Rabu, 5 Juli 2017 │
09.50
Kau tak akan
percaya. Pria itu berdiri di depan rumah. Rumah gaya Jawa dari kayu yang mungkin sama tuanya dengan usia pria itu. Di depan rumah banyak rongsokan,
sambil ada seorang pria yang sedang membantu. Ada pula dua kambing kecil warna
hitam dan beberapa ayam. Pakainnya kaos kampanye calon presiden berwarna putih dan celana
kain warna coklat muda yang sudah lusuh. Wajahnya memperhatikan saya dan adik saya yang sedang
geleng-geleng linglung mencari sebuah alamat: Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) di Jalan Pramoedya Ananta Toer No. 40 Jetis, Blora.
“Masak itu tempatnya?” tanya adik saya tak percaya.
Sepertinya tempat itu tak sesuai dengan apa yang dia ekspektasikan sebelumnya.
Menganggap perpustakaan ini besar dan banyak pengunjungnya, dengan
beberapa gelintir penjaga. Perpustakaan itu sangat sederhana.
“Iya,” kata saya yakin. Sebab ada
mural gambar foto Pramoedya di dinding kayu rumah itu. Lalu saya turun dari motor dan
menemui pria berjenggot, berbrewok putih, dan berambut putih tersebut. Pria
itu masih tersenyum pada saya. Pas sampai dekat, saya bertanya:
“Maaf bapak, ini Pataba?” tanya
saya.
“Iya,” jawabnya. Saya refleks
langsung mengulurkan tangan.
“Isma.”
“Soesilo.”
“Soesilo Toer?”
“Iya.” Betapa bahagianya saya saat
itu, dan kalau saya bahagia, saya tak ingin apa-apa lagi.
“Lagi sibuk apa Pak?”
“Sibuk jadi rektor,” jawabnya
sambil tertawa.
“….” Saya membalas senyumnya agak
bingung.
“Rektor, orek-orek perkakas
kotor. Hehehe.” Beliau tersenyum lagi. Ia langsung mengajak saya masuk ke
perpustakaan PATABA.
|
Ruang utama Pataba |
Pak Soesilo membukakan pintu.
Foto, lukisan, dan karikatur bergambar wajah Pram langsung menyambut mata saya.
Diselingi pula foto-foto pemikir dunia seperti Sigmund Freud, Dostoevsky,
Multatuli, dan lain-lain. Ruang utamanya berukuran sekitar lima kali empat meter,
dan di sampingnya ada kamar kecil yang menjadi kamar Pram dulu.
|
Kamar Pram |
|
Buku-buku di Kamar Pram |
Di ruang utama
ada beberapa rak dan meja yang diisi buku-buku. Bukunya beragam tema dan
bahasa, dari bahasa Rusia, Belanda, Jerman, Inggris, Indonesia, sampai
buku-buku dari Penerbit Pataba. Pak Soesilo mempersilahkan kami duduk, saling
berhadapan.
|
Soesilo Toer |
Pak Soes sangat ramah. Ketika
bertanya dimana saya kuliah? Saya bilang Jogja. Beliau lalu cerita tentang tempat
di Jogja yang ternyata tempat asal istri ketiga Pak Soes. Selisih usia pasutri
ini 30 tahun. Ia memiliki satu putra bernama Benee Santoso. Nama Ben sendiri
katanya tidak jauh dari kedekatan Pak Soes dengan Benedict Anderson yang meninggal di
Malang tahun 2015 lalu. Ia dan Ben sering kirim mengirim surat. Pak Soes
lalu menceritakan saya tentang banyak hal, dan saya sangat bingung
menulisnya darimana.
Saya akan memulai dari kisah tentang
titik balik kenapa Pak Soes menjadi cerdas berikut rahasianya. Pas
kecil, Pak Soes sebelas dua belas sama kakek Pram bodohnya. Dari SD sampai SMP
nilai-nilainya selalu di bawah lima. Nah, pas SMA semua berubah. Pas lulus SMA,
nilai ujian Matematika dan IPA-nya 10, dan bahasa Inggrisnya sembilan. Jadi lulusan
terbaik yang diterima di UI tanpa tes, tapi karena tak ada biaya, tidak beliau
ambil. Ia masuk di Akademi Keuangan di Bogor (yang sekarang jadi BPK), hingga di lembaga
itu beliau kuliah sampai di Uni Soviet (sekarang Rusia), di Universitas Patrick Lumumba (S2) dan Universitas Plekhanov (S3) mengambil jurusan ekonomi.
Lulus dari Akademi Keuangan Bogor, ia menunggu jatah untuk
sekolah ke Rusia hingga tahun ketiga. Tahun pertama jatah Pak Koesalah Toer, tahun kedua kuota penuh.
Tahun satu dan dua ini tak ada tes, dan apesnya di tahun ketiga ada tesnya.
Data yang saya ingat, dari 9000 pendaftar, orang yang terpilih hanya 90, dan dia salah
satunya. Pas masuk di universitas itupun beliau sudah telat, Harusnya
pertengahan September sudah mulai, ia baru sampai Rusia akhir Oktober.
Ia pun
mengejar ketertinggalannya. Beliau bisa menguasai Bahasa Rusia dalam waktu 6
bulan. Tiga bulan pertama untuk belajar kosa kata. 3000 kata dalam tiga bulan, 6000 kata enam bulan. Diksi yang dipelajari diksi yang sering dipakai sehari-hari. Belajarnya dari
jam 11 siang sampai jam setengah dua belas malam. Di samping itu di Rusia, beliau
juga menjadi editor dan kontributor di media-media Rusia, dan bayarannya
lumayan banyak. Dia juga menjadi lulusan tercepat. Menempuh S3 hanya dalam 1,5
tahun. Saat temannya belum tahu judul apa yang mau digarap, beliau sudah selesai.
Sedihnya, disertasi Pak Soes yang telah
dibukukan berjudul Republik Jalan Ketiga dituduh menjiplak karya Antoni Giddens yang berjudul Jalan Ketiga (The Third Way).
Buku Pak Soes itu mengkritik tentang kapitalisme dan sosialisme, mencari jalan
lain dari keduanya. Tuduhan dilakukan oleh intelektual-intelektual
Indonesia yang kebarat-baratan, yang menganggap
barat lebih tinggi dan meragukan kemampuan anak bangsa sendiri. Padahal,
Pak
Soes menulis buku itu tahun 1967, sedangkan Giddens menerbitkan buku itu
pertama kali tahun 1998. Tanggapan Pak Soes pun
membuat saya geli: “Gak papa, saya malah bangga.
Karya saya bisa menjadi inspirasi Giddens nulis itu.”
Kembali ke titik balik kecerdasan Pak Soes yang
terjadi ketika ia diminta seseorang untuk mengantarkan seorang perempuan pulang
naik kereta. Di kereta itu beliau membawa buku matematika dan hanya membukanya,
tak mempelajarinya. Pak Soes remaja sibuk memperhatikan perempuan yang di antarnya
itu, sebab perempuan itu menarik. Lalu, jiwa mudanya tumbuh, beliau pacaran. Kata
beliau:
“Pacaran menyeimbangkan otak
kanan dan otak kiri. Ketika dua otak itu berjalan, orang akan menjadi cerdas,”
teorinya. Saya pun skeptis dengan narasi soal cinta.
“Tapi, kalau lihat pola pacaran
anak sekarang, lebih ke perasaan. Jadi gak semakin cerdas, malah semakin bodoh,
Pak,” saya tak setuju.
“Kuncinya jangan berlebihan.
Semua yang berlebihan tidak baik. Dan jangan terlalu dibawa perasaan. Kau tahu
Pram pernah bilang apa soal cinta?”
Saya geleng-geleng kepala, habis
pikir.
“Cinta itu seperti aku kentut.
Kawin itu seperti aku berak.” Saya tertawa kecil.
