Sabtu, 29 Agustus 2020

INTJ dan Emang Gak Capek

 -(ngoceh panjang)

+Gpp nyante aja

-Oke

+(ngirim link: "Memangnya, Ngga Cape?") Tulisan yg selalu saya baca klo overthinking.

 -Haha, iya juga ya kalau dipikir-pikir. Hidup saat ini, di masa ini.

+Seperti prinsip stoic. Klo dipikir2, ini saya pribadi ya, dan entah ini menggeneralisi/mengglorifikasi INTJ. INTJ itu ibaratnya gak perlu belajar ngegas...gak perlu quote motivasi, udah termotivasi sendiri, gak perlu suruh bergerak, sudah pasti bergerak.

-I can relate.

+Tapi yg saya lupa, ibaratnya untuk jadi pengendara motor yg jago, ternyata ngeremnya juga harus jago...

-Terlalu kenceng jalani hidup. Lupa cara relieve dan bersenang2.

+Pembalap motor yg baik adalah orang yg tau motornya apa, mau ngapain, kapan ngerem yg tepat, kapan ngegas yg kenceng. Ya jadi, saya pribadi sampe sekarang belajar cara ngerem yg benar dan tepat.

Sumber: obrolan dengan A.K.

***

Oiya, ini aku cantumkan tulisan dari Pak Edward Suhadi dari blog-nya:

Edward Suhadi 

Bangun subuh lagi.
Mandi subuh lagi.
Ngantuk di mobil lagi.
Antri cek security lagi.

Lewatin gerbang imigrasi otomatis lagi – kalau ini yay!
Turun eskalator lagi.
Jalan jauh ke gate 3 lagi.
Nunggu boarding lagi.
Antri pelan-pelan masuk pesawat lagi.
Diselak orang lagi.
Kuping budeg lagi.
Keluar desak-desakan lagi.
Antri imigrasi lagi.
Ganti SIM card lagi.
Panggil Grab lagi.
Duduk di mobil lagi.
Antri di rumah sakit lagi.
Duduk nunggu dipanggil lagi.
*ambil napas*

You get the point.

Pertanyaan orang selalu sama ketika tahu ini percobaan bayi tabung ketiga kami di Penang.

“Apa nggak capek? Semua flight itu? Semua nunggu di dokter itu? Semua nginep di hotel itu? Semua unpacking sikat gigi dan sabun mandi itu?”

Kalau kita mau runut-runut dan ingat-ingat semua yang saya tulis di atas, ya pasti rasa capek (dan mungkin kesal) langsung menggantung seperti awan kelam yang mengikuti kita ke mana-mana seperti film kartun jaman dulu.

Tapi jujur buat saya, saya nggak ngerasa capek sama sekali.

Karena buat semua perjalanan panjang yang saya lakukan, yang saya pikirkan, hanya apa yang ada di depan mata. Saya buat pikiran saya rabun jauh, dan hanya bisa melihat hal-hal yang dekat dan secukupnya saja.

Ketika bangun subuh, yang saya pikirkan adalah bagaimana saya bisa happy hingga saya siap berangkat ke airport.

Ketika saya di mobil menuju airport, yang saya pikirkan adalah saya bisa menikmati bisa tidur 15 menit lagi di mobil.

Ketika sampai di airport, yang saya pikirkan adalah perjalanan santai saya menuju gate 3 Terminal 3 yang ampun jauh amat tapi yah sekalian olahraga jalan santai.

Ketika di pesawat, yang saya pikirkan adalah melanjutkan buku baru saya, atau menonton downloadan Netflix semalam, atau mikir tenang-tenang memecahkan 1 dari 1000 masalah di kantor.

Ketika di ruang tunggu dokter, yang saya nantikan adalah sesi temu itu saja, 10-15 menit duduk berhadapan sama dokter. Nothing more.

Ketika dokter bilang, “Come back in two weeks,” saya jawab, “oke.” Dan sambil keluar ruang dokter, yang saya pikirkan cuma pilihan makan siang apa ya sebelum nanti sore ke airport untuk pulang.

Again, you guys get the point.

Tidak pernah ketika di mobil di Jakarta menuju airport, saya sudah marah-marah dan berat pundaknya membayang-bayangkan begitu banyak waktu, usaha, dan energi yang akan habis dalam 2 minggu ke depan, hanya untuk memulai siklus dan perjalanan yang sama lagi.

Saya selalu berusaha menjalani hidup, sepotong demi sepotong. Selangkah, demi selangkah.

Tentu tetap harus punya mimpi, punya rencana, punya persiapan.

Karena hanya dengan mimpi dan rencanalah kita bisa punya tenaga untuk sampai di sebuah tempat di masa depan.

Tapi dalam menjalaninya, supaya punya stamina untuk bisa terus tekun, konsisten dan persisten, kita harus belajar hidup selangkah demi selangkah.

