GUYUR hujan
mengenai genteng-genteng berwarna coklat. Hujan masih deras. Saya masih
sendirian menggigil di pinggir jalan menanti angkot yang hendak mengantar saya
ke kampus. Dengan gigi gemeletuk, saya
ingat Bapa di Wamena pernah bilang bangunan dan pohon-pohon hanya mandi ketika
hujan. Bapa juga pernah bercerita tentang kesetiaan halilintar yang tak pernah
mendahului kilat.
Angkot
warna abu-abu melintas, saya naik. Angkot hari itu lumayan penuh, hanya tersisa
satu tempat duduk di pojok. Saya duduk di sana berdekatan dengan seorang
perempuan berkulit putih yang dari penampilannya mirip iklan handbody di TV. Perempuan itu nampak tak
nyaman di dekat saya. Ia mengambil tissue dalam tas dan menutup hidungnya.
Kejadian ini sudah sering saya alami semenjak kedatangann saya di Yogyakarta
sebulan yang lalu. Saat sampai di sini tiga kos-kosan menolak saya. Bahkan di
beberapa tempat, jika mereka melihat manusia keriting dan berkulit hitam,
mereka akan menghindar. Padahal saya tak pernah mengganggu mereka.
Beberapa
menit kemudian dua orang yang duduk berhadapan dengan saya melakukan hal serupa
perempuan putih itu, dengan tangan dan lengan bajunya. Lalu saya membaui diri
saya sendiri, tak ada yang salah dengan bau saya. Saya pun hanya menunduk sambil
memegang rambut gimbal saya yang sengaja saya potong cepak.
Sampai
di kelas, saya sering memilih duduk paling depan. Saya sudah janji pada Bapa
akan jadi anak pintar dan pulang membangun sekolah di Papua. Saya ingin
buktikan kalau tong tidak bodoh, tidak dungu. Di dekat saya duduk teman saya
dari Bantul namaya Salistya, tapi saya panggil dia Sali. Dia kawan saya yang tak
cerewet, tak seperti teman sekelas saya yang lain. Saya suka karena Sali baik,
suka membantu saya, dan mau satu kelompok sama saya. Di antara banyak orang
Jawa yang sering milih-milih dalam kerja kelompok. Yang pintar dengan yang
pintar, yang putih sama yang putih.
Di
kelas, saya satu-satunya manusia dari ras Melanesia. Ras yang memanjang dari
Maluku sampai samudra pasifik bagian barat. Saya satu-satunya yang hitam. Dan siang
ini saya senang, dosen Sejarah saya mirip Bapa di Wamena, nama dia Pak Samono.
Tapi saya sedih ketika Pak Samono tak ramah pada saya. Saat itu di kelas saya
bertanya pada Pak Sam:
“Bapa
Sam, sa pu[1] daerah di Wamena. Di
Papua kami tak butuh teori muluk-muluk Bapa. Merdeka dalam kehidupan
sehari-hari bagi kitorang ialah Mama bebas menjual hasil pekarangan dan Papa
bebas menangkap ikan. Bagi Bapa yang di Jawa bagaimana ei?” tanya saya.
“Pemuda,
kau belajar Bahasa Indonesia yang benar dulu, baru kau ngomong!” Jawab Pak Sam
kasar. Lalu, teman saya yang duduk di belakang saya dari Jawa menirukan kata-kata
saya dengan logat yang saya punya dan seluruh kelas tertawa.
BULAN
kikuk di luar. Tadi siang adalah hari pertamaku mengajar sebagai dosen, setelah
minggu yang lalu aku membiarkan kelas kosong. Serasa mengunyah lagi kenangan
masa silam, aku begitu menggigil ketika di kelasku ada anak timur itu. Sudah
ingin kulipat rapat-rapat kenangan yang silam, ia membongkar lagi lemari yang
berdebu itu. Kenangan di tempat itu dan semua kompleksitas tentangnya. Wajahnya
begitu mirip. Dendamku membuka, aku begitu takut, tapi aku juga begitu marah.
Aku sering ingin menangis sendiri.