“Saya tidak pernah bilang
cinta sama istri saya. Pram pun ketika menulis surat cinta untuk orang yang
dikasihinya saya sensor dulu. Dia nyuruh
saya yang sensor, lalu saya ubah beberapa.”
Lalu beliau flashback tentang masa lalunya dengan pacar-pacanya yang ada di
Rusia. Kisah semuanya bisa juga kawan baca di novel Soesilo Toer berjudul “Anak
Bungsu”. Cerita singkat beliau begini: pas beliau di Rusia ada seorang
perempuan yang menjadi rebutan tiga pria mapan, tapi malah perempuan cantik itu
milih Pak Soes. “Perempuan memiliki seleranya
sendiri dalam milih pria. Pria juga. Nah, selera perempuan yang mencintai saya ternyata apa? Karena saya brewokan dan dua teman saya klimis-klimis,” ceritanya tertawa mengenang.
Menjadi Pemulung Adalah Jalan Hidup
Ini yang membuat saya antara
percaya dan tidak percaya. Memulung semacam menjadi panggilan jiwa Pak Soes.
Dia semacam punya radar yang kuat akan karir profesionalnya ini. Kisah memulung
itu dimulai saat dia kecil bersama kawan-kawannya. Pas kecil dia dan dua kawanya
janjian untuk jadi pemulung kertas perak di rokok-rokok, kertas itu dijadikan semacam
tempelan (filateli).
Nah, di sebuah jalan ketika ia
dan dua kawannya janjian mulung, ternyata ada benda semacam barang serupa
rokok yang jatuh dari sebuah mobil—yang ternyata itu adalah dompet. Pak Soes
dan kawannya saling rebutan dompet itu dengan berlari.
Lalu uang itu dihitung
bersama-sama, dan isinya banyak. Para kawan itu menggunakan uang tersebut untuk
membeli lontong tahu di pasar selama beberapa hari. Kisah lainnya tentang
kebiasaan penjual di pasar (saya lupa pedagang apa) yang meletakkan uang di kayu-kayu. Kadang uang mereka
ketinggalan dan ia dan kawan-kawannya sering memulung uang-uang itu.
Pas tinggal di Bekasi, sampai di
Jogja, dan di Blora kisahnya pun tak kalah banyak tentang pengalamannya menjadi
pemulung. Anehnya, beliau semacam mendapat wangsit, ada seseorang yang
membisiknya ketika ingin memulung. Dan firasat itu benar. Seperti kisah anaknya
yang sakit amandel dan badannya panas di jam empat pagi minta kue cur (kalau di
Jogja semacam pukis). Di Bekasi ada mainan anak-anak suka geret-geret dompet, dompet dikejar, pas sudah sampai ditarik lagi. Pak
Soes berprasangka itu permainan anak-anak, ternyata bukan. Ia injak dompet itu
dan ada isinya.
Banyak keberuntungan yang beliau
dapatkan, karena bisikan-bisikan itu. Kadang dapat baju baru, dapat sampo,
sabun dan seperangkatnya, dll. Di Bekasi pula, waktu yang paling beliau sukai
ketika memulung adalah sehabis hujan dan di jalan raya. Kadang pula beliau mulungi
uang 50 perak yang dibuang oleh petugas yang suka ngatur jalan di belokan jalan
raya.
Bakat memulung itu juga
diwariskan pada anak dan istri. Awalnya mereka malu, tapi lama-lama malah
senang. Suka mengajak Ben memulung juga. Menurut cerita Pak Soes, anaknya Ben tidak mau kuliah dan Pak Soes tak meminta atau melarangnya
juga untuk kuliah. Watak Pak Soes, juga mirip seperti Pram dalam mendidik anak.
“Kalau dia mau sekolah, saya
tidak mau bayari. Biar dia cari sendiri. Dan saya tak mempersoalkan dia mau
kuliah atau tidak. Pram itu hanya lulusan SD, Susi (Menteri Kelautan) itu cuma
lulusan SMP, tapi dia sukses. Saya menilai sesuatu dari kemampuan, bukan
pendidikan,” ujarnya mantap.
Anak beliau pernah kursus
komputer di Cepu dan dia tidak malu jadi pencuci piring membantu orang jualan
di taman seribu lampu. Dia sekarang kerja di Astra dan membantu salah satu
keluarga Pak Soes juga. Mengirimi uang 1 juta/bulan, tapi jadi 500 ribu/bulan
tapi teratur. “Biar tidak kaget,” kata Pak Soes ketika tiba-tiba saudaranya itu
tidak dikirim lagi.
Namun tak jarang, pekerjaan memulung
ini menjadi salah sangka bagi orang-orang yang melihatnya. Ada yang mencaci,
ada yang membantu. Sampai-sampai pagi itu Pak Soes menunjukkan uang 20 ribu ke
saya pemberian orang yang memberi ia sedekah. Padahal, uang dari anak dan
penerbitan buku sudah cukup untuk menghidupi beliau. “Banyak orang yang salah
sasaran,” tuturnya. Pak Soes memilih menjadi pemulung pula karena menjadi pemulung itu bebas. Bisa pergi kemana saja dengan sesuka hati, tanpa bos / majikan. Waktunya bisa kapan saja.
Balik ke semacam wangsit yang Pak
Soes miliki. Beliau ini sepertinya punya indra keenam. Ucapannya malati.
Dia pernah difitnah pas jadi backpacker di Rusia,
dan Pak Soes bilang “awas.. awas..” Eh, orang yang memfitnah dia itu mati kena
jantung sampai membusuk di flatnya. Ada pula orang klan China yang mengganti
jamnya yang bagus dengan merk Seiko yang sering rusak, katanya diberi servis gratis tiap kali rusak. Ternyata,
jam itu meski sudah diservis, seringkali mati.
Pertama - kedua gratis, tapi
setelahnya pedagang itu kesel, dia bilang “ya gratisnya jangan terus.” Pak Soes
sakit hati dan cuma bilang “awas.. awas..” Selang beberapa waktu, pedagang itu
mati ketabrak. “Kadang saya takut kalau sudah bilang begitu. Kalau ada yang
menyakiti saya dari hati, saya takut ngomong seperti itu lagi,” lirihnya.
|
Are you bless me sir? |
Oya, mitos lainnya ketika kamu
pergi ke Pataba dan melihat lukisan Pram di ruang utama yang bersanding dengan
Anelis itu bergoyang, berarti Pram memberkatimu. Tiba-tiba saya berharap lukisan
Pram itu bergoyang. Ah, lalu saya jadi ingat dosa-dosa saya. Inferior saya
kambuh lagi.
“Di kamar itu ada arwahnya Pram.”
Saya tiba-tiba merinding sendiri.
Metode Menulis dan Soal Dekadensi Sastra
Meski umurnya telah mencapai 80 tahun (kelahiran 17 Februari 1937),
beliau masih aktif menulis. Gairah hidupnya meletup-letup dan jiwa mudanya
masih terlihat di fisik dan senyumnya—meski beliau menderita prostat. Ada
sekitar 40-an buku yang beliau hasilkan, sampai ia lupa judul-judulnya. Draft terakhir tulisan yang sedang
beliau kerjakan berjudul “Srigala”.
|
Penjelajah Siberia. |
Pak Soes menulis masih suka memakai
kertas dan pena, lalu meminta anaknya Ben untuk mengetik ulang di komputer. Selain
mengurus perpustakaan Pataba, ia juga mengurusi penerbitan Pataba (Pataba Press). Salah satu
penerbit indie yang tumbuh di tengah hegemoni Gramedia. Penerbit tersebut cukup kembang kempis,
tapi omsetnya lumayan. Ia juga dibantu beberapa seniman dalam membuat cover-cover terbitan Pataba, seperti
Andre Tanama. Anaknya pun ikut membantu manajerialnya.
Tentang menulis, pengalaman
menjadi dasar yang sangat penting. Kata Pak Soes: “Pengalaman
adalah basis pengetahuan, dan pengetahuan adala basis kapasitas, kata Einstein.
Jadi seorang penulis kalau tidak punya pengalaman, dia akan bingung mau nulis
apa. Kalau yang banyak pengalaman beda. Bukan karena kurang ide, tapi kurang
waktu.”
Jika mampu, mengutip pepatah Jerman yang ia ucapkan dengan bahasa Jerman, beliau bilang carilah ilmu sampai kemanapun. Dan jangan takut salah, karena menyadur dari pepatah Jerman pula: Berbuat salah adalah hal wajar yang sering dilakukan manusia.
Beliau juga menceritakan resep dari
beberapa penulis nobel. Seperti William Faulkner yang menyarankan mulailah dari satu huruf yang bermakna, lalu satu kata bermakna, dan satu kalimat bermakna. Satu
kalimat itu harus bisa melahirkan dua kalimat lagi yang bermakna dan seterusnya.
Diimbangi dengan banyak membaca.
“Kalau baca buku jangan seperti habis makan
kerupuk. Selesai baca udah hilang entah kemana, tapi dipahami, jangan
dilupakan, ditubuhkan. Salah satu caranya dengan menandai kalimat-kalimat
penting dan menarik dari buku. Saya sering baca buku di Rusia sering saya oret-oret dan kasi garis. Tidak
peduli itu buku negara, kawan saya sampai negur: ‘itu buku negara, jangan
dicoret-coret’. Saya bodoh amat.” Selain mencoret kalimat yang penting, beliau juga menulis ulang kalimat yang penting.
Pak Soes juga bilang dia hanya
membaca karya-karya yang menurut ia menarik. Kalau menurutnya tidak menarik, ia tak mau baca, meski orang lain menganggap menarik. Penulis-penulis yang
menginspirasinya kebanyakan penulis-penulis Rusia, seperti Ostrovsky (Bagaimana Baja Ditempa), Maxim Gorky (Ibunda), Dostoevsky, Alexander Pushkin, Leo Tolstoy, Nikolai Gogol, Boris Pasternak, Chekov, Chinghiz Aitmatov, dan lain-lain. Kakak Pak Soes, Koesalah Subagyo Toer juga merupakan penerjemah buku-buku Rusia ke
Indonesia terbanyak. Pak Soes saat ini juga membantu beberapa penerbit Indonesia untuk jadi editor
terjemahan Rusia.
Membahas sastra sekarang, penulis
yang dipuji Pram dewasa ini adalah Eka Kurniawan, khususnya untuk Cantik Itu Luka. Tapi Pak Soes punya komentarnya sendiri terhadap
karya Eka tersebut. Intinya: Cantik Itu
Luka bahasanya jorok. Baru kali itu Pak Soes menemukan bahasa yang sebegitu
joroknya dipaparkan dalam sebuah buku, dan gaya Eka itu diikuti oleh
penulis-penulis lain. Baginya, itu bukan perkembangan, tapi malah
mengalami dekadensi.
Saya lalu merefleksikan ucapan
Pak Soes pada status-status media sosial yang sering saya jumpai. Yang jujur itu
membuat saya risih. Para netizen kadang memakai diksi-diksi jorok, kotor,
bahasa-bahasa selangkangan, untuk mengekspresikan kekesalan mereka. Kalau
umpatan biasa atau ungkapan binatang saya bisa terima (meski binatang tidak
akan terima), tapi kalau larinya sudah ke tubuh dan borok perempuan, kadang juga
vital laki-laki, saya sangat risih. Bagi saya itu menjijikkan.
Akhirnya, tidak terasa, tiga jam sudah Pak
Soes ngancani saya. Di LPM Arena, saya sering dituduh kawan-kawan, kalau
saya cucunya Pram, saya juga ingin mengaku(aku) Pak Soes juga kakek saya. (But, Pram is Pram, Soes is Soes). Pak
Soes akan selalu membuat saya rindu untuk berkunjung ke Blora lagi. Mendengar
cerita ‘Kang Gareng Blora’ yang tak pernah habis lagi.
|
Be shine, Kung. |
Cepu, 6 Juli 2017 │ 15.33