Kamis, 30 Oktober 2014

Lirik Lagu Bebal - Sisir Tanah


Jika bumi adalah ibu.
Kita manusia memperkosa ibunya.
Setiap hari. Setiap jam. Setiap menit. Setiap detik.

Jika laut adalah ibu.
Kita manusia memperkosa ibunya.
Setiap hari. Setiap jam. Setiap menit. Setiap detik.

Jika hutan adalah ibu.
Kita manusia memperkosa ibunya.
Setiap hari. Setiap jam. Setiap menit. Setiap detik.

Ada, tak ada manusia mestinya
Pohon-pohon itu tetap tumbuh.
Ada, tak ada manusia mestinya
Terumbu karang itu tetap utuh.

Ada, tak ada manusia mestinya
Pohon-pohon itu tetap tumbuh.
Ada, tak ada manusia mestinya
Terumbu karang itu tetap utuh.

 -Sisir Tanah-

Rabu, 29 Oktober 2014

Jagongan Perdamaian Di GKJ

Usai diskusi nemeni anak-anak baru Arena dan usai les teknik berita sama Mas Folly aku pergi ke gereja. Melewatkan pertunjukkan teater yang diselenggarakan di gelanggang karena mbayar dan aku sedang tak ada uang. Pertimbangan kedua, di tempat ibadah itu aku yakin akan ketemu orang-orang baru.
Ya, ini untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki ke dalam salah satu ruang di gereja. Letaknya di depan kampus UKDW, namanya Gereja Kristen Jawa Gondokusuman. Aku datang kesini awalnya karena dapat info dari FB yang bilang: Dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda. YIPC yang tergabung dalam Aliansi Pemuda & Mahasiswa Cinta Damai bersama LAWAN (Lembaga Analisis Wacana Keislaman Nasionalis) akan mengadakan "Jagongan Perdamaian" pada tanggal 28 Oktober 2014 Jam 17 - 22 WIB di GKJ.
Aku tertarik dan memutuskan nanti kukayuh pit-ku kesana. Sendirian (dan lagi-lagi sendiri), di depan aku disambut oleh seorang bapak-bapak berwajah relegius yang diakhir acara aku mengetahui jika dia adalah salah seorang pendeta di GKJ, namanya Pak Indrianto. Orangnya ramah dan kebapakan.
Di buku tamu dan di pembagian ubi-kacang gratis, aku ketemu mereka berdua lagi, yaph, Mas Ngar dan Mas Betriq Kindy. Dua orang yang pernah aku kenal pas aksi damai di nol km beberapa minggu yang lalu (senang bertemu kalian).
Pas ke dalam ruangan, aku ketemu lagi sama manusia yang tak asing dari UNY. Anak LPM Ekspresi, si Winna! Awalnya aku pangling sama dia, malah dia yang ngingetin aku. Udah deh, klop! Kenal juga sama Mas Taryo anak Sanata Darma, Jefri anak UKDW, adalagi yang dari UST, Mercu Buana, dan dua anak SMA. Nyampe disana kita dibagi menjadi tujuh kelompok yang terdiri dari tujuh orang. Aku yang nyadar sebagai penyusup main gabung aja, haha. Kita diskusi: apa sih tugas pemimpin?
Trus, datang seorang pembicara, ibu Alissa Wahid (anaknya Gusdur). Ia memberikan semacam orasi. Yang aku ingat: Jangan membeda-bedakan yang sama. Dan jangan menyama-nyamakan yang beda. Beliau juga bilang: Aktivis itu syaratnya dua. Punya nilai intelektual dan dekat dengan rakyat.
Lalu kita makan-makan bareng.
Makan Malam Bersama Lintas Agama
Sudah Kubilang Win: "Makanan enak ini dihabiskan. Setahun lagi belum tentu kita bisa makan yang beginian. Apalagi anak pers..."
Kiri: Mas Kindy, Bu Alissa, Pak Indrianto...
Tanda Tangan Damai
Jogja Yang Lagi Sumpah Pemuda
28 Oktober 2014

Selasa, 28 Oktober 2014

Perahu Nabrak

Obrolan senja kemarin (27/10) bersama dua pujangga yang kehilangan arah...
----
Kondisi zaman sekarang, manusia itu ada di dalam sebuah perahu besar yang menabrak gunung es. Tiap orang sibuk menyelamatkan dirinya masing-masing. Cari pelampunglah, cari jangkar, cari blablabla... satu sama lain saling mengorbankan dan menjadi korban... Mereka tidak berpikir bagaimana menembel perahu itu bersama-sama.
Dalam realitasnya, setiap orang menakutkan masa depannya sendiri. Manusia bekerja bagai teknisi tanpa jiwa. (Istilah Marx: teraleniasi)
Zaman sekarang juga menuntut spesialisasi. Kalau dulu ilmuwan-ilmuwan besar banyak memiliki bakat di banyak bidang. Tidak hanya jago satu keilmuwan saja, tapi multy talent bisa sains, seni, sastra, agama, filsafat, teknis sekaligus. Sekarang seolah manusia membatasii kreatifitasnya sendiri. Membuat jaring sendiri dan terjebak di jaringnya sendiri.

Rabu, 22 Oktober 2014

Tentang Sesuatu yang Kau Sebut Luka

: untuk seorang anak yang menangis di depan pintu kelas tujuh tahun yang lalu.
1.
Aku tahu, kau begitu tertarik jika berbicara tentang luka.  
Seolah diksi itu dengan intim sengaja kau pelihara untuk menemani hari-harimu.
Diammu membuat kau tak memiliki teman.
Kau dijauhi. Kau tak diajak bicara.
Kau selalu merasa sendiri.
Di kelas. Di rumah. Dimana pun.
Bahkan di dirimu sendiri.
Aku mengenalmu sudah lama, sudah sejak dari kecil. 
2.
Kini kau sudah besar.
Kau sudah mengenal buku-buku filsafat, sejarah, sastra, dan sains-sains.
Kau juga ada kemajuan dengan mengenal banyak orang-orang
Tapi wajahmu yang diliputi minder akut itu tak berubah.
Wajah yang membuatku sering merasa kasihan. 
Aku tahu kau teman yang paling tidak PD diatara temanku yang lain. 
“Gaya hidup saya adalah konsekuensi dari luka-luka saya,” kutipmu.
Dan kau begitu mengamini perkataan Jose Mujica, presiden rombeng asal Uruguay itu.
Atau  kau selalu menempatkan dirimu dalam suasana Les Miserables bualan Victor Hugo.
Tentang orang-orang yang malang, ceritamu.
3.
Sungguh aku ingin menarikmu.
Ke padang dimana kau merasa dianggap.
Ke suasana dimana kau berhenti mengerdilkan dirimu sendiri.
Namun semakin kutarik engkau.
Aku bagaikan menggenggam air.
Lagi-lagi kau jatuh.

Selasa, 21 Oktober 2014

Nguratori Dhewe

Tadi malam gladi kotor pentas kolosal "Noktah Merah". Aku ingin menulis yang menjadi catatanku kemarin pas evaluasi. Seorang bapak berkata:
Apa yang aktor rasakan di panggung, dirasakan juga oleh penonton.
Manis sekali pesan ini. Penonton adalah hakim. Mereka bisa nge-judge apa saja yang mereka lihat. Mereka selalu disakralkan. Pemuasan merekalah yang seolah ingin diraih. Karena katanya mereka telah berkorban banyak: waktu, tenaga, uang, dll-nya. Ia bisa saja datang jauh-jauh dari pulau sebelah hanya untuk menonton. Belum lagi perjuangan-perjuangan mereka, saat hujan, nunggu di bus,kecelakaan, dll-nya (ini yang selalu didengungkan evaluator). Lama-lama, aku kok merasa pendapat ini begitu naif. Yang berkorban lebih banyak siapa ya? Aktor apa penonton? (Sudahlah, nanti saya salah lagi, karena makin kesini, isi tulisan ini makin tidak fokus dan sedikit rasis. Saya minta maaf.) Yang pasti, penonton datang dengan membawa harapan, ekspektasi, dan niat masing-masing. Lagian, karakter penonton berbeda-beda. Meski kebanyakan mereka berkarakter "hore".

Yang ingin aku katakan lagi dari perjalanan spiritual kemarin pas gladi kotor. Aku jadi ingat perkataan Mas Pentol ketika TM Sanggar pertama kali. Ia bilang: Aktor yang baik adalah aktor yang iklhlas dirinya dimasuki peran apa saja. Hal itu akan kerasa banget kalau aktor tahu apa karakter dan aksi dari yang tokoh inginkan. Malam itu aku seolah memijamkan badan aku untuk tokoh. Aku hanya sekedar jadi perantara dia untuk menyampaikan sesuatu. Ya, kunci satu lagi: ikhlas.

Intinya: menjadi kurator untuk diri sendiri. Pitiki??

Senin, 20 Oktober 2014

Akting: Kuncinya Adalah Jujur

Semoga kau tidak keberatan nasihat bijakmu ini aku share di blogku ini...
Tanpa tendensi apa-apa, ini sebagai catatan yang mengingatkanku jika aku pernah jadi aktor. Dan sebagai pembelajaran untuk siapa saja yang memiliki satu rasa akan dunia panggung...
Aku yakin, kamu disana adalah aktor berbakat, sutradara keren, dan pemain yang ulung...

Saya: Gimana biar PD? Kadang itu selalu ngrasa ga bisa dengan aktingku sendiri. Ntah. 
I cant feel that.
Dia: Because you not feel THAT.. Semua hal teknis yang kamu asah waktu latihan adalah dasar berakting. Bermain tidak sekedar berakting, bermain itu butuh "something" semacam kesadaran ditonton, perasaan nyaman, dan keberanian beraksi.
Saya: Itu yang tidak saya punya.
Dia: Butuh proses dan pengalaman yang lama, kecuali kamu berbakat.
Saya: Haha, dan sepertinya saya tidak berbakat.
Dia: Kuncinya adalah "jujur" Is..
Saya: Maksudnya jujur?
Dia: Jangan berlaku atau beraksi yang kamu tidak nyaman melakukannya, jangan membohongi penonton dengan lagakmu. Penonton bisa melihat dan merasakan bahwa kamu pembohong yang buruk.
Saya: Ia benar. Itu yang kurasakan. Bermain dengan tidak nyaman.
Dia: Dicari, sampai kamu menemukan aksi yang nyaman. Aktor harus cerdas mengolah diri. Jangan manut sama sutradara seperti anjing. Ketahui apa yang ia inginkan, kalau kamu tidak nyaman, berikan tawaran lain yang ia butuhkan. Itulah kecerdasan seorang aktor.
Saya: Berarti bisa dibilang aku masih jadi aktor yang bodoh. Mungkin juga telmi soal gerak. Aku juga masih sepenuhnya manut sama sutradara. Ga punya alternatif (seperti anjing). Yeah, sinau sing akih Is.
Dia: Insya Allah aku datang, sudah siap kecewa. Satu tahun kamu tidak ada perkembangan. 
Dan kalimatmu yang terakhir ini yang amat melecutku (juga membuatku sakit dan jleb). Aku merasa jadi sia-sia sekali. Seolah, prosesku satu tahun itu, rubuh begitu saja. Tergeletak. Dan aku langsung bergumam sedih: Eman-eman.  Terima kasih ya...

Minggu, 19 Oktober 2014

Mencari Pusat

//1
pintu bosan berdiri di samping tembok
loker menanti orang mengetuknya
mahasiswa sibuk menceritakan dirinya sendiri
kaca-kaca kelas menyambung ruang di belakangnya
di dalam ruang dosen-dosen megoreksi keletihannya
lampu di dalam butuh menyala lebih terang

//2
pusat merapat ke tepi
sesudah di tepi menjadi galau
lalu sakit menjalar
media sosial menjadi pelampiasan
ah, fesbuk mulai berceloteh
jamaah di dalamnya menunggu notifikasi
semoga sudah di-like dan di-comment ya...
hei! hidupmu yang pusat itu kamu kemanakan?


//3
jam berputar-putar bingung
tokek mengomel ditutup gorden
buku yang bisu menuntut bicara
masa depan  menuntut diperhatikan
besok katanya kamu ujian
eh, kamu sekarang malah membuat lubang
sial! di dalamnya ada duri

19/10/14, Jogja

Rabu, 15 Oktober 2014

Gelar Budaya "Nglaras Natas" Sanggar Nuun

Rundown Nglaras Natas
Dewasa ini, kemajuan zaman berlangsung dengan cepat. Manusia menjadi pelaku sekaligus korban dari apa yang dilakukannya sendiri. Di angka 22 tahun perjalanannya, Sanggar Nuun UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mencoba menggali fenomena kebudayaan yang carut marut tersebut. Bagaimana menelaah dan menyadari eksistensi diri agar kita tidak lupa dengan pertanyaan kenapa kita ‘ada’ dan di’ada’kan. Gagasan penyadaran ini diejawentahkan dalam pagelaran sepekan refleksi Nglaras Natas.

Nglaras Natas sendiri merupakan sebuah refleksi kebudayaan yang lahir dari keresahan terhadap realitas. Nglaras yang dalam bahasa Jawa berarti keseimbangan; menikmati. Artinya untuk menjaga keseimbangan setiap makhluk saling berhubungan satu sama lain dengan peran, hak, dan tugasnya masing-masing. Natas yang bermakna setiap makhluk yang berada dalam kosmos ini berasal dari Tuhan, baik yang mikro maupun yang makro. Dan hakikat dari kehidupan adalah kembali ke asal muasal.

Berikut rangkaian acara sepekan Nglaras Natas ulang tahun 22 Sanggar Nuun Yogyakarta:

13-26 Oktober 2014: Pameran seni rupa bertema “Yang Lahir dan Meruang”. Bertempat di titik-titik strategis ruang terbuka UIN Suka.

22 Oktober 2014: Acara pembukaan dan pentas UKM, yang akan dimeriahkan oleh Adab Dance Community, Al Mizan, PSM Gita Savana, Teater Eska, dan Gorong-gorong Institut. Bertempat di Gerbang Budaya UIN Suka. Pukul 19.30-22.00 WIB.

23 Oktober 2014:
  • Sarasehan Budaya bertema “Ketika Kesenian Tak Lagi Membawa Semangat Zaman” dengan pembicara M. Djadul Maula dan Munawwar Ahmad. Bertempat di Laboratorium Agama UIN Suka. Pukul 09.30-13.00 WIB.
  • Monolog ”Mulut” oleh Mbah Tohir dan music perform “Kalamitis”. Bertempat di Gerbang Budaya UIN Suka. Pukul 19.30-22.00.
25 Oktober 2014: Pentas “Noktah Merah” orkestra sebuah bahtera. Bertempat di Gerbang Budaya UIN Suka. Pukul 19.30-22.00 WIB.

Di malam puncak, musik kolosal “Noktah Merah” merupakan sebuah gagasan besar dari perjalanan Sanggar Nuun yang berpijak pada nilai relegiusitas humanis. Dimana cabang seni seperti seni rupa, musik, teater, tari, dan sastra berbaur menjadi satu. Naskahnya sendiri adalah sebuah kolase naskah teater Sanggar Nuun yang telah dipentaskan. Naskah yang awalnya terpecah-pecah itu dianalisis kemudian dikemas menjadi satu kisah utuh.

Kamis, 09 Oktober 2014

Lirik Lagu Konservasi Konflik - Sisir Tanah

Konservasi Konflik
Paku meletus tumpul tangkup bulan luka paling merdu dari cakar padi di dekat rumah di belakang belantika pasar sebelanga
Cukup-cukuplah menahan jerit Tuhan merayu karpet di tikungan mulut ember bocor yang menempel di bibir ceret yang cemberut
Membuat lubang batu empuk bau darah… Membuat lubang batu empuk bau darah…
Lalu setelah titik selalu luka
Membentuk spasi menanam surga ke dalam duri

Menata hati di kebun binatang
Menata derita di dalam hati
Manusia memanah mimpi
Pecah berkeping-keping celaka cekakakan
Bencana di setiap sudut
Manusia di dalam sumur
Hitam tak berhati, hitam tak berhati
Bersama hujan senja
Helai demi helai, helai demi helai
Jatuh lubangTuhan
Bunga-bunga menunggu halaman surga
Telinga waktu memanjang
Kita termangu memaku kesibukan dan mati
Bunga-bunga menunggu halaman surga
Telinga waktu memanjang
Kita termangu memaku kesibukan dan mati

Kamu kemana hari ini?
Aku menyambung jembatan putus
Lalu menyambung lidah buaya
Memandikan kamar mandi
Melatih babi terbang
Rajawali butuh teman yang lucu-lucu
Melukis langit merah muda
Menanam jagung di kebun kita
Kesadaranku bangun setelah mandi
Plastik peyek terkulai ke lantai
Bungkus pecel mengawasi sendok di atasnya
Laba-laba bertahan hidup di bawah pigura
Foto di dalam pigura menyimpan dendam           
Oh, telinga paku merawat gembok dan anak kunci
Gorden dari ibu menjaga pintu
Kanvas sahabat menjaga harga dirinya
Botol-botol membaca puisi di perutnya
Ayam dan kucing melintas lebih santun dari rombongan pejabat
Oh, semoga semua sudah beol…

-Sisir Tanah-

NB: Jika ada kesalahan lirik, silahkan direspon, saya akan memperbaikinya :)