Aku
berharap ayah sudah terbaring tenang. Ayahku seorang nasionalis yang dengan
segenap hatinya menjaga tanah airnya sendiri. Ayahku yang nasionalismenya lebih
kuat dari Soekarno. Namun, ayah menjadi korban saat perang pemekaran Provinsi
Irian Jaya Tengah di Timika tahun 2003 silam. Kejadian itu begitu menyakitkan
untukku. Mereka melakukan upacara bakar batu seratus kali pun tak akan
menghapus lokus menyakitkan yang berbaris tertib di ingatan. Kejam, mendendam.
Ayah
seorang intelejen. Waktu umurku enam tahun, aku sekeluarga dari Surabaya datang
ke Sorong. Kami hidup di sana selama lima tahun. Ayah bekerja secara
sembunyi-sembunyi laiknya orang biasa, yang paling biasa. Ia pergi ke
sudut-sudut Papua yang jauh dari Sorong. Ayah memegang kuat apa yang diajarkan
atasan: gagal dicaci maki, mati tak ada yang mencari. Setiap pulang yang ayah lakukan
katanya riset, paginya melakukan apa yang menjadi catatannya semalam di buku
kecil. Tak pulang berbulan-bulan. Kerap ayah berpesan: No, Samono, arek sinau sing sregep.
Saat
dewasa, aku mulai paham apa yang dilakukan ayah. Aku juga sadar sepenuhnya
politik sparatis yang terjadi di Papua tak hanya sekedar soal badut-badut
Jakarta yang melakukan kekerasan struktural, tapi juga soal grand design AS, Inggris, Australia,
Belanda, dan negara-negara NATO untuk menguasai Papua. Bangsat-bangsat itu
melalui intelejennya melakukan operasi yang taktis, diplomatis, dan tertutup
menguasai bumi emas itu.
Aku
masih merasakan benar politik adu domba itu dengan mempolarisasi
konflik-konflik Papua bersama ayah. Tindakan sparatis diruncingkan menjadi
konflik sipil VS TNI. Penangkapan dan pembunuhan elite OPM dihiperbola sebagai
tindakan represif pemerintah.
Semakin
jelas ketika aku membaca sebuah wacana ada 1500-an LSM dari Amerika Latin memberi
dukungan Papua merdeka. Terlebih bangsat Melanesian Spherical Groove (MSG) yang
benar-benar meracun Indonesia dalam suksesi pemisahan Papua dari Indonesia.
Mereka mengumbar isu ras dimana orang-orang Papua mulai punah di tanah airnya
sendiri. Dengan menghiperbola isu HIV/AIDS, para transmigran, dan lainnya.
Saat
aku melanjutkan S3 di Amerika di sekitar tahun 2000-an USA membuat Rancangan
Undang-undang tentang Foreign Relation Authorized Act (FRAA) yang di sana
mengatur khusus tentang Papua yang nantinya digunakan sebagai landasan USA
megintervensi kedaulatan Papua dari NKRI. Dan Freeport termasuk antek-anteknya.
Ah,
Alen, hidupmu Nak. Bapak tadi tak bermaksud kasar padamu. Bapak janji esok hari
bapak akan mendidikmu jadi orang cerdas, melatihmu jadi pemimpin, dan
mengembangkan semua bakatmu. Bukan karena bapak hendak menolongmu, tidak Nak,
menolong hanya satu irama dengan kasihan. Tapi karena bapak manusia, sama
sepertimu.
BERSAMA
Alen aku belajar menyemarakkan kata-kata baik. Aku tak habis pikir dengan jalan
pikiran Alen, tuan cendrawasih itu. Masih kuingat, Alen beberapa kali mengajakku
ke padang ilalang dekat Bel Rusak (Belakang Rumah Sakit), bersama menikmati
kemegahan waktu. Di sana, Alen sering membuatkanku rok sedengkul dari ilalang.
“Sali
ini sali,” kata Alen dengan suara bass-nya selalu menyebut namaku dua kali
setelah membuat rok ilalang tersebut. Hanya dia yang memanggilku Sali, mirip
nama orang modern, Sally. Padahal sejak orok, emakku memanggil Salis. Aku
menjawab dengan suara tenorku, “terima kasih.” Ya, hanya dua kata itu. Aku tak
mau banyak bicara. Bagiku bicara itu cukup seperlunya.
