Kos Maguwoharjo pemandangan depan |
Setidaknya ada tiga tonggak yang ingin saya
ceritakan sepanjang 2019:
DI
YOGYAKARTA
Usai menyudahi masa kerja di LPTI Pelataran
Mataram bagian analisis isi medsos yang berada di Umbulharjo yang kantornya tak
jauh dari UTY Kampus 3 (berjarak sekitar 4 km dari kos, saya tempuh sekitar 15-20
menit naik sepeda), saya memutuskan fokus pada cita-cita awal untuk bekerja di
media. Di tempat ini saya sangat berterima kasih pada Mas Taufiq, Pak Joko, Mas Husen, Ainun,
Rino, Udin, Ika, koki LPTI yang aku lupa namanya dari Gunungkidul, dan
lain-lain. Terima kasih telah memberi kesempatan saya belajar di tempat ini,
meski saya banyak tak bicaranya. Kadang rindu pula ngolah data yang jumlahnya sehari bisa sampai 5.000-an.
Usai dari LPTI, di awal 2019 saya pindah
kos di Maguwoharjo. Kondisi sekeliling dan atmosfer dinamika tempatnya sangat
jauh dengan kos yang berada di Jalan Bimasakti yang dekat dengan keramaian Kota
Yogyakarta. Di sini masih sepi, depan kos yang saya lihat setiap hari adalah
Gunung Merapi, sawah, pohon, petani, dan perumahan yang jarang. Secara alam
tempat ini sungguh menarik, udara segar dan sinar matahari yang hangat menjadi
asupan. Di kos yang baru dibangun ini juga Bapak pemilik kos sangat baik dan
sering memberi saya petuah seputar kehidupan. Masakan beliau sangat enak dan
anak-anak kos (yang baru tiga termasuk saya) sering diajak makan bersama.
Saya memilih kos di Maguwoharjo karena satu
alasan, letaknya tak jauh dengan tempat kerja yang saya tuju Tirto.id cabang
Yogyakarta. Di sana saya bekerja lepas menulis berita-berita non-liputan. Saya banyak
berhubungan dengan Mbak Yantina Debora seputar isu-isu internasional. Dari sini jadi
kenal banyak media luar pula termasuk Amerika, Eropa, Asia, Timur Tengah, dan Australia. Mbak Yantina
memberi saya daftar media yang boleh dijadikan rujukan dan yang tidak. Mengenalkan
saya dengan sistem kecerendungan media dari yang kanan, kiri, dan tengah lewat Media Bias Fact Checking (MBFC). Di sini jujur saya pembelajar yang lambat, kesulitan utama adalah bahasa inggris dengan
struktur kompleks sehingga masih sering minta bantuan Google Translate.
Saya cukup berusaha keras buat
bisa bahasa inggris, bahkan saya mencoba dengan menulis di blog dan status
menggunakan bahasa inggris—meski mungkin secara tata bahasa masih banyak
salahnya. Saya tak malu mengakui yang mungkin bagi orang yang paham grammar tulisan itu dicemooh, tak
masalah bagi saya dan menganggap ini adalah proses belajar. Bahasa inggris bagi
saya sendiri adalah momok. Saya telat mempelajari bahasa dunia itu ketika
masuk SMP, SD saya yang rasanya serba kurang tak mengajari itu. Saya masih
ingat ini pelajaran yang paling saya takuti dan nilai saya sering
jelek—kayaknya pernah nilai paling rendah sekelas. Saya masih ingat pas disuruh maju/menjawab
pertanyaan dan saya nggak bisa jawab. Rasanya malu sekali. Sekarang kemampuan bahasa inggris saya jauh lebih baik lewat belajar tak putus-putus yang saya lakukan.
Kembali ke Tirto, lagi-lagi saya orang yang
tak banyak
bicara di tempat kerja dan sering diam. Saya sendiri sering merasa kaku
berkomunikasi dengan orang lain. Di Tirto Jogja saat saya pernah ngantor di sana rata-rata orangnya
ekstrovert, khas media yang komunikasinya bagus. Kalau mendengar Mbak Yula,
Mbak Maya, Mbak Dita, Mbak Dipna, Mbak Yantina, dan lain-lain bercerita di
kantor, ramai sekali, haha. Cerita mereka juga seru-seru, dari soal keluarga,
novel, film, K-pop, hingga “ngrasani” hasil tulisan para penulis A, B, C, etc.
Makasih juga buat Mas Agung DH tentang
prinsip-prinsip ke-Tirto-an, Mas Windu Jusuf yang awal-awal ngajari milih sumber berita, Mas Iswara
N. Raditya, Mas Ibnu, siapa lagi ya? O ya, Ayun periset foto juga Anggit yang
dulu magang dari UKSW, mereka sering jadi teman ngobrol. Saya sendiri
sangat berterima kasih atas semua kehidupan yang saya dapat di sini. Masa yang tak
terlupakan.
Berikutnya saya pindah kerja sebagai
asisten penulis, intelektual, dan wartawan senior Pak Nasir Tamara. Dia pendiri
majalah Kapital (majalah ekonomi yang beraliran sosial demokrasi),
Global TV, Koran Republika, petinggi
ICMI, Dirut Independen
PT Sritex Solo, ketua Persatuan Penulis Indonesia
(SATUPENA), Dewan Pembina Yayasan Biennale Jogja, dan seabrek prestasi lainnya
dari pendidikan (pernah mengenyam pendidikan di Harvard, Oxford, Sorbonne), pernah mengajar di SOAS
London, dosen pascasarjana UGM, senior advisor UNDP, kolektor lukisan, dan menulis buku terkenal
berjudul Revolusi Iran. Buku ini
hasil riset dan investigasi mendalam terkait Iran, beliau mewawancarai
Ayatullah Khomeini di pesawat, suatu privilege
yang sangat susah dilakukan wartawan lain pada masanya.
Saya belum begitu paham mengapa bisa sampai
bekerja dengan laki-laki yang disapa Romo Nasir tersebut. Sosok yang
menurut saya sangat perfeksionis-sistematis-metodis. Kalau saya runut mungkin
berawal dari kecintaan terhadap seni dan media. Waktu itu Romo Nasir membuka
lowongan di grup WA sebagai asisten yang membantu pekerjaan-pekerjaan beliau
dalam riset dan menulis, korespondensi, komunikasi, mengurus perpustakaan, dan
lain-lain. Saya yang waktu itu ingin mencari pekerjaan tetap memasukkan CV dan saya
dipanggil di
kediaman beliau di Jogja, nDalem Natan Royale Heritage Kotagede. Bangunan yang
rasa-rasanya mirip rumah raja, dengan arsitektur dan barang koleksi antik yang
sangat khas. Di sana ada museum kecilnya juga yang menyimpan barang-barang kuno
dalam negeri dan luar negeri.
Di sana saya mengenal istri beliau Ibu Ita
Budhi, Komisaris Independen salah satu bank besar bernama Maybank yang popular di
kota-kota besar. Lulusan ekonomi UI dan aktivis Mapala. Beliau bagi saya sendiri
adalah sosok ibu yang baik. Bu Ita mengajari saya manner di meja makan kelas atas, memberi saya cerita soal
petualangannya di negara-negara luar negeri dari Himalaya, Machu Picchu,
Greenwald di Swiss, sungai terbelah di Amazon, aktivitas filantropi yang
dilakukannya, mengajak saya ke mal ngurus paspor dan lihat barang-barang
bermerk, hingga mengingatkan saya salat.
Kendala saya bekerja di tempat Romo Nasir
di Kotagede lebih pada transportasi. Waktu itu saya masih kos di Maguwoharjo.
Jarak antara kos dan nDalem Natan sekitar 12 km yang saya tempuh antara 45
menit hingga satu jam naik sepeda mini warna pink bernama Nuun Junior. Saya
masuk pukul 8 pagi dan berangkat sekitar pukul tujuh pagi melewati ringroad, jembatan, dan sekian
rambu lalu lintas. Itu saya lakukan sebulan lebih yang jika saya total
keseluruhan jaraknya sepertinya bisa melebihi jarak Jakarta ke Surabaya. Di
titik paling rendah ketika perlahan sepeda saya mungkin merasa tak kuat lagi
dibanding fisik saya. Olahan sepeda terasa berat, jalannya begitu pelan, gerimis
yang berkepanjangan, perut lapar, dan hari menuju malam. Saat itu rasa-rasanya
saya teriak-teriak sendiri di jalan dan mengatakan ulang mimpi-mimpi besar saya
ke depan. Lalu nangis sendiri ketika hal-hal sedihlah yang muncul, setidaknya
saat itu air mata membuat saya lebih baik. Sesampainya kos saya selalu tidur
kecapaian. Esoknya kerja di ruang tengah dan perpus Natan. Kegiatan saya menulis
press release beberapa acara
Satupena, berkorespondensi dengan kolega Romo Nasir lewat e-mail, hingga melabeli buku-buku.
Sekitar satu bulan saya bekerja dengan Romo
Nasir, akhirnya Romo mendirikan Toko Buku Natan dan dibantu oleh penulis novel Sunyi di Dada Sumirah (Mojok, 2018),
perempuan dari Salatiga dan anak ideologis NH Dini bernama Artie Ahmad. Artie juga
yang membantu saya mencari kos yang dekat dengan Kotagede yang letak kosnya di
belakang semacam rumah galeri seni. Kami satu kos beda kamar. Artielah yang
mengurus, mengembangkan, dan memajukan Toko Buku Natan hingga sekarang. Dia
juga redaktur web Satupena.id. Selain karya cerpen-cerpennya yang sering muncul
di media massa, tulisan-tulisan, foto, dan karya desainnya muncul pula di web
serta medsos Satupena. Artie adalah tipe orang yang pandai mengungkapkan apa
yang dipikirkan, pandai berbicara untuk orang lain, tak ribet, dan suka
langsung turun berkarya langsung daripada berteori. Kerjanya nyata.
Sayangnya, saya memang tak benar-benar
merasa mapan, nyaman, dan tenang selama bekerja di Kotagede. Banyak gejolak
dalam diri saya dari berbagai sisi yang coba saya represi sebegitu rupa. Padahal
kerjanya enak, tempat indah, Romo Nasir dan Bu Ita juga baik dan ramah. Tak
tahu, tapi jiwa saya rasanya tak di sana, tanda-tandanya bisa terlihat kerja
yang saya lakukan khususnya untuk urusan melabeli buku keteteran dan tak
maksimal. Itu pengalaman pertama saya melabeli buku dan hasilnya tak tersistem
dengan baik. Saya sangat sedih dan merasa bersalah.
Hingga pada suatu hari saya membaca story IG Perdana Putri (Pepe) jika ada
sebuah koperasi riset yang berbasis di Jakarta bernama Prakerti Collective
Intelligence mengadakan open call pelatihan riset.
Membaca materi-materi yang diberikan dan melihat orang yang mengisi materi
semangat saya langsung meledak-ledak, ya, tiga di antaranya adalah penulis
aktif Indoprogress, yang waktu itu menjadi satu-satunya situs kebanggaan dan favorit
saya di Indonesia; yang beberapa bulan sebelum mendaftar open call rutin saya baca hampir setiap hari. Tekad saya cuma satu: “saya
harus mendaftar itu dan lolos!”.
Syarat untuk mendaftar di antaranya: CV, tulisan
tentang ulasan jurnal/buku, surat motivasi, dan surat rekomendasi. Saya lalu
mengulas buku tentang kuli dari tesis Pak Danial Hidayatullah di UGM berjudul Exploitation of Plantation Labor in 19th
Century America and Indonesia: A Comparative Analysis Between Southern’s Slave
System and East Soematra’s Coolie System in 19th Century. Untuk
surat rekomendasi, dengan hormat saya memintanya pada (pastor) Romo Benny Hari
Juliawan yang juga dosen di Universitas Sanata Dharma lulusan Oxford University
jurusan Development Studies dengan
riset yang digeluti salah duanya seputar buruh migran dan sektor informal. Saya
juga mengirim e-mail pada Mas Muhtar
Habibi yang tengah kuliah S3 di SOAS, University of London dengan fokus kajian
seputar pekerja, kapitalisme pinggiran, neoliberalisme—yang bagi saya dia seorang
Marxist kaffah dengan analisis-analisis kelas yang tajam. Mereka berdua adalah
panutan saya menjalani hidup, membangun kapasitas intelektual, dan menghidupkan
integritas. Rasanya saya senaaang sekali ketika mendapat dua surat rekomendasi
tersebut, bahkan saya berpikir kalau nanti saya tak lolos di Prakerti tak masalah,
dua surat rekomendasi beserta isinya itu sendiri sudah sangat begitu berharga
dan kado indah buat saya.
Keberuntungan ternyata berpihak pada saya,
sore itu bersama Afin di tempat makan Soto Bathok di dekat Candi Sambisari saya
dapat pengumuman “lolos Prakerti dan mendapat beasiswa pelatihan”. Saya tak
berhenti-hentinya bersyukur. Itu berarti Jakarta telah dekat.
DI
JAKARTA
Diterima pelatihan riset di Prakerti dan
masih terikat kerja dengan Romo Nasir ternyata membuat diri saya serba salah. Kalau saya
pikir-pikir kedatangan saya ke Jakarta memang sangat nekat karena waktu itu
saya tak punya tabungan yang memadai untuk bertahan di tempat metropolitan
mantan ibukota tersebut. Namun lagi-lagi Romo Nasir dan Bu Ita sangat baik pada
saya. Mereka mengizinkan saya tinggal di rumah pribadi mereka di Cipete Utara
yang seolah seperti sudah ada yang mengatur letak pelatihan (kantor) Prakerti
tak jauh dari rumah Bu Ita. Hanya berjalan kaki saja sekitar 500 meter.
Rumah Bu Ita sangat estetik, alami, dan
antik. Interior dan properti yang ada di dalam rumah dikonsep dengan indah khas
seni-seni dari budaya Indonesia. Ada pula kolam renang yang di sampingnya ada
tanaman-tanaman perdu dan rimbunan bunga kertas yang sangat teduh. Di samping
kolam renang ada rumah Joglo yang semuanya terbuat dari kayu jati tempat
buku-buku (perpustakaan) Romo Nasir berada. Di dalamnya banyak
lemari-lemari besar penuh dengan buku berbagai genre. Tempat ini bisa dibilang mirip surga. Saya menempati kamar tamu yang
di dalamnya juga terdapat perpustakaan memanjang besar berisi buku-buku
berbahasa Inggris milik Bu Ita, ruang ber-AC, kamar mandi yang menurut saya mewah,
dengan perabotan-perabotan yang memanjakan tamu khas Amerika. Saya bilang khas
Amerika sebab di buku Bobos in Paradise
karya David Brooks, bagi kaum beradab di Amerika ruang tidur untuk tamu akan
dibuat seindah mungkin dibanding ruang lainnya untuk menggambarkan kepribadian
(juga kekayaan) pemilik rumah. Sehingga orang yang menginap di dalamnya merasa
kagum, nyaman, dan tertarik. Di rumah ini juga saya makan enak dan bergizi, ada
bibi juga yang membantu kebutuhan. Saya membantu Romo Nasir mendata buku di Joglo
sambil mengikuti Prakerti.
Namun, pendataan itu hanya sampai 2 entah 3
lemari saja seingat saya. Lagi-lagi hidup enak dan punya akses relasi orang-orang penting di
Jakarta tak menjamin saya bernafas dengan tenang. Saya sangat tak enak merepotkan dan
hidup saya yang ‘ngenger’ membuat
saya merasa tak nyaman. Kemrungsung. Rasanya meski di rumah reyot pun tak masalah asal itu punya sendiri.
Setelah sekitar seminggu saya tinggal di rumah Bu Ita, saya memberanikan diri
untuk menyewa kos sendiri di daerah Pejaten, dekat dengan Kantor Republika. Bu Ita
dan Romo Nasir mengizinkan, bahkan saking baiknya Bu Ita membawai saya selimut,
gantungan baju, sajadah, dan lain-lainnya untuk ngisi kos.
Nisa teman saya di LPM Arena yang tengah
bekerja di Jawa Pos (sekarang dia di CNBC) mengabari saya tentang kos murah di
Pejaten tersebut yang sebulan hanya 425 ribu kamar mandi dalam. Luas kos
tersebut memang tak besar, tapi lebih dari cukup untuk sekadar tidur dan yang
paling penting para tetangga kos sangat baik-baik, lucu-lucu, sering masak
bareng—meski lagi-lagi saya lebih banyak isolasi daripada gaul.
Kos Pejaten |
Latihan masak di kos milik Pak Endi |
Prakerti |
Maaf blur, ini satu-satunya foto Abel yang saya punnya |
Abe yang pintar debat agar tak belajar |
Antri naik puncak Monas |
Beberapa hari setelah lebaran, 20-an lebih
surat lamaran yang saya kirim untuk jadi wartawan di Jakarta jarang ada
panggilan. Pernah satu kali ada panggilan tes, tapi saya tak lolos. Entahlah
kenapa, mungkin pengalaman kerja masih minim. Hidup dengan
ketidakpastian membuat saya semakin sesak sampai depresi menjalani hidup. Rasanya kehilangan
arah dan sikap mengisolasi diri yang saya lakukan semakin membuat parah.
Suatu hari teman masa SMP saya bernama Ika
Artika Sari memberi saya pilihan untuk bekerja di Semarang. Di tempat
media dirinya bekerja, Inibaru.id, sebuah web untuk generasi millennial. Mengulas
tentang kuliner, wisata, budaya pop, hits, dan hal yang dirasa “unik” lainnya. Di sana ada
loker reporter freelance. Saya
menerimanya dan Tuhan membawa saya ke Semarang.
DI
SEMARANG
Pertama kali saya datang ke Semarang pada
hari Selasa, 6 Agustus 2019 waktu pagi. Saya tinggal beberapa hari di kos Ika di
daerah Sekaran UNNES. Kemudian Ika mencarikan saya kos yang dekat dengan kosnya
dan di sana lumayan murah. Jarak antara Sekaran dan kantor Inibaru lumayan
juga. Kos di sana pun bagi orang yang tak punya kendaraan macam saya jauh dari
pusat kota. Padahal spot liputan banyak di kota. Untuk menghemat biaya
transportasi dan lain-lain, akhirnya dengan bantuan Ika saya pindah kos di Rumah
Makan Kos Make Pakno yang berada di belakang Masjid Nurul Ilmi Sukorejo,
Sampangan (selisih dua bangunan).
Di Inibaru saya bertemu dengan Mas Galih,
Mbak Zum, Mbak Ike, Zulping, Ian, Icha, Mbak Ida, dan dulu ada anak-anak magang
juga. Di sini saya masih belajar banyak bagaimana menulis dengan gaya yang
berbeda jauh dari langgam asli bahasa saya yang bisa dibilang terlalu ilmiah.
Sebab kata Mas Galih, membuat tulisan sederhana itu sama sulitnya dengan
menulis berat.
Sampai hampir 5 bulan saya berada di
Semarang hingga sekarang, saya masih mempelajari daerah yang terkenal dengan
sebutan Kota Atlas ini. Setiap sudut gang dan jalan jika bisa saya datangi
dengan kaki akan saya datangi. Hal itu memberi saya pandangan menarik bagaimana
melihat suatu kota dan masyarakat seperti halnya yang dilakukan Silampukau
dengan musiknya seputar Surabaya.
Hidup saya di sini memang belum bisa
dikatakan sejahtera. Namun setidaknya banyak hal yang bisa saya syukuri. Hal yang tak
pernah saya lupakan di bulan pertama tinggal di Semarang adalah dapat rejeki
ikut Kelas Prie GS (penulis dan budayawan Semarang) di kediaman beliau di Jalan
Candi Kalasan Selatan daerah Manyaran. Waktu itu pesertanya hanya tiga (untuk
ikut kelas membayar 2,5 juta, saya diberi kemudahan biaya/gratis dengan
mengirim syarat tulisan singkat tertentu) dan saya mendapat gagasan-gagasan
menarik terkait hidup dari sana. Pak Prie saat itu baiiik sekali pada saya.
Kebaikan dan pesan yang tak akan saya lupakan seumur hidup. Terima kasih Bapak.
EPILOG
Demikian Laporan Pertanggungjawaban Hidup
saya selama setahun. Tanggal 10 Juni 2019 lalu di Kebun Raya Bogor saya pernah
marah-marah sama Tuhan. Saya menganggap permainan Dia sama sekali tidak lucu.
Tapi ya, nikmati sajalah, terima kasih Tuhan. Thanks too to all my wonderful folks.
Saya tutup dengan ucapan alhamdulillahirobbilalamin dan lagu
Beach House berjudul New Year. Kalau boleh
mengumpat, ini memang tahun terbangsat dalam hidup. Ini
akan jadi evaluasi untuk membuat rencana yang lebih stabil. Semoga di tahun 2020 dan kedepannya lebih sejahtera secara ekonomi
dan bisa bangun rumah sendiri. Ini saja resolusi saya yang singkat, tak banyak,
tapi berat mewujudkannya.
PESAN
“Selalu memberi, tangan di atas selalu
lebih baik daripada tangan di bawah. Memberi apa saja tak harus materi. Juga di
tingkat mana saja tak harus menunggu sukses. Senyum sama orang pun juga sudah
memberi, kayak filosofi Cina tentang pernafasan. Ketika kita menghembuskan
nafas, kita juga akan menarik nafas. Kalau yang dihembuskan baik kita juga akan
menari hal-hal yang baik.” Bu Ita Budhi.
Semarang, 31
Desember 2019 – 1 Januari 2020
Isma
Swastiningrum