Titik-titik pembangunan infrastuktur,
meliputi: bandar udara, pelabuhan, perluasan area perkebunan kelapa sawit,
waduk, jalan tol, jalur kereta api, serta puluhan kawasan industri baru dan
kawasan ekonomi khusus tak lain berdampak besar pada sektor agraria. Semua
diarahkan pada industrialisasi yang menyebarkan penyakit ketergantungan. Lebih banyak
mengkonsumsi daripada produksi. Ini tak lain dari dampak masterplan nawacita rezim Jokowi-JK dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
2015-2019. Kebijakan-kebijakan pembangunan di atas tak diimbangi dengan kebijakan yang pro rakyat. Alih-alih
mengimbangi, negara malah menggunakan kekuatan militer dan hukumnya untuk
memuluskan jalan korporasi dan menindas rakyat kecil. Akibatnya, penggusuran
lahan produktif petani yang terjadi di Kulon Progo, Sukamulya, Langkat, dan
daerah lain menciptakan aksi solidaritas membela tanah dan kedaulatan mereka.
Ketika alat produksi
dirampas dan tanah dikuasai korporasi, rakyat beralih kerja menjadi buruh atau
menuju pekerjaan-pekerjaan lumpen di sektor informal. Di mana penghasilan
mereka hanya cukup untuk hidup subsisten sehari. Semisal di sektor perburuhan
Jogja, UMK buruh hanya naik 8,25%, jauh sesuai dari kebutuhan buruh hari ini. Juga nasib Pedagang Kaki Lima dan nelayan
yang musti berhadapan dengan kebijakan-hukum yang mencekik jaring hidup mereka. Pendidikan yang idealnya
mengkonstruk pemikiran kritis cum pro rakyat,
ironisnya, semakin tinggi pendidikan pejabat malah semakin tercerabut dari akar rumput.
Para intelek pembuat kebijakan, sifatnya hanya sebatas berputar pada
kepentingan pribadi dan golongan, tanpa
‘visi-misi’ yang jelas untuk rakyat.
Ditambah lagi di Generasi Status seperti sekarang,
semakin banyaknya orang yang menderita superhero syndrome. Di
mana setiap orang ingin menjadi artis dan pahlawan yang ingin dipuja-puja, tapi minim konstribusinya untuk hajat
rakyat. Hanya berkesah ketika kalah dan lelah. Semacam menjadi aktor-aktor
fabel dan lintah yang memunggungi rakyat. Maka, ketika eksistensi individualis
dijunjung tinggi, dan buruh serta petani tidak memiliki kawan lagi, maka yang
bertanggung jawab besar akan hidup
para petani, buruh serta kaum marjinal adalah pemuda.
Pemuda merupakan subjek yang memiliki kesadaran bertindak, berjiwa sosial (volkgiest), dan mengubah keadaan. Ia membawa misi kesejahteraan, sebagai kerja
kita bersama. Solidaritas pemuda adalah proses kesadaran dan sikap konsistennya
membela rakyat. Untuk itu, kami para pemuda dari Front Perjuangan Pemuda
Indonesia (FPPI) Yogyakarta, menuntut:
- Pendidikan murah untuk rakyat
- Naikkan upah buruh
- Cabut PP 78 Tahun 2015
- Tolak investasi yang merugikan rakyat
- Cabut UU PMA
- Wujudkan reforma agraria sejati
- Hentikan represifitas aparat terhadap petani Sukamulya (Majalengka) dan Langkat (Sumatera)
Viva, diva, merdeka Rakyat!!!
Tugu Jogja, 28 November
2016