Di
setiap perjumpaan kita, selalu yang banyak bicara adalah Alen. Dia yang mengisi
kediamanku. Alen sering bercerita padaku di kampungnya sana ia tinggal di rumah
yang tingginya satu setengah kali tinggi rata-rata orang Indonesia. Atapnya
seperti mangkuk kebalik berwarna coklat tua dari jerami/ilalang. Pintunya hanya
satu, alasnya rumput, dan setiap malam yang menerangi sedikit api unggun di
tengah-tengah.
Kotanya
dikelilingi puncak-puncak besar, dari Puncak Trikora, lalu Puncak Jaya, Puncak
Yamin, dan Puncak Mandala. Bahkan kadang sering terjadi hujan es. Len, hujan es itu seperti apa? Aku
membayangkan dalam hati.
“Rumah
itu kitorang kasi nama hanoi untuk
papa, ebei untuk mama, dan wamai untuk babi,” Alen menjelaskan. Mendengar
babi aku merinding, agamaku melarang memakannya. Dalam bayanganku babi itu
lucu, seperti di boneka-boneka imporan China yang tak sanggup aku beli di
etalase-etalase.
Di
tanggal 29 Februari, Alen bercerita tentang peperangan di Papua. Lalu suara
bass-nya tiba-tiba bertambah berat. Aku dapat merasa jika dia sedang sedih.
Setahun menjalin hubungan persahabatan tanpa status, aku mulai menghafal
bagaimana dia berjalan, bagaimana dia bahagia, bagaimana dia berduka.
“Sali,
aku hendak pergi.” Aku terkejut.
Menjawab
dengan lemah. “Ko hendak kemana Len?”
“Kemanapun
Sali, yang alamnya liar.”
Sejenak
kita saling diam. Badanku menggigil, kosong. Dendrit di tubuhku tiba-tiba
lemas. Kami terdiam agak lama, aku mencoba mengurai arti liar yang ia
maksudkan. Bodohku pun kumat, aku pun mengalihkan suasana dengan meletuskan
pertanyaan-pertanyaan yang mengganggguku tentang orang Papua.
“Len,
aku sering dengar di Papua sana sering perang. Benarkah?”
“Satu
pembunuhan di satu suku, bisa mengakibatkan 100 kematian lain. Hingga kedua
korban dari suku yang bertikai seimbang. Sali, di Jawa tenang ya?” Aku
mengangguk. Tak seperti yang kau pikirkan, Len.
“Sali,
sa akan ajak Sali ke Danau Sentani
nanti,” katanya dengan mata berkaca-kaca senja saga itu. Ia menatapku, mata
bintangnya berdenyar seperti hendak menangis, aku tak kuasa beradu pandang
dengan matanya. Butir linangan pun menggelinding di pipinya, kurasakan beban
berat yang menggelayut yang bagiku begitu gelap. Esoknya ia pulang ke Papua, dan
setelah kalimat terakhirnya itu, aku tak menjumpainya lagi.
Hujan
yang jatuh di pucuk-pucuk ilalang telah berhenti dan menyisakan gerimis yang
gripis. Len, aku berkunjung lagi ke taman kita seperti biasa. Berharap kau di
sini dan ingin kusandarkan kepalaku yang lelah di bahumu. Aku diam dan kau
menceritaiku lagi tentang apapun. Biarkan aku bahagia di tamanmu bersama
sosokmu yang membatu. Di sini sepuluh tahun sudah aku menantimu tiap sore di
Bel Rusak: Len, ko kemana ei? []
NB: [1] Sa pu = Saya punya.
Isma Swastiningrum,
mahasiswi Fisika angkatan 2013, UIN Jogja. Pernah bercita-cita jadi guru di Papua.
Post Script: Cerpen ini pertama diterbitkan di Slilit Arena Edisi April 2016. Saya post ulang untuk kepentingan dokumentasi.