Seorang pelari maraton pernah berkata kepada saya, “Supaya bisa selesai lari maraton itu jangan melihat dan perpikir tentang jauhnya rute (42 km), tapi bagaimana kaki saya ini bisa diayun untuk menyelesaikan langkah yang berikut ini. Satu langkah lagi aja. Lalu langkah berikut. Lalu berikut.”

Pesan saya untukmu teman-temanku, apapun perjalanan berat dan panjang dalam hidupmu, ambil selangkah, demi selangkah.

Pagi ini akan kita ketahui persis apakah dua embrio kami berhasil menempel atau tidak. Kalaupun menempel, apakah akan berlanjut menjadi kantung? Menjadi detak jantung? Menjadi kaki, tangan? Menjadi otak yang berkembang sempurna? Menjadi bayi yang lahir sehat? Menjadi anak yang bahagia?

Selangkah, demi selangkah, demi selangkah.


*Edward Suhadi adalah creative director Ceritera, sebuah storytelling agency di Jakarta.

Kamis, 27 Agustus 2020

PERILAKU

Bukan kata-kata, ucapan, atau tulisannya; tapi bagaimana perilakunya. 

Kamis, 20 Agustus 2020

Insecure dan Inferior

-Alasan kamu pengen nikah apa sih?

+Capek haha

-Gitu doang?

+Iya

-Trus abis nikah, kamu yakin gitu hidupmu gak capek?

+Ya pasti capek. Tambah capek malahan kalo ketemunya yang ngeselin haha. Tapi ya pasti aku bisa beradaptasi haha.

+Hahaha, pede banget. Bagus sih. Aku juga belum nemu alasan yang kuat kenapa harus nikah. Bayanganku cuma, aku butuh orang yang bisa diajak "hidup" bersama. Tapi iya juga sih, capek sendiri terus itu.

+Kamu aja masih insecure-an. Seenggaknya harus selesai sama diri sendiri dulu lah ya. Gausah nikah aja, melihara anjing, hidup sama anjing.

-Tega. Tapi emang masalahku sejak dulu, sering ngrasa insecure. 

+Kamu ngerasa gak cantik pasti. Cewek-cewek.

-Salah satunya. Trus gimana dong biar gak insecure?

+Ya, kamu insecure apa enggak juga sama aja kan ya. Gak berubah. Yaudah gausah inscure.

-Iyasih.

+Namanya udah takdir kalo fisik tuh. Yaudah terima-terima aja.

-Mungkin sering timbul perasaan gak pantas gitu sama orang.

+Inferior.

-Tapi bener sih katamu. Seinsecure apapun aku juga gak berubah.

+Ya, makanya.

Sumber: obrolan dengan A. Y. P.

Rabu, 19 Agustus 2020

Pekerjaan Paling Baik

 -memang pekerjaan lo apa?

+pengantar roll film

-lo tu kelihatan pinter, kenapa jadi underachiever gitu

+memang pekerjaan yang baik seperti apa? Yang banyak uangnya?

-memang begitu kan

+men, lu ngecewain gue. Buat jadi seniman pikiran lu terlalu dangkal. Pekerjaan paling baik adalah pekerjaan yang lu bisa nikmatin pekerjaan itu.

-dan kamu menikmati pekerjaan sebagai pengantar roll film?

+ya. Pekerjaan mengantar adalah segala bentuk dari silaturahmi. Karena sifatnya menghubung-hubungkan orang. Ingat nabi-nabi kan? Tugasnya mengantar pesan dari Tuhan ke manusia.

Sumber: Janji Joni

Rabu, 12 Agustus 2020

Jika Itu Mimpi, Aku Tak Ingin Mimpi Itu Berakhir

Aku ingin merawat dunia kecil yang kutumbuhi dengan cinta, yang sepi dan menyenangkan. Tadi pagi sebelum subuh aku bangun dari tidur, membaca TOR project kawan-kawan terkait sebuah buku tentang bagaimana menarasikan penderitaan menjadi tentara cadangan pekerja. Kubuka lagi majalah Basis terkait buruh informal. Aku serasa menemukan hidupku lagi: "Back to my core. My basic. My basis. And I promise, I will stand there for long time."

Lalu aku tidur kembali sekitar pukul lima. Aku bermimpi hal yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Mimpi ini begitu indah, begitu nyata, dan aku tak ingin bangun cepat. Aku bermimpi bertemu dengan Yoshio Akeboshi, musisi dan sosok favoritku di dunia dan di akhirat. Begini cerita mimpi itu:

Aku melihat Akeboshi berpakaian kaos lengan panjang warna abu-abu. Dia memakai kacamata (tak seperti biasanya), saat itu Akeboshi tengah bersepeda dan aku melihatnya dari jauh di sebuah beranda anjungan; di alam yang segar dan bebas dengan banyak tumbuhan hijau, angin semilir-semilir melambaikan rambut. Dalam hati aku sudah histeris, betulkah yang kulihat? Betulkah itu Akeboshi?

Tak kusangka Akeboshi duduk tak jauh dariku. Kursi kami membentuk huruf L, Akeboshi duduk di sisi horizontal, aku vertikal. Aku deg-degan menutup wajahku dengan buku antara sadar dan tidak sadar. Ya Allah, kemudian Akeboshi menyapaku dengan bahasa Inggris. Yang kalau aku bahasa Indonesiakan seperti ini:

"Hai, Isma." Dipanggil begitu aku kayak hilang ingatan sejenak. Apa? Beneran Akeboshi manggil namaku? Trus aku nunjuk diri sendiri.

"Aku?" Akeboshi ngangguk.

"Lama ya kamu nggak sepedahan (olahraga lagi)," lanjutnya. Dalam hati: kok dia tahu aku suka sepedahan? Olahraga jalan-jalan pagi? Apa dia pernah mengamatiku? Dengan malu-malu, hatiku berbunga-bunga. Buku yang kupegang berada di depan wajah, buku itu bergerak membuka dan menutup mengintip wajah Akeboshi yang subhanalove. Haha, lebai, biarin. Rotasi hidupku hanya seputar mengitarinya saja. Di scene lain, dia mengungkapkan fakta-fakta terkait aku juga. Tambah senang rasanya.

Tiba-tiba scene berubah. Ternyata Akeboshi bersama artis-artis lain yang aku nggak peduli ada siapa aja, yang pasti banyak, yang aku pedulikan hanya Akeboshi seorang; mereka tengah menggelar konser amal gitu. Saat itu Akeboshi dibantu asistennya, aku mengamati Akeboshi dan asistennya. Aku menguntit kemanapun Akeboshi pergi. Saat konser, Akeboshi memakai baju flanel warna merah sleret hitam. Akeboshi mungkin sadar aku tengah memperhatikannya. Mataku tak bisa lepas sedetikpun darinya. Kulihat Akeboshi enjoy-enjoy saja dengan tingkahku. Malah sepertinya dia ingin mengajakku ngobrol dan dekat berdua lebih lama--atau cuma perasaanku aja kali, haha.

Hingga di suatu scene lain ada upacara penyambutan. Aku ketemu adik tingkatku di persma yang sepertinya ditunjuk untuk perwakilan acara. Lalu ada sesi makan bersama. Menunya roti bermacam-macam. Perasaanku terbagi dua: takut kelaparan dan takut kehilangan moment melihat Akeboshi. Miskin mempengaruhi mentalku sampai segitunya ya. Makanan dan urusan perut tetap menjadi prioritas utama. Jika materialku berubah, hidupku juga akan berubah.

Lalu aku bangun tidur, dan rasanya antara pengen nangis, seneng, bahagia, dan sedih. Belum pernah aku mimpi se-memorable ini dalam beberapa tahun terakhir. Ya Allah, aku belum nonton Akeboshi konser. Kenapa aku harus bangun? Jika ini mimpi, aku mau hidup dalam mimpi saja. Asal bisa dekat sama Akeboshi, asal bisa lihat Akeboshi tiap waktu. Aku masih ingin mendengar suaranya dan ngobrol dengannya lebih lama.

Beberapa hari yang lalu, lagu-lagu Akeboshi banyak ku-repost di Soundcloud. Dua hari yang lalu pas masih di Jogja aku muter lagu "Tiny Rainbow" juga di Embung Langensari, sambil memperhatikan langit, moment yang ingin kulakukan sebelum nanti aku mati. I feel like, I find my life where I'm with you Ake :') and I don't want anything else. Just you and you. Aku mempelajari ulang motto yang pernah kudapat saat pulang sekitar sebulan yang lalu: jangan pernah berpikir orang lain tak melihat. Orang lain melihat, orang lain merasa. Energi tak pernah membohongi, semakin kuat akan semakin sampai pada yang dituju.

Aku dengar lagu Akeboshi yang judulnya "Quiet Garden" dan "Usual Life", aku mbrambang dan nangis. Siangnya aku DM Akeboshi di IG untuk kesekian kalinya sejak DM pertama kali pada 2017 dan tak pernah dibalas. Aku hanya bilang terima kasih dan ucapan yang meredamkan hatiku lainnya. Mungkin ini yang namanya cinta, aku tak pernah kecewa dengan apapun balasannya.

"You broke my feet, back down to the ground. What was steady still begin to move. A thousand flowers bloom to the sky. You took away my hardship, walking in this line. Longing road..."

Ake, how I miss you. Abundant love to you. I love your dark and your light. ❤

Semarang, 12 Agustus 2020

Your guardian angel: Ideopraksis