
senang karena diberikan alasan-alasan logis terkait model bisnis baru yang
dijalankan oleh Remotivi lewat Mas Ilham dan Mbak Yuni, sehingga para penulis
lepas sudah tak dilanjutkan lagi kontraknya. Aku benar-benar ingin mengucapkan
terima kasih pada keluarga besar Remotivi, khususnya Mas Geger Riyanto dan Mas
Yovantra Arief. Kumpulan tulisanku di Remotivi bisa dibaca di arsip berikut:
Binardan Kabut Media.
|
Sorong, Papua
|
|
Dino's Gate Batam
|
Terkait pekerjaan utama sebagai staf jurnalistik di Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri), masih berjalan sebagaimana biasa. Perjalanan dinas
tahun ini ke Palembang dua kali, ke Sorong (Papua), ke Batam, ke Balikpapan, ke
Semarang, kemana lagi ya? Itu sih yang kuingat.
|
Ke Nusakambangan Cilacap
|
Sama bisa nulis rilis yang sudah
kuarsipkan di buku
“Bergerak Melayani Publik”, di sini ada sebanyak 197
rilis. Informasi baru yang penting soal pekerjaan, bosku masih sama Pak Tito
Karnavian, Kabid Pak Aang sudah mau pindah ke Polpum. Temanku Muja sudah keterima
jadi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Lalu Farid yang sempat
kerja di AJI masuk lagi ke Kemendagri, dan sembari kerja, sekarang dia
melanjutkan pendidikan S2 di bidang komunikasi di UIN Jakarta. Julukannya sekarang
cendekiawan Ciputat.
|
Kerja |
|
Ramadan 2024
|
Ngomongin intelektualisme, tahun ini aku bisa menyelesaikan
#30daysofindonesianscholars, mereview 30 judul jurnal dari scholar Indonesia.
Challenge selanjutnya yang belum selesai, aku masih ada utang challenge #60daysofindonesianisscholars.
Capaian berikutnya, ini agak material, tapi ya gak papa,
karena berhubungan dengan trauma masa kecilku yang gak bisa beli apa-apa karena
terbatasnya uang. Aku pernah ada di titik gak ada uang sama sekali, jadi aku
menganggap ini sebagai pencapaian dalam bentuk material. Tahun ini aku bisa
bebas makan enak apa saja yang kusuka tanpa takut dan perhitungan lagi dengan
harga yang perlu kubayar. Tahun ini khususnya aku banyak coba masakan-masakan
Jepang, dan tempat makan yang kusuka untuk ramen adalah Ramen Ten10, khususnya
yang ada di Gajah Mada Mall. Tahun ini aku juga bisa membeli baju-baju dari
brand yang kusuka karena bahannya yang enak banget, desain yang evergreen, life
wears, dan worth of money. Aku mulai memperluas preferensiku akan
banyak hal, tak hanya cara berpikir, tapi juga soal makanan, pakaian, papan, hingga
seni, seperti musik.
|
Ramen 10
|
Soal papan, aku tahun ini juga memberanikan diri untuk
datang jauh-jauh ke Tenjo, Bogor, buat lihat kompleks penjualan perumahan Podomoro
Group. Ini cerita singkatnya:
“Hari ini saya iseng datang ke
salah satu developer perumahan di Tenjo milik Podomoro Grup. Jaraknya sekitar
dua jam dari Petojo, Tenjo ini tergolong kota satelitnya Jakarta. Saya datang
ke gedung marketing-nya yang fancy, setelah dihubungi bagian marketer
di sebuah aplikasi. Dilihat dari pengunjungnya, saya bisa menebak kondisi
perekonomian mereka. Lalu saya ditunjukkan tipe rumah ukuran 60/90 yang juga
sama fancy-nya. Si marketing bilang, ke depan kompleks ini akan dibuat
seperti perumahan di BSD Tangerang. Saya bilang ke marketer setelah tour
contoh rumah, "saya akan pikir-pikir dulu." --meski nantinya gak akan
jadi. Untunglah bagian marketing-nya bukan tipe orang yang suka maksa2
orang buat beli, karena tujuan saya memang membuktikan curiosity saja
sebagai salah satu generasi Y yang disebut susah beli rumah. Dari perjalanan
ini saya bisa mengambil pelajaran berharga buat ke depan berkaitan dengan
papan. Saya juga lebih tahu keinginan dan preferensi saya lebih jelas. Makasi
Tenjo, walaupun panasnya pol, hehe.”
|
Podomoro City Tenjo
|
Soal seni, jika tahun lalu Boy Pablo adalah artis yang
lagunya paling banyak kudengar, maka tahun ini, artis yang paling banyak
kudengar adalah Opick. Lagu yang paling banyak kudengar berjudul “Cukup Bagiku
Allah”. Selain Opick, top artis lain ada Laruku (L’Arc-en-Ciel), Jalan Pulang,
dan Dee Lestari. Aku pernah bilang ke Cakson dan Arwani:
“Tahun ini aku bangga dengan
Opick dan Laruku, dan ini selera baru bagiku di tahun-tahun sebelumnya yang gak
dengerin mereka seintens ini. Seperti kata teman, musik yang kita dengarkan gak
cuma menggambarkan lagu per se, tapi juga perjalanan hidup, jiwa, dan yang tak
kalah penting adalah kondisi emosi, yang kadang naik, kadang turun. Kadang juga
menggambarkan desire kita sama hidup di waktu-waktu tertentu. Beberapa
waktu yang lalu ada teman yang share lagu teratas Spotify-nya tentang
pernikahan atau lagu2 nikahan, ya barangkali memang dia pengen nikah. Lagu
teratasmu Numb (Linkin Park), ya barangkali itu lagu adalah yang bisa
menggambarkan perjalanan hidupmu tahun ini.”
|
Spotify Wrapped
|
Tahun ini, aku juga dipertemukan dengan penulis-penulis
panutanku, bahkan satu forum sama mereka Ya Allah. Seperti jadi moderator untuk
Mbak Linda Christanty di buku barunya “Jangan Percaya Surat Palsu” di acara
Patjar Merah dan Kios Ojo Kios (kurang skena apa). Aku juga ketemu sama Leila
S. Chudori dan Adriano Qalbi di diskusi berjudul “Journaling, The History and
Evolution of Personal Narratives”.
|
Diskusi journaling bareng Leila S. Chudori dan Adriano Qalbi
|
|
Donnie Sibarani
|
|
Mbak Linda Christanty, Mas Eka, Mbak Reda Gaudiamo
|
Juga nonton konsernya Novo Amor gratis di Basket
Hall, GBK, dan kau tahu? Tiketnya yang jutaan itu dikasi gratis sama adik jauhku
yang cerdas, baik, dan tajir berinisial M itu! Gak cuma satu, empat tiket coy!
Aku langsung ngajak Mbak Lita, Mbak Intan, sama Mas Langgeng, teman wartawannya
Mbak Intan. Pulang konser langsung makan pecel lele bareng, wkwk, unforgetable
sih. Yang gak kalah penting juga, ketemu Donnie Sibarani (eks vokalis Ada Band)
di Hotel Mulia, penyanyi favoritku sejak SD. Seneng bangetlah, jelas, yang
belum cuma ketemu Yoshio Akeboshi di Jepang aja ini, semoga kapan-kapan ya,
aamiin.
|
Konser Novo Amor di GBK Jakarta
|
|
Makan pecel lele habis nonton Novo Amor
|
EPILOG
Sebenernya aku bingung mau nulis apa. Pas awal nulis ini,
aku lagi gak mood nulis LPJ (pasti kamu pernah ada kan di momen-momen
hidup yang lagi gak mood, entah apa alasannya), apalagi LPJ hidup,
nyusah-nyusahin diri sendiri aja. Aku kayaknya udah di zona nyaman gak ingin
apa-apa dan cuma ingin nikmatin nafas. Liburan tahun baru gini kayaknya enaknya
tidur, dan lagi gak mikir apa-apa, meski akhirnya brain rot sama layar
gadget, akh! Sebel. Yang ditonton apa? Ya konten-konten Oza Rangkuti lah, influencer
favoritku tahun ini, seluruh dunia harus tahu capaian gue setahun ini
yekan, masak iya, cuma gue aja yang tahu, nggak level. Capaian harus
kuceritakan lengkap, maaf-maaf ya, kalau niru gaya Adriano Qalbi, gue gak mau
juga terlihat mencolok, gue takut prestasi gue menyakiti mereka yang gak
berprestasi, wkwk.
Terus aku sadar, karena berhubung tahun ini aku banyak punya
orang istimewa yang perlu kuapresiasi keberadaan mereka, dan terima kasih
banget mereka sudah hidup, LPJ 2024 ini untuk mereka.
|
30 Days of Indonesian Scholars
|
Biar kayak orang-orang bener di tahun baru pada umumnya, aku
juga ingin membuat resolusi-resolusi awal tahun, ya, mau terwujud mau kagak
biarin, bukan itu intinya, tapi aku ingin punya arah yang jelas saja biar gak
diombang-ambingkan badai hidup yang tak menentu ini (etdah):
- 2025, pengen loyal sama Gusti Allah, terutama dalam hal-hal kecil kayak solat tepat waktu, rutin puasa meski gak mood, dzikir di banyak kesempatan, ya, ingin ingat Allah terus. Aku mesti ingat pesan yang dibagikan Mas Wisnu Prasetya tadi pagi di Instagram, "Progress doesn't wait for motivation. Do it when you're scared. Do it when you're doubting yourself. Do it tired. Do it unmotivated. Keep going..."
- Bisa dapat beasiswa sekolah keluar negeri, kalau boleh di UK biar bisa sekalian beli sepeda Brompton buat keliling gang-gang kecil, lembah, hutan, sungai, dan suguhan alam lain yang pemandangannya indah, hidup seperti dalam gambar foto-foto di kartu pos. Kata Cakson, Brompton di Indonesia mahalnya gak ngotak, sudah digoreng, jadi kayaknya perlu beli di negara pemroduksinya langsung.
- Pengen declare kayak temanku Ofek, sebelum meraih gelar Ph.D dia gak mau nikah, tapi sepertinya aku belum seberani itu. Tapi yang jelas, kalau tahun ini bisa ambil master, perlu aku hubungkan dengan riset di doktoral biar kajiannya linier dan gak putus. Soal nikah, aku udah selow banget sumpah, kulo manut Gusti Allah mawon, yang penting pendidikanku sampai. Kalau boleh request, Ya Allah, kasi saya jodoh yang spek-nya kayak Pak Abidin Kusno itu sudah cukup, haha. Muluk-muluk emang, tapi gak papa. Pak Abidin scholar idolaku.
- Jadikan aku berkah bagi orang lain, semoga aku bisa membantu orang lain dengan tulus. Ingatkan aku akan “tubuh sosial” yang kupunya, jika diriku tak hanya untuk diriku saja.
- Doa yang selalu kuucap setiap tahun: Ya Allah, beri aku badan yang selalu sehat, materi yang melimpah nan berkah untuk hidup dan membantu orang, serta hati dan jiwa yang seluas langit dan laut. Aamiin.
|
Kutipan di serial "The Road to Red Restaurants List" (2020) |
Terakhir, aku ingin menutup LPJ tahun ini dengan lagu dari Bronze
Radio Return dengan judul
“With Me All Along”. Aku ingin mengutip beberapa
larik liriknya yang membuatku terenyuh untuk mewakili tahun 2024 ini:
But that's not you, that's not
you
You never put me in the
rearview
I wouldn't be the same without
you
So I thank you, I thank you
Petojo Enclek XI, Jakarta Pusat, 31 Desember 2024-1 Januari 2025