Hari ini Petojo Selatan hujan. Terlebih sejak sore, ketika aku mengikuti diskusi Klub Baca Koperasi Perumahan di pertemuan terakhir. Jujur, aku tak konsen mendengarkan, tapi aku tetap mengikuti jalannya diskusi sampai selesai. Hari ini aku kembali rungsing. Seharian aku boros membeli buku dan makanan, termasuk keinginan untuk membeli bakso tetelan di hujan-hujan sore sendu seperti ini. Usai diskusi, bakda Magrib, akhirnya aku dan Mio keluar untuk pergi ke Bakso Rusuk Samanhudi atas rekomendasi bakso enak yang kutanyakan di ChatGPT. Letaknya tak begitu jauh di Pasar Baru, sekitar tiga kilometer dari kos. Aku ingin beli bakso tetelan karena ketriger dengan salah satu status teman, enak sekali baksonya kulihat, dan hujan-hujan membuatku ingin keluar membelinya.
Suasana ketika aku ke kedai bakso itu betul-betul sendu, siang tadi aku telah main ke Taman Suropati, tapi tak berlangsung lama karena taman itu begitu ramai dan berisik. Keberisikan itu dulu kusukai, ada sekelompok komunitas musik yang melakukan pertunjukan, latihan main biola, anak-anak berlarian, keluarga yang sedang jalan-jalan, sejoli yang sedang foto prewed, dll, tiba-tiba semua begitu menggangguku, aku lebih ingin taman ini sepi. Sehingga aku bisa lebih fokus merasakan oksigen dari pohon-pohon besar, merasakan lambatnya nafas, memperhatikan merpati yang sedang berkejar-kejaran. Di sana, aku sempat membaca buku awal Heinrich von Kleist dari negara Jerman lama. Jabatan-jabatan aristokrat dan feodal Eropa membingungkanku, dan aku menutupnya. Tak nyaman, aku langsung pulang ke kos.
Kembali ketika aku hendak membeli bakso, ketika aku tiba di jalan bersama Mio, tiba-tiba perasaan melankolis menyergapku. Tak sekali-kali aku merasakan perasaan sendiri, sepi, dan tak punya siapa-siapa; aku sering melaluinya dan sore ini entah kenapa berbeda. Sesampainya di kedai bakso, aku melepas mantel hujan. Aku memang paksa pakai mantel karena hujan masih turun lembut meski tak deras. Aku melihat seorang Bapak pengamen di depan kedai, Bapak itu tinggi, membawa gitar, berkaos garis-garis putih biru, bercelana hitam, dan entah mendapat kesan darimana, dia lebih mirip berasal dari kalangan aristokrat. Aku memesan bakso langsung dari meja menggunakan Google Lens, scan menu, pilih menu, dan makanan datang. Dunia sudah modern, dan menghilangkan peran manusia.
(Tiba-tiba aku ingin menangis mendengar lagu-lagiu Tetty Kadi).
Kukatakan hari ini aku boros, bakso rusuk sapi ini juga sangat mahal satu porsi dan es tawar Rp74 ribu. Sementara harga bakso temanku yang banyak tetelannya hanya Rp12 ribu, itu di daerah. Wetonku memang tipe orang yang suka menghamburkan uang alih-alih menabungnya, meski aku sadar setiap rupiah yang keluar kuusahakan untuk sesuatu yang bagiku bermakna. Tiba-tiba, berjarak tiga meja dari mejaku menjorok ke jalan raya, Bapak pengamen berkaos garis-garis putih biru itu bernyanyi. Dia menyanyikan lagu-lagu lawas yang suka dinyanyikan Bapak di rumah Cepu. Yang aku ingat ada lagu-lagu Koes Plus, Tetty Kadi, dan beberapa lagu bahasa Inggris, salah satunya "Hero" yang dipopulerkan Mariah Carey. Mayoritas lagu-lagu yang dia lantunkan, aku menghapalnya. Diam-diam aku ikut bernyanyi.
Kedai bakso itu ramai sekali, aku juga melihat di Google banyak ulasan baik tentang depot makan ini. Pengunjung tak henti-hentinya datang. Sambil menikmati bakso yang kurasa porsinya kebanyakan, sambil memperhatikan Bapak pengamen itu. Beberapa pengunjung yang telah selesai makan, ada yang memberinya uang kertas dan koin, bahkan ada abang gojek yang memberikan segelintir rokok, tapi Bapak itu menolaknya (mungkin karena dia tidak merokok, dia menolaknya dengan baik-baik). Aku juga ketika keluar nanti ingin memberinya uang, tapi aku sadar diri, uangku tinggal 2 ribu buat parkir motor. Aku belum ambil uang tunai, dan bakso ini kubayar dengan QRIS.
Saking ramainya kedai itu, tempat duduk habis, satu perempuan dan dua laki-laki datang ke mejaku untuk gabung, sekaligus seperti memintaku untuk cepat-cepat menyelesaikan makanan. Aku pun menyelsaikan dengan cepat, termasuk meminum teh hangatku yang tak kuhabiskan, tentu aku tak bisa egois. Selesai makan, aku berdiri, dan hanya melewati Bapak pengamen itu. Ketika kucek tas Uniqlo setengah bulanku yang kubeli dengan sangat murah kala bazar dengan harga Rp10 ribu, aku menemukan uang kertas Rp5 ribu, ingin kukasikan ke Bapaknya, tapi tiba-tiba kakiku berat untuk kembali lagi. Aku melihat ada pengunjung lain yang memberikan uang juga ke pengamen itu, membuat hatiku jadi lebih baik. Aku hanya memberikan uang Rp2 ribu saja ke tukang parkir sesuai kesanggupanku, tukang parkir itu baik ikut membantu motorku keluar.
Menuju kos, rasanya ada yang hampa. Sesampainya di kos, aku langsung membuka YouTube, menyetel lagu "Hero" oleh Mariah Carey yang suaranya bagus kebangetan. Lalu, kusetel juga lagu "Layu Sebelum Berkembang", kupikir penyanyinya laki-laki, ternyata yang menyenyikan lagu itu Tetty Kadi. Entah, mendengarkan lagu itu membuat air mataku pecah, aku menangis hanya mendengar lagu itu. Lagu yang dinyanyikan oleh Bapak pengamen itu. Ketika kuresapi lirik dan nadanya, lagu ini benar-benar sedih.
Jiwaku memang jiwa-jiwa lama, aku menikmati lagu-lagu lama seperti ini. Ada "kesedihan berantai" yang pilu, yang entah bagaimana caranya seperti beresonansi denganku. Akhir-akhir ini, aku sudah mencoba sebisa mungkin untuk hidup lebih privat, menarik diri dari media sosial. Aku merasa capek, tapi aku menikmatinya. Aku tahu ini hanya fase. Namun, seperti lagu-lagu Tetty Kadi yang juga murung dan sedih-sedih, atau buku-buku Dostoyevsky dan Albert Camus dengan tone yang serupa, kualitas melankolis sepertinya telah jadi kutukan untukku.
Jakarta, 6 Juli 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar