Halo teman-teman yang baik, buku "Liputan-Liputan Gembira Jurnalis Persma" merupakan dokumentasi dari kumpulan berita online yang pernah saya buat selama berkecimpung menjadi jurnalis pers mahasiswa. Sebenarnya sudah lama saya kumpulkan, tapi baru bisa saya unggah sekarang. Teman-teman bisa mengunduhnya di link: https://drive.google.com/file/d/1ppbHu_kNyq5CbkQuBtNfET07MXWAIRzt/view
Berikut pengantar untuk buku ini:
Pelajaran
Menjadi Jurnalis Kampus
Entah telah
berapa banyak orang, tempat, kejadian, alasan, dan pemikiran yang telah saya
temui selama berkecimpung menjadi jurnalis mahasiswa—khususnya
di LPM Arena.
Saya masuk sejak semester satu (2013), dan aktif di ARENA hingga pertengahan semester sepuluh.
Hampir lima tahun di ARENA dan merasakan
pergantian kepengurusan hingga empat kali. Jika menjadi anggota ARENA lebih lama dari itu, mungkin saya
akan terus-terusan. Namun, satu-satu akan pergi juga, regenerasi akan selalu
terjadi demi sehatnya organisasi.
Nyaris sebagian
besar waktu hidup saya di Jogja saya persembahkan semuanya dengan tulus untuk ARENA.
Bagi saya ARENA adalah kesenangan yang tak henti-hentinya saya syukuri
seumur hidup. ARENA bagi
saya lebih dari sebuah rumah di mana saya mengalami revolusi besar-besaran
terkait bagaimana saya memandang dan menjalani hidup. Di ARENA saya belajar apa
pun. Bahkan saya lebih merasa jika kuliah saya yang sebenarnya adalah di ARENA
daripada di kelas.
Saya sering
mendengar, ARENA dikatakan sebagai martir. Berita-beritanya terlalu keras
dan berani; yang selalu mengakibatkan pihak yang kami liput menjadi sangat
gerah. Tak jarang setiap kami liputan, beberapa pihak kampus yang tidak terima
dengan pemberitaan kami berceramah dan mengomeli kami dulu sebelum melakukan
wawancara. Saya sendiri sangat berterima kasih dan berlapang dada jika memang
terbuktikami sebenarnya salah dan dievaluasi dengan argumen yang membangun.
Sungguh itu pelajaran yang sangat penting. Di mana diskursus telah terjadi.[1]
Atau sudah
terlalu sering juga pengurus ditanyai: kenapa
ARENA hanya membuat berita dan
tulisan yang negatif-negatif saja? Yang jelek-jelek saja? Saya hanya ingin
menggarisbawahi bahwa: kami bukan menulis hal-hal negatif atau yang
jelek-jelek, kami di kenyataan hanya melihat sesuatu yang tidak benar dan tidak
sesuai; lalu kami melakukan kritik atas itu. Tugas kami memantau dan
mengabarkan ketimpangan yang terjadi antara apa yang senyatanya dengan apa yang
seharusnya—bukan menjelek-jelekkan.
Nafas kami
adalah nafas progresif, konstruktif, dan alternatif. Kami idealis, independen,
dan terbelit kepentingan. Bagi saya, itu adalah nafas utama persma.
***
Saya tak tahu
dengan pasti, untuk apa saya membuat buku kumpulan berita ini. Ada beberapa
kegelisahan pribadi yang saya rasakan ketika bergelut di persma. Pertama, semakin sedikit anggota persma
yang hanya sekedar “mencantumkan nama” dalam organisasi. Kerja utama persma
yaitu “menulis” (meski sesederhana apa pun) mulai ditinggalkan. Sebulan sekali
menulis tulisan satu saja masih bisa dibilang mending. Bahkan ada yang tak
berkarya sama sekali. Apakah itu laku yang tepat sebagai anggota persma? Kedua, tanpa tulisan rutin yang
dihadirkan para jurnalis pers mahasiswa, saya khawatir persma hanya sekedar
menjadi lembaga kajian yang sering berdiskusi atau alat propaganda gerakan
saja. Ketiga, degradasi wacana karena
kurangnya tulisan. Orang cerdas bagi saya adalah dia yang paham dan menularkan
pemahaman itu melalui tulisan sehingga membuat idenya bisa ditularkan untuk
kebaikan bersama.
Setelah saya
hitung-hitung, berita saya di web lpmarena.com yang saya kumpulkan dalam
antologi ini lebih banyak meliput di luar kampus daripada yang di dalam kampus.
Hanya sekitar 1/10 saja dari jumlah tulisan saya yang meliput kampus. Itu pun
bukan berita yang mendalam. Hanya tulisan-tulisan di SLiLiT yang murni secara lebih panjang membahas
soal kampus—dan jumlahnya hanya empat liputan. Itu kenapa antologi ini saya
namai Liputan-Liputan Gembira Jurnalis
Persma. Sebab isinya memang kebanyakan liputan-liputan sederhana, biasa,
bisa jadi retjeh—yang semua anggota
pers mahasiswa saya pikir bisa membuatnya, tapi meliput kesederhanaan ini membuat saya
senang/gembira.
Belakangan saya
menyesal. Kenapa saya lebih banyak menulis hal di luar kampus? Kenapa seabai
ini dengan kampus sendiri? Padahal tugas pers mahasiswa adalah pers yang
menjadi pengingat bagi kampusnya sendiri. Isu kampus tak pernah akan selesai
digali. Apalagi setiap hari manusia berkembang, kampus juga berkembang, setiap
tahun ajaran memiliki kisah sendiri. Satu-satunya majikan pers mahasiswa adalah
publik kampus. Masalah dan dinamika kampus adalah jantung pers mahasiswa.
Kampus adalah poros.
Pergeseran
perspektif juga, seolah ada trend
“liputan di luar” (apalagi liputan konflik) lebih punya bobot, daripada meliput
“yang di dalam”. Saya pribadi, kampus berperan sebagai isu primer. Lalu ada isu
sekunder semisal isu-isu genting kerakyatan, semisal penggusuran di Kulon
Progo, kasus proyek bandara NYIA, atau kasus agraria. Baru terakhir yang paling
sunnah sebagai isu tersier adalah
yang ringan-ringan. Semisal bedah buku, pameran, atau peristiwa-peristiwa yang
sifatnya selingan.
***
Dari pengalaman
liputan dan bertemu dengan banyak subjek di kampuslah saya tumbuh dan melaju
lebih cepat. Aktor-aktor kampus telah mengajari saya pelajaran-pelajaran
bagaimana menjadi seorang jurnalis persma. Saya ingin merangkum beberapa
pelajaran menjadi seorang jurnalis selama saya bergelut dalam dunia pers mahasiswa
kampus:
Pelajaran
pertama:
Jurnalis itu jadi peneliti yang update kejadian
setiap hari. Dulu saya berpikir di media mainstream ada tuntutan menulis
semisal 5-10 berita per hari. Setelah berpikir lebih panjang, 5-10 kejadian itu
tak ada seujung kuku fenomena dunia/Indonesia yang terjadi. Saya harus ingat,
dasar jurnalis adalah fakta (peneliti), bukan etika/moral/idealita
(penceramah).[2] Journalist must be update in reality. Ingat
pesan jurnalis Amarta Loebis: hakikat
jurnalis adalah menulis dan mengabadikan sejarah hari ini.
Pelajaran
kedua:
Melakukan liputan dan bertemu dengan narasumber jika tidak benar-benar paham
dengan isu yang diangkat sama saja dengan bunuh diri—yang datang dengan kepala
kosong dan tidak berbasis data. Jurnalis-jurnalis serampangan saja yang yang
melakukan hal seperti itu, yang melacurkan otaknya sedemikian rendah di depan
narasumber. Tak beda jauh sama kepanjangan tangan hoaks, “yang sekedar ingin
tahu saja”. Boro-boro bicara dampak. Masalah dasarnya saja tidak tahu. Sangat
kelihatan antara ada masalah dan tidak ada masalah. Pernyataannya ini-ini,
masalah ini-ini, data ini-ini, baru pertanyaan ini-ini. Kalau bisa nyambung dengan narasumber, dia bakal
semangat sekali menjelaskannya.
Pelajaran
ketiga:
Baca itu mudah, murah, dan tinggal melakukan. Data-data jurnalistik ada di
mana-mana sekarang. Kita tinggal mencari dan membacanya. Apalagi sekarang
tinggal ketik dan klik.
Pelajaran
keempat:
Asyiknya liputan jika bertemu dengan seorang whistle blower (seorang yang menceritakan secara blak-blakan akan
suatu kejahatan pada isu tertentu). Di sana kepentingan publik rasanya
dipecundangi, tapi di sisi yang sama seorang whistle blower tak ingin namanya ditampilkan, karena ada
dampak-dampak tertentu secara personal.
Pelajaran
kelima:
Apa yang diminta redaksi, LANGSUNG KERJAKAN! SELESAIKAN! Tidak ada hal yang
lebih membahagiakan selain melakukan dengan secepat dan sebaik yang redaksi
minta.
Pelajaran
keenam:
Butuh usaha lebih. Terkait ini, ada seorang narasumber yang bilang dalam WA-nya
ke HP saya: “Kalau saya seharusnya Anda bisa dengan mudah ketemu Pak X,
seharian tadi dia di kampus, saya yang rapat di luar.” Dari pesan WA itu saya
berpikir, “harusnya kamu tuh lebih aktif dan usaha. Tak hanya sekedar
mengandalkan HP. Tapi langsung turun ke lapangan.”
Pelajaran
ketujuh:
Hargai privasi narasumber. Saya pernah
melakukan wawancara dengan narasumber yang awalnya defensif ketika ingin
mewawancara beliau. Reflek saya diam-diam merekam perbincangan dengan
narasumber itu. Hampir satu jam ia menjelaskan.
Banyak hal off the record yang
narasumber ceritakan. Sekiranya, obrolannya begini:
“Mbak
merekamnya?”
“Iya
Pak.”
“Anda diajari
kode etik tidak?”
“Iya Pak,
diajari.”
“Kenapa
dilanggar?” saya hanya diam. “Anda tadi tidak bilang ke saya mau merekam. Anda
itu Pimred. Anda bisa saya tuntut.”
“Tadi saya ingin
bilang mau merekam, tapi belum sempat bilang,” kata saya pasrah, dalam hati
saya mengaku salah, saya khilaf.
“Tadi ada
pembicaraan yang penting, nyebutnama,
dan saya bisa dipecat gara-gara itu. Saya pernah kerja jadi wartawan. Harusnya
tadi kalau saya bilang off the record, rekamamannya
di-pause dulu,” kata beliau. Sungguh
teknik liputan yang tak pernah saya dapatkan sebelumnya.
Lalu Bapak yang saya hormati tersebut meminta saya menghapus rekaman tersebut
langsung di depan beliau. Saya tunjukkan rekamannya dan saya hapus. Lalu saya
pulang dan mengucapkan terima kasih. Sampai keluar ruangan, saya merasa ini
pelajaran berharga yang tak pernah saya dapatkan jika saya hanya duduk manis di
ARENA.
***
Inti dari
semuanya adalah baik atau buruk dari setiap pengalaman liputan itu berharga,
aset, dan investasi. Pelajaran di atas akan terus bertambah dan bertambah jika
masih mensetiai prosesi sebagai seorang jurnalis. Setiap langkah akan semakin
dewasa dan berhati-hati. Saya pernah menulis sebuah caption di IG: ”Saya sering
merasa terpukul dan mengutuki diri sendiri pada setiap berita-berita buruk dan
berita-berita salah yang saya buat. Agak lama merenungnya, sampai saya sadar di
mana letak salahnya. Dari salah menangkap maksud narasumber, salah ngutip, salah data, salah pengertian,
tapi tak ada yang yang separah jika salah konsep. Dari kritikkan berita anak
SD, berita hello kitty, berita sampah, sampai saya ngrasa ‘lu becus gak sih Is nulis berita!?’. Jatuh bangun terus,
jatuh, jatuh bangun, bangun, dan bangun.”
Saya sebenarnya
malu ketika membaca tulisan-tulisan berita saya lagi. Sungguh. Saya sering menghadirkan
hal-hal yang tak konkret, yang terlalu wacanais, dan konsep-konsep yang absrak;
bukan ciri dari jurnalisme yang baik seperti bisa dipanca-indra, sangat faktais,
dan lebih banyak kenyataan.
Saya sadar,
tulisan-tulisan yang saya kumpulkan dalam antologi ini tidak semuanya bermutu—toh saya
mengumpulkan ini terutama untuk kegembiraan saya sendiri.
Bagaimana pun rupanya, ini adalah karya yang bisa saya pertanggungjawabkan.
Saya hanya berharap tulisan-tulisan di sini memiliki nilai guna juga; bagi
siapa pun yang ingin membaca atau belajar menulis berita. Semoga menginspirasi.
Tabik.
"Carpe
diem, quam minimum credula postero. Memento mori."
"Petiklah
hari dan percayalah sedikit mungkin akan hari esok. Ingat pula kematian."
Yogyakarta, 30 Juli 2018
[1] Tapi jangan
mengacuhkan kami seperti tidak menggubris kami dengan tidak memberi waktu
wawancara. Padahal aktor kampus tersebut menjadi ring satu isu yang ditulis.
[2] Bedakan
antara menjadi desainer dan tukang jahit. Antara jadi peneliti dan penceramah.
Desainer dan peneliti merdeka secara ide, tukang jahit dan penceramah hanya
jadi budak ide. Tukang jahit dan penceramah sudah begitu turah-turah di bumi
